Kisah Menyedihkan III
Di rumah sakit, Shui mendatangi kamarnya Tadao kemudian melihat ke arah Tadao dengan wajah penasaran. Dia berpikir kapan Tadao akan sadar? Shui ingin segera menanyakan padanya apa hubungan Tadao dengan Affry?
"Tuan ini sudah larut, pulanglah. Besok pernikahanmu bukan?" ucap Ayato sambil menepuk bahu Shui.
"Sebentar lagi."
"Tapi, Mizzy pasti khawatir dengan, Anda."
"Sebentar lagi, Ayato."
"Shui, apa kau tidak mendengar kakakmu? Pulang sekarang!" Dengan nada tegas Ayato mengucapkan perkataannya tadi.
"Baiklah, tapi perkataanmu ubah." Shui kemudian pergi setelah mengucapkannya.
"Baik Tuan tercintaku," ledek Ayato saat Shui sudah berjalan sangat jauh.
Di tempat Niana di rawat, Shido menemaninya sampai Niana sadar dari tidurnya. Dan berjaga-jaga agar Niana tidak kabur. Beberapa jam kemudian Niana sadar, dengan suara tangisannya dia membangunkan Shido yang tidur di sampingnya.
Dia sempat takut akan kehadiran Shido yang berada di sampingnya, tapi setelah dilihatnya Shido tidak menakutkan seperti Shui. "Apa kau merasa baik?" tanya Shido
"Iya."
"Baiklah, kalau begitu aku keluar dulu." Niana langsung menarik tangan Shido saat Shido beranjak dari kursi yang di dudukinya. "Ada apa?" tanya Shido.
"Itu ... bisakah kamu menemaniku di sini."
"Kau ingin menggodaku? Aku beritahu, aku sudah menikah?"
"Bukan, aku ... kumohon tinggallah." Shido pun kembali duduk mendengar permintaan Niana, Niana pun tersenyum dan mulai memandang Shido. Niana menceritakan kesehariannya dengan riang tuannya saat dia masih kecil.
"Kau tahu? Bagaimana aku menjalani kehidupanku tanpa bimbingan orang tua?"
"Hmm ... aku tidak tahu."
"Waktu itu aku berumur 5 tahun saat ayah dan ibuku dibunuh oleh tuanmu. Apa kau mengerti penderitaanku?"
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Aku harus melihat ke dua orang tuaku mati dengan cara mengerikan di depan mataku, dan yang membunuhnya pun adalah seorang anak-anak."
"Aku tahu."
"Aku tidak tahu, apa kuasa anak itu. Dia sungguh bijaksana, bahkan dia memiliki pengawal yang selalu setia padanya dan mungkin juga jika orang tuanya meninggal dia tidak akan merasakan kesedihan yang kurasakan saat itu."
"Kau salah." Shido pun mulai menundukkan kepalanya.
"Dia sangat menderita," lanjut Shido sambil menahan air matanya.
"Jika dia pun menderita, dia tidak semenderita aku yang harus hidup di jalanan, makan nasi basi, diusir oleh orang-orang, dibuang, ditendang, bahkan dijual untuk memenuhi keinginan mereka." Naina pun mulai menitikkan air matanya saat mengatakan perkataan tersebut, membuat Shido tercengang dan menundukkan kepalanya.
"Aku memang tidak tahu bagaimana rasa sakitnya? Tapi aku juga merasa bersalah telah membunuh orang tuamu. Orang tuaku juga mati akibat menolongku dari kasus pemboman." Shido mulai tak kuasa menahan air matanya.
Niana melihatnya, "Mungkin itu balasannya." Shido melihatnya lalu tersenyum.
"Aku tahu, kita sama-sama menderita." Dengan senyum manis menahan air matanya Shido mengucapkannya
"Ketika aku kecil, ibu dan ayah berjanji akan membawaku ke disney land ... tapi." Niana pun mulai menangis sekuat mungkin membuat Shido merasa kasihan dan berniat memeluknya, tapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tahu penyebab Niana menderita adalah dia.
"Sudahlah." Shido berusaha menenangkan Niana
"Ketika orang tuaku berkata kami akan pergi ke Jepang aku merasa sangat senang, aku berpikir aku akan pergi ke disney land ... tapi kami datang, hanya untuk ...." Niana tidak sanggup lagi melanjutkan perkataannya, dia hanya fokus menangis mengingat kenangan yang dilakukannya bersama ibu dan ayah.
"Aku mengerti, tenanglah" Shido memeluk Nian untuk menenangkannya.
"Kau tidak perlu baik padaku, setelah ini aku akan berjumpa dengan mereka." Shido pun melepaskan pelukannya, dan Niana menghapus air matanya.
"Tidak, setelah kau sembuh. Kau akan menjadi pelayan pribadi Mizzy, istri orang yang menyambukmu tadi," jawab Shido.
"Kenapa dia melakukan itu? Bukannya dia membenciku? Kenapa dia tidak membunuhku? Jawab!" Niana pun mengguncang tangan Shido meminta jawaban atas pertanyaannya tadi.
"Dia kasihan padamu, dia bilang kau mirip istrinya. Jadi dia mengampunimu, lagi pula dia sadar bahwa kau tidak bersalah. Kau tidak pantas untuk mati," ucap Shido
"Itu salah, akulah penyebab pamannya meninggal" Shido langsung kaget mendengar pernyataan Niana.
"Maksudmu?"
"Waktu itu, aku meminta uang pada pamannya, tapi pamannya bilang bahwa dia tidak membawa uang, dan menyuruhku untuk menunggu supaya dia mengambil uang tersebut." Mata Shido langsung melotot mendengar Niana mengucapkan kata-kata tersebut.
"Kemudian?"
"Aku pikir dia berbohong, jadi aku menghalangi jalannya," lanjut Niana.
"Lalu, bisakah kau menjelaskannya tanpa henti?" tanya Shido.
"Baiklah."
"Sip," Shido pun langsung menatap Niana dengan serius, "Saat aku halangi, dia marah dan berkata minggirlah aku akan segera kembali, aku tidak percaya dan terus menghalanginya.
Dia marah dan membentakku, aku pun menangis dan pergi. Tanpa kusadari aku menyenggolnya yang sedang membawa air keras, air itu tumpah di bagian lenganku."
"Tapi kami tidak melihat bekasnya di lenganmu," sela Shido
"Aku operasi kulit. Aku teriak kesakitan saat air itu mengenaiku, ayah langsung datang menemuiku dan memelukku," ucap Niana.
"Ayah memandangnya dengan tatapan sinis, ibu menangis di sampingku karena ayah tidak tahan dengan emosinya dan dia juga melihat tanganku terluka, ayah langsung menusuk perut paman tuanmu dengan pedang yang di pajang sebagai hiasan." Shido kaget dan langsung berdiri dari tempat duduknya.
Dia tidak percaya dengan perkataan Niana
"Jadi, kenapa dia dipotong-potong dan dijadikan bakso serta dibagikan gratis?"
"Ayah takut ketahuan, lalu ibu memiliki rencana untuk memotong tubuhnya. Tapi ayah berpikir lagi setelah potong mau dijadikan apa?"
"Jadi itu semua ide ibumu?"
"Iya, tapi ayah tetap melakukan yang dikatakan oleh ibu, ayah memotongnya dengan sangat keci dan organ yang berfungsi disumbangkan ke rumah sakit."
"Setelah itu, ibu berpikir bagaimana kalau dia menjadikannya bakso dan membagikannya secara gratis sebagai hadiah ulang tahun perusahaan yang ke 5 tahun," ucap Niana.
"Apa mereka tidak merasa takut saat memotong tubuh manusia?" tanya Shido.
"Aku tidak tahu, ayah mengiyakan perkataan ibu dan menjadikannya bakso."
"Sangat menyeramkan, lalu kenapa bakso itu dikirim ke Jepang? Apa tujuannya?" Wajah Shido pucat, dia rasanya ingin muntah.
"Ayah ingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahun anak temannya, dia juga tahu kalau anaknya itu sangat menyukai bakso. Itu sebabnya ayah mengirimkan bakso tersebut."
"Apa ayahmu tidak tahu, bahwa yang di potongnya itu adalah paman dari anak yang berulang tahun tersebut?"
"Aku tidak tahu, aku masih anak-anak jadi aku tidak terlalu memikirkannya."
"Aku tidak menyangka, kisah kematian paman bisa terjadi karena hal sepele." Shido memegang keningnya dan memijitnya.
"Jadi, katakanlah pada tuanmu kalau akulah penyebab kematiannya." Niana pun melihat Shido dengan penuh harapan
"Tidak bisa! Sekarang kau harus menjalani hukuman atas apa yang kau perbuat?" jawab Shido
"Aku mohon." Niana memegang tangan Shido sambil menatapnya penuh harap.
"Kau bilang selama orang tuamu meninggal kau tidak pernah bahagia kan? Sekarang kau akan bahagia, Mizzy adalah orang yang baik, dia tahu penderitaanmu. Kau bisa menanyakannya padanya," ucap Shido sambil melepaskan tangan Niana.
"Kau berani bertanggung jawab kalau aku akan bahagia setelah ini?" tanya Niana
"Mungkin." Dengan senyum manis di wajahnya Shido menjawabnya
"Baiklah."
"Tapi, mengapa kalian datang ke Jepang?" tanya Shido penasaran.
"Aku tidak tahu, mereka hanya bilang akan pergi ke Jepang."
"Begitu, baiklah aku pergi dulu. Ayato akan menemanimu sekarang." Shido kemudian pergi, Niana hanya melihat ke pintu sampai Shido benar-benar keluar. Beberapa menit kemudian Ayato memasuki ruangan dan duduk di sofa.