"Hai teman-teman!"
Zia datang menyapa dengan suara khas manjanya. Mengibaskan rambut, guna tebar pesona untuk para kaum hawa terutama Sony—pacar sahabat sekaligus teman bermain dirinya saat ini.
"Zia? Dari mana saja lo?" tanya Iva.
"Ada deh," sahut Zia. "Kalian baru nyampe?" tanyanya balik.
Bukannya menjawab si Amel yang super duper crewet ulala itu pun mendekat dan menyentuh leher Zia. "Ini apa Zi? Lo habis digigit serangga apa? Lo habis main di mana? Di hutan ya?"
Lantas semua mata menatap intens pada leher jenjang Zia. Merasa salah tingkah, gadis itu pun segera menutupinya dengan rambut panjang. "Apaan sih Mel," sangkalnya.
"Ha-ha-ha!" Adit justru tergelak dengan tawa kencang. "Bukan digigit serangga Mel, tapi buaya," celetuknya.
Aldi melirik Sony yang berwajah pias ia pun segera ikut memecahkan tawa.
"Amel baru tahu kalau digigit buaya bisa merah gitu, setahu Amel gigitan buaya itu bisa berlubang dan daging kita bisa hilang." Mengetukkan jari telunjuk Amel pun masih bingung dengan fakta yang ada.
Ckck. Ternyata selain crewet dia juga polos ya guys!
"Gigitan buaya itu lebih bahaya Mel," imbuh Aldi. "Bukan cuma daging yang bisa hilang, tapi harga diri juga," sindirnya.
"Harga diri? Maksud kalian apa sih?" tanya Amel.
Kring!
Bel masuk pun berbunyi. Untunglah pembahasan unfaedah itu segera berakhir, jika tidak. Bisa-bisa kebusukan Sony dan Zia akan terbongkar.
"Ayo kita masuk," ajak Sony pada semuanya.
"Ayo." Santi menggandeng sang kekasih dan berjalan lebih dulu.
Diikuti yang lain, Zia menghembuskan napas lega dan memilih berjalan paling akhir. Syukur nggak ketahuan, lagian itu si Amel merhatiin aja deh, ucap Zia dalam hati.
***
Sementara Khanza membawa gadis yang tadi ditolongnya ke kantin sekolah. Mengajaknya duduk pada salah satu kursi, ia pun sontak membeli dua botol minuman dingin.
"Ini minum dulu," suruhnya.
Gadis itu mengangguk dan mengambil botol minuman itu. Segera membuka penutup, ia pun mulai meneguk hingga separu.
"Terima kasih," ucapnya seraya menghembuskan napas lega.
"Sama-sama," balas Khanza. "Kamu nggak apa-apa 'kan?" selidiknya. Lalu gadis cupu itu pun memberikan senyum termanisnya.
"Enggak apa-apa, kok. Untung saja tadi ada kamu yang nyelamatin aku. Sekali lagi terima kasih banyak ya? Andai tadi kamu nggak datang tepat waktu, nggak tau deh, gimana nasib aku. Bisa babak belur dan mungkin masuk rumah sakit," cerocosnya panjang lebar.
Khanza melongo, ternyata gadis ini comel juga.
"Eh iya, kita belum kenalan. Kenalin nama aku Nadia." Mengulurkan tangan, gadis cantik itu masih belum selesai berceloteh, "Terserah mau panggil apa. Bisa Nad atau Dea, tapi aku biasa dipanggil Dea, sih." Dea mulai menunjukkan sisi crewetnya, tadi aja gugup banget.
Khanza yang mendengarkan ocehan Dea pun terkekeh lucu sendiri. Menyambut senang jabatan tangan dari gadis itu, kisah pertemanan mereka pun akan dimulai.
"Syukurlah kamu nggak apa-apa. Nama aku Khanza. panggil Za saja ya?"
"Khanza ya? Nama yang indah," puji Dea. "Oke, aku akan panggil kamu Za," celotehnya.
"Ngomong-ngomong yang tadi. Ada masalah apa, sih? Kok, mereka kaya marah banget gitu sama kamu?" Khanza kepo dengan apa yang sebenarnya terjadi di taman tadi, sambil sesekali meneguk minuman dalam botol, ia pun menunggu Dea bercerita.
Dea membenarkan posisi duduknya, menarik napas panjang, ia pun mulai membuka kisah dari awal.
"Jadi begini. Aku 'kan juga anak baru di sini, pas tadi datang aku kebingungan karena sekolah masih sepi. Saat aku jalan-jalan di taman, tiba-tiba ada tiga cowok yang menghampiri dan mengajak kenalan."
Khanza dapat menebak kalau tiga cowok yang dimaksud Dea adalah tiga teman Arif tadi.
Dea meneguk sedikit air yang tadi dibelikan Khanza untuk membasahi tenggorokannya, setelah itu ia pun melanjutkan cerita.
"Aku ogah kenalan sama mereka karena jujur aku ke sini bukan untuk bermain-main, apalagi dengan lelaki yang tampangnya saja sudah bisa dibaca. Buaya," tekannya.
Khanza menghembuskan napas kasar, dia juga mempunyai sifat seperti Dea. Datang ke sekolah ini untuk serius menuntut ilmu, bukan bermain cinta-cintaan yang berujung penyesalan.
"Terus salah satunya marah sama aku, mungkin karena menganggap aku baru dan sudah bersifat sombong pada mereka selaku senior di sini. Dia menarik aku kesalah satu pohon, menghimpit tubuhku dan hampir saja dia mau mencium aku dengan paksa. Untunglah sekelompok cewe yang tadi marah-marah datang, tapi sayangnya mereka salah paham sama keadaannya karena lelaki yang tadi justru memfitnah aku yang mencoba menggodanya lebih dulu. Jelaslah mereka langsung ngatain aku. Sok kecantikan lah, centil lah, anak baru rese lah, macem-macem deh pokonya." Bibir bawah Dea maju ke depan, sungguh malang nasibnya di hari pertama masuk SMA.
"Kenapa kamu nggak coba membela diri dan menjelaskan semuanya?" Khanza sungguh iba dengan teman barunya itu. Dia kira konflik senior dan junior itu hanya ada dalam cerita, ternyata dia sendiri sudah menyaksikannya.
"Sudah Za, aku sudah mencoba menjelaskan semuanya pada mereka, tapi percuma, siapa yang percaya dengan anak baru seperti aku, ditambah aku hanya sendiri di sana. Dan ternyata lelaki yang memfitnah aku adalah pacar dari ketua geng cewek-cewek itu. Ambyarlah nasib aku, Za. Untung saja ada kamu yang mencegat kekerasan dari mereka."
Jika saja Khanza tidak ada mungkin nasib Dea sudah seperti berita kebanyakan. Trauma gara-gara building senior. Dan gadis cupu itu pun bersyukur karena di hari pertama dia sudah bisa membantu sesama
"Khanza, karena kamu sudah menolong aku. Mau nggak kamu menjadi sahabat aku?"
ajak Dea dengan gaya lebaynya sambil mengacungkan jari kelingking.
"Em ... gimana ya?" tukas Khanza terdengar seperti ragu, dan membuat Dea menekuk mukanya cemberut.
"Ok. Mulai sekarang kita sahabatan." Khanza menautkan jari kelingkingnya dengan Dea.
Dea yang kegirangan langsung memeluk Khanza dengat erat. "Hore! aku punya sahabat. Akhirnya kita sahabatan yeayy!" Dea Berteriak dengan gaya lebainya dan suara cemprengnya.
Mata Khanza membola sempurna. "Sst ... De, malu dilihat orang," tegurnya.
"Hehehe, maaf," ucap gadis molek tersebut cengengesan.
Mengulas senyum sembari menggelengkan kepala, gadis cupu itu pun menghabiskan sisa air dalam botol. Ternyata ada hikmah yang bisa mereka petik dalam kejadian pagi ini, keduanya mampu menjalin silaturahmi sebagai sahabat mulai hari ini.
Kring-kring-kring!
"Sudah Bel, ayo kita masuk," aja Dea.
Bergandengan masuk ke dalam sekolah, mereka pun berkumpul di sebuah lapangan.
"Eh di mana barisan anak baru?"
Dua sahabat itu mengedarkan pandangan ke lautan siswa. "Di sana!" seru Dea menunjuk salah satu kumpulan barisan.
Khanza mengekor tunjuk Dea. Pandangan pertama yang ia temukan adalah bola mata sebiru samudera milik Arif Saputra Wijaya.