Jaminan
Malam hari pun tiba, aku semakin cemas apa yang akan terjadi nanti? Apa yang harus aku katakan ketika Shui meminta jatahnya nanti? Tapi ini tidak adil, sama saja aku seperti gadis itu mendapat hukuman yang sama. Padahal aku tidak melakukan kesalahan.
Jam sembilan malam sebentar lagi dia akan datang, lebih baik aku tidur saja. Kuambil selimut lalu kututupi seluruh tubuh, berharap dia akan meninggalkanku saat mengetahui diri ini tidur.
Dari arah jauh terdengar suara sepatu mengarah ke kamarku. Apa pekerjaan Shui sudah selesai? Terdengar suara pintu terbuka, aku memejamkan mataku sedikit. Kulihat dia seperti orang yang sangat kelelahan.
Dia melihat ke arahku, jantung ini berdetak kencang dan aku memejamkan mata. "Apa dia tidur?" gumam dia sambil melangkah menuju ke arahku. Langkah kakinya membuat semakin merinding.
Dia pun terus berjalan ke arahku dan duduk di tepi kasur sambil memegang bahu ini dan itu cukup membuat takut, bayang-bayangnya semakin tampak jelas dari balik selimut.
"Kenapa dia tidur? Bukan ini yang aku inginkan, kau harus bangun sayang," gumam Shui di telingaku, membuatnya terasa geli aku berusaha menahannya tapi dia melakukan berulang kali membuat diri ini mengalah.
"Ternyata kamu pura-pura tidur." Dengan wajah agak masam dia melihatku, apa yang haru aku katakan padanya?
"Maaf Tuan," jawabku sambil menundukkan kepala dan memegang selimut yang kukenakan. Dia menatap tajam lalu memegang kepalaku.
"Iya." Dia mengelus kepalaku dengan lembut aku pun menutup mataku merasakan kelembutan tangannya.
"Tuan mengapa tanganmu terluka?" ucapku saat melihat tangannya di perban. Tangan Shui terluka seperti terkena sayatan dia hanya memegang luka itu dan mengajakku untuk tidur.
"Besok kita akan melakukan foto prewedding," ucapnya secara mendadak sambil menutup matanya, aku tidak mengerti apa maksud dari perkataannya itu. Mungkin aku salah dengar, lagian itu tidak mungkin terjadi lebih baik aku tidur.
Sebentar, dia tidak ingin melakukan hal itu? Baiklah kali ini aku selamat dan dia juga tidak menghukum lagi, aku mulai merasa kantuk mata ini juga semakin berat saja.
Pagi hari pun tiba, aku terbangun dari tidurku dan langsung saja pergi menuju kamar mandi tanpa melihat sekeliling
"Akh sakit sekali!" pekikku yang merasa sakit di bagian selangkangku, "Mengapa sehabis main bagian ini selalu sakit ya?" gumamku yang melihat ke arah Shui yang masih saja tertidur pulas ditutupi oleh selimut.
Semalam saat sudah tertidur pulas dia langsung membuka paksa bajuku dan melakukan hal itu, aku kira dia akan melupakannya nyatanya dia membalas dua kali lipat bahkan sakitnya luar biasa.
"Bagaimana kalau Shido datang ke kamar ini dan melihatmu sedang bugil?" ucap ia yang mengagetkanku. Aku pun melihat tubuhku yang tidak ditutupi oleh sehelai benang pun dan memandang ke arah dia dengan wajah yang cukup malu.
"Kau sungguh indah sayang," rayunya dengan senyum sinis di wajah yang masih tampak malas itu.
"Akh! Dasar mesum." Aku pun berlari ke arah kamar mandi.
"Ayo buka! Kita akan mandi sama," ucapnya sambil mengetok pintu kamar mandi ini. Aku hanya diam dan melanjutkan aktivitasku.
"Hey! Apa aku radio rusak-rusak sehingga tidak ada yang mendengarku." Dia mulai kesal karena aku tidak menghiraukannya.
"Maafkan hamba Tuan, jika hamba membukanya Tuan akan menyerang saya lagi," balasku yang membuatnya terdiam lalu pergi dari depan kamar mandi. Langkah kakinya yang menjauh membuatku terasa lega.
Syukurlah dia pergi ... aku bisa melakukan aktivitasku sekarang. Tapi apakah dia nanti akan marah? Sudahlah lebih baik aku selesaikan mandi dulu.
Setelah selesai mandi aku pun langsung memakai baju. Tidak ada sosoknya yang mengerikan di ruangan ini, ke mana dia pergi? Apakah dia sudah pergi bekerja. Tunggu dulu kalau tidak salah semalam dia bilang akan melaksanakan foto prewedding? Apa itu benar? Jika itu benar apa aku akan bahagia?
"Di mana Shui?" tanyaku pada seorang pelayan yang ada di dekat ruang tamu. Pelayan itu hanya menundukkan kepalanya lalu menunjuk sebuah gudang tua.
"Apa Shui di situ?" tanyaku setelah dia menunjuk ke arah gudang itu, lagi-lagi dia mengangguk dan pergi. Aku pun berjalan menuju gudang, sekitar satu meter lagi terdengar suara tangisan seorang wanita dari dalam gudang.
"Aku tidak melakukan apa-apa!" Gadis itu dengan tersedu-sedu. Aku hanya menguping dari luar pintu dan melihat beberapa orang dan dirinya ada di dalam. Memegang sebuah parang besar dan cambuk berduri serta senapan yang sangat besar mengarah ke kepala gadis itu.
"Sudah lewat satu hari, ayahmu belum saja menebus dirimu sepertinya kau tidak berharga lagi baginya. Baiklah pengawal penggal kepalanya sekarang dan berikan kepalanya pada ayahnya. Oh iya jangan lupa bungkus dengan indah dan berikan ucapan sapaan dan terima kasih atas namaku."
Memenggal kepala? Apa dia setega itu melakukannya dengan seorang gadis yang tidak bersalah. Gadis itu tidak melakukan kesalahan seharusnya yang dihukum itu adalah ayahnya.
Aku pun memaksa masuk dan memberhentikan aksi dari para pengawal itu. Shui yang melihatku langsung saja marah dan membentakku dengan begitu keras. "Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya dan aku hanya memandang wajahnya dengan tegap.
"Dia tidak melakukan kesalahan Tuan, seharusnya yang dihukum itu adalah ayahnya bukan dia. Kasihan dia Tuan, dia masih anak SMA seharusnya dia bersenang-senang bersama temannya bukan mendapatkan siksaan ini," jelasku.
"Jadi, apa maumu?" tanyanya dan aku berpikir sejenak.
"Lepaskan dia, Tuan!"
"Jaminannya?" Jaminan! Aku hanya mematung mendengar perkataan Shui, jaminan apa yang harus aku berikan padanya, jika aku salah berbicara maka akan berdampak besar nanti.
"Baiklah Tuan sebagai jaminannya! Aku akan menggantikan posisinya."
Shui hanya tersentak kemudian tersenyum miring sambil memperhatikanku. "Apa kau yakin?" tanyanya lagi, tidak masalah dia tidak akan membunuhku nantinya, hukumannya paling hanya menyiksa sampai dia puas.
"Iya," jawabku tanpa ragu dan dia kelihatan senang.
"Baiklah karena aku memiliki rasa kasihan, pengawal hukum Mirai sampai dia merintih kesakitan dan memikirkan semua kesalahannya. Kalau bisa cambuk dia sampai seluruh badannya terluka, tapi ingat jangan sampai mati."
"Baik Tuan."
"Bersyukurlah kau tidak mati, Sayang," bisiknya di telingaku
"Jika hukuman yang kau berikan sekeji itu lebih baik aku mati saja!"
"Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan begitu mudahnya. Oh iya selesai dihukum bersiaplah foto prewedding kita akan dilakukan nanti malam."
Sepertinya dia sudah gila, bagaimana aku bisa menahan rasa sakit ini, rasa sakit yang sungguh dahsyat. Apa aku tidak salah membiarkan tubuhku menjadi jaminan agar wanita ini tidak terluka.
"Nona, kami akan mulai," ucap pengawal sambil memegang cambuk di tangannya. Aku hanya memejamkan mataku lalu memberanikan diri menahan rasa sakit.