"Jadi itu semua ide ibumu?"
"Iya, tapi ayah tetap melakukan yang dikatakan oleh ibu, ayah memotongnya dengan sangat keci dan organ yang berfungsi disumbangkan ke rumah sakit."
"Setelah itu, ibu berpikir bagaimana kalau dia menjadikannya bakso dan membagikannya secara gratis sebagai hadiah ulang tahun perusahaan yang ke 5 tahun," ucap Niana.
"Apa mereka tidak merasa takut saat memotong tubuh manusia?" tanya Shido.
"Aku tidak tahu, ayah mengiyakan perkataan ibu dan menjadikannya bakso."
"Sangat menyeramkan, lalu kenapa bakso itu dikirim ke Jepang? Apa tujuannya?" Wajah Shido pucat, dia rasanya ingin muntah.
"Ayah ingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahun anak temannya, dia juga tahu kalau anaknya itu sangat menyukai bakso. Itu sebabnya ayah mengirimkan bakso tersebut."
"Apa ayahmu tidak tahu, bahwa yang di potongnya itu adalah paman dari anak yang berulang tahun tersebut?"
"Aku tidak tahu, aku masih anak-anak jadi aku tidak terlalu memikirkannya."
"Aku tidak menyangka, kisah kematian paman bisa terjadi karena hal sepele." Shido memegang keningnya dan memijitnya.
"Jadi, katakanlah pada tuanmu kalau akulah penyebab kematiannya." Niana pun melihat Shido dengan penuh harapan
"Tidak bisa! Sekarang kau harus menjalani hukuman atas apa yang kau perbuat?" jawab Shido
"Aku mohon." Niana memegang tangan Shido sambil menatapnya penuh harap.
"Kau bilang selama orang tuamu meninggal kau tidak pernah bahagia kan? Sekarang kau akan bahagia, Mirai adalah orang yang baik, dia tahu penderitaanmu. Kau bisa menanyakannya padanya," ucap Shido sambil melepaskan tangan Niana.
"Kau berani bertanggung jawab kalau aku akan bahagia setelah ini?" tanya Niana
"Mungkin." Dengan senyum manis di wajahnya Shido menjawabnya
"Baiklah."
"Tapi, mengapa kalian datang ke Jepang?" tanya Shido penasaran.
"Aku tidak tahu, mereka hanya bilang akan pergi ke Jepang."
"Begitu, baiklah aku pergi dulu. Ayato akan menemanimu sekarang." Shido kemudian pergi, Niana hanya melihat ke pintu sampai Shido benar-benar keluar. Beberapa menit kemudian Ayato memasuki ruangan dan duduk di sofa.
Niana hanya melihatnya sekilas dan mengalihkan pandangannya.
Dia kemudian tertidur, Ayato melihat Niana tertidur. Dia berpikir bahwa terjadi sesuatu dengan Niana dan Shido saat dia tidak ada. Di luar malam sudah sangat larut bahkan tidak ada lagi mobil yang berlewatan, kecuali mobil Tuan.
Shui sekarang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Mirai menunggu Shui dari tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Mirai tidak bisa tidur karena Shui belum datang. Mirai tahu dia akan marah saat melihatnya belum tidur, tapi, bukan karena itu saja, dia merasa lapar dan ingin makan daging, Mirai tidak berani keluar dan juga tidak berani menyuruh orang untuk membelinya.
Author PoV end.
Beberapa menit kemudian suara mobil tuan terdengar, aku langsung melihat ke luar jendela memastikan itu benaran tuan atau bukan? Tebakanku ternyata benar, aku langsung lari ke tempat tidur dan menutupi badanku dengan selimut agar tuan percaya kalau aku sedang tidur.
Suara pintu kamar terbuka tersengar, aku menutup mata. Semoga tuan tidak membuka selimut yang kupakai. "Kenapa kau lama sekali?" Terdengar suara Shido sedang menanyakan sesuatu pada tuan.
Mereka masih berbicara dengan pintu kamar yang terbuka. "Aku tadi mampir ke restoran makan daging," jawab tuan. Mendengar itu aku langsung bangun dan menatap tuan. "Aku juga mau!" teriakku yang membuat mereka berdua kaget.
Tidak tahu kenapa ketika mendengar kata daging aku jadi semakin ingin memakannya. "Kau belum tidur?" tanya tuan dengan ekspresi marah.
"Eh ... itu ... aku lapar," jawabku takut.
"Kau ingin makan daging?" tanya Shido.
"Iya, Tuan."
"Hahaha." Shido pun langsung tertawa mendengar jawabanku, aku tidak tahu apa penyebabnya tertawa seperti itu? Di lain sisi juga Tuan merasa heran atas tingkah lakunya Shido.
"Apa yang lucu?" tanya tuan.
"Tidak ada, sebaiknya kau belikan dia daging." Shido tidak menjawab pertanyaan tuan melainkan menyuruh tuan untuk membelikan sate.
"Kenapa harus aku yang beli? Dia yang ingin makan, bukan?" tolak tuan.
"Yang buat dia hamil kau bukan Ayato?" tegas Shido.
"Hamil?" Serentak aku dan tuan berteriak ke arah Shido, Shido kaget dan mengelus dadanya.
"Kalian tidak tahu?"
"Aku tidak mungkin hamil."
"Lagi pula kau tahu dari mana aku pernah menyentuhnya?"
"Itu sudah jelas, tidak mungkin Ayato, bukan? Lagian kau langsung bilang pada kami kalau kau akan menikah dengan dia, tanpa menanyakannya padaku dan Ayato."
"Tapi dia tidak mungkin secepat itu hamil!" teriak tuan sambil memandang sinis ke arah Shido, aku hanya diam mendengar percakapan mereka.
"Percayalah padaku, aku sudah berpengalaman. Sekarang pergi belikan makanan yang diminta calon istrimu." Tuan melihat Shido, dan menariknya ke luar kamar. Aku menguping pembicaraan mereka dari balik pintu
"Aku tidak mau."
"Tapi, dia sedang mengandung anakmu."
"Aku tidak mau, kalau anaknya perempuan bagaimana? Aku tidak mau."
"Apa bedanya perempuan dan laki-laki?"
"Pokoknya aku tidak mau, aku pergi."
"Apa kau hanya ingin memiliki satu anak saja?"
"Maksudmu?"
"Jika anak itu perempuan, anak ke duamu mungkin laki-laki."
"Kalau anak ke duanya tetap perempuan?"
"Kau buat lagi sampai dapat laki-laki."
"Kau! Terserahlah, aku akan memesannya."
Aku mendengar semua percakapan mereka, aku ingat Tuan pernah berkata akan membunuh anakku kalau yang lahir adalah perempuan. Apa yang harus aku lakukan? Di lain sisi aku sangat takut akan kehadiran anak ini, tapi di lain sisi juga aku bangga anak ini muncul di tengah kami.
Beberapa menit kemudian pesanan yang dipesan oleh tuan datang, tuan memberikannya padaku "Makanlah sehabis itu kau tidur," ucap tuan kemudian pergi. Sepertinya tuan masih ragu kalau aku hamil atau bukan? Karena aku sendiri juga tidak tahu sama sekali kalau hamil.
Aku memakan daging yang diberikan tuan tadi sampai habis, selanjutnya aku tidur untuk mempersiapkan diri di acara besok.
Jam 06.00 aku sudah dibangunkan oleh orang yang akan mengiasku, dia menyuruhku untuk segera mandi. Padahal aku lagi malas untuk berdiri. Dia terus memaksaku sampai mengatakan, "Jika Nyonya tidak bangun, maka aku akan memberitahukannya pada, Tuan." Seketika aku langsung bangun dan memandangnya.
Aku langsung mandi, selesai mandi aku langsung dirias oleh mereka. Tepat pukul 10.00 acara pernikahan dilaksanakan. Aku langsung berjalan ke altar Gereja ditemani oleh paman Zen, dia adalah paman yang merawat kami dari kecil semenjak kepergian orang tua Ayato dan Shido.
Di altar tersebut sudah ada tuan dan pendeta yang akan memberkati kami. Sambil berjalan ke altar aku berpikir, orang yang selama ini kuanggap tuanku sekarang dia akan menjadi suamiku.
Sesampainya di dekat altar, tuan langsung menggandengku dan membawaku ke depan pendeta. Acara pernikahan pun berjalan dengan lancar, semua orang bertepuk tangan dengan ria. Aku tidak percaya, aku akan sudah menjadi istri dari orang yang pernah menganggapku adik ketika kecil.
Tuan melihatku, aku tahu apa maksudnya, tapi, aku memberikan isyarat untuk melakukannya di rumah. Kalian pasti berpikir setelah pernikahan ini selesai, maka aku akan bahagia sampai rumah atau selama hidupku. Tidak! Di hari inilah aku akan memulai hidup yang lebih sulit, bahkan di hari pertama pernikahan kami.