Ravano tidak peduli dengan teriakan Nayara, ia kemudian keluar dari sana meninggalkan Nayara yang merasakan lemas di sekujur tubuhnya.
Semuanya terjadi begitu cepat dan Nayara mau tidak mau menuruti perkataan Ravano karena ia tidak mau mati sia-sia di tangan pria itu.
Apalagi gadis itu tidak memiliki siapa pun sekarang, dia sendirian disini, tanpa ponsel, tanpa orang yang ia kenali karena ia selalu terkurung di mansion.
Jika sudah seperti ini, ia harus meminta tolong pada siapa? Nayara bahkan tidak pandai berbahasa asing.
•••
Ravano memberi Nayara dress berwarna jeansblue selutut dengan sepatu flatshoes berwarna hitam.
Ia tidak mandi dengan benar karena luka di pahanya masih sangat segar, percikan air yang mengenainya membuatnya tak berhenti menangis.
Nayara keluar dan tidak mendapati Ravano di kamar, Nayara melihat darah di atas kasur masih segar dan belum sepenuhnya mengering. Itu darahnya.
Nayara berdiri di samping ranjang itu, angin berhembus begitu kencang masuk melalui pintu balkon yang terbuka. Darahnya cukup banyak di atas sana, artinya lukanya cukup dalam.
Nayara mengangkat sedikit roknya, meraba perban yang melingkari pahanya, darah sedikit telah menembusnya dan Nayara tidak bisa menahan rasa sakit nya. Ia tidak menyadari Ravano tengah mengintipnya dari balik pintu kamar.
Pria itu sudah rapi dengan kemeja berwarna senada dengan dress Nayara, ia gulung bagian lengan kemeja hingga sikut. Jeans hitam dan sepatu docmart hitam kecoklatan membuat Ravano terlihat semakin tinggi.
Nayara menghela napasnya, ia kemudian memejamkan matanya sejenak dengan raut wajah seolah menangis, ia menghempaskan seluruh rasa sakitnya.
Gadis itu kemudian membuang napas dengan cukup keras dan bersuara, seolah baru saja membuang kesialannya.
Ravano mengumpat kesal, gadis ini terlalu banyak bertingkah dan membuang banyak waktu. Dia terlalu dramatis.
"Mau meratapinya sampai mati?" Ravano menarik Nayara keluar dari sana. "Membuang waktu."
Mereka keluar dari villa tersebut dan Nayara sempat berhenti melangkah ketika Ravano mengiringnya ke dekat gerbang.
Sudah lama Nayara tidak melihat jalanan, ada beberapa orang berlalu-lalang di depan sana, gadis itu sedikit ragu untuk melangkah keluar dari gerbang, di tambah lagi kakinya masih berdenyut.
Ravano menoleh dan memberikan tatapan tajam padanya. Nayara menatapnya sendu.
"Tolong, jangan seret aku. Bukankah kita bisa berjalan lebih santai?"
Mendengar pernyataan Nayara membuat Ravano nyaris tergelak. "Kau pernah berlari begitu semangat hingga menabrak ku, sekarang hanya berjalan begini saja kau mengeluh?"
Tangan Nayara masih di genggam oleh Ravano, gadis itu kemudian mencengkram lengan Ravano dengan tangan satunya.
"K-kakiku.." Nayara menarik sedikit roknya untuk memperlihatkan perban di pahanya pada Ravano.
Perban itu semula masih bersih ketika Nayara selesai berdandan, tapi Nayara merasakan kalau darahnya masih belum berhenti mengalir. Warna perban itu sudah memerah sempurna sekarang dan darah merembes di sana.
"Darahnya keluar l-lagi.." Nayara menurunkan kembali roknya seperti semula.
Ravano tidak mengatakan apapun, ia kembali menarik Nayara untuk berjalan. Mereka menyebrangi jalanan, berjalan tidak terlalu cepat menuju sebuah klinik kecil di ujung jalan itu.
Nayara tak henti memperhatikan setiap langkah yang ia pijaki dan pemandangan Stockholm yang begitu luar biasa.
Gadis itu pernah melihat kota-kota dan negara di benua Eropa melalui internet, membaca ulasan dan berharap suatu saat bisa kemari.
Kini impiannya benar-benar terwujud meski kakinya terluka dan ia dalam kondisi sedang— di culik oleh seorang pria tampan dingin dan psikopat, Jahat, Sensual, Menjatuhkan harga dirinya kapan saja, menyentuh tubuhnya tanpa izin dan mengklaim kepemilikan atas dirinya.
Pria macam apa dia? Nayara merasa Ravano adalah pria terburuk di dunia ini. Nayara sulit menemukan kata yang tepat untuk seorang Ravano.
Jadi seperti ini ya rasanya masuk ke klinik? Nayara pernah beberapa kali menonton drama, ada adegan di rawat inap atau sekedar masuk ke klinik. Tapi disini ternyata tidak seramai di drama.
"Halo, Mr. Jovian, lama tidak bertemu, apa anda sudah membuat janji dengan Dokter Xian?" Seorang perawat yang berdiri di depan meja resepsionis menyapa Ravano.
Nayara menoleh dan tersenyum pada wanita itu. Sedangkan Ravano hanya menatapnya datar.
"Darurat, aku perlu seseorang untuk mengurus luka." Ravano sedikit mendorong Nayara pada perawat itu, seolah memberikan Nayara secara cuma-cuma.
Nayara menatapnya sedih sekaligus kesal, apa harus sekasar itu hingga Nayara merasakan pahanya kembali berdenyut.
Nayara berbaring di atas bangsal, Ravano duduk di kursi tak jauh darinya sembari memainkan ponsel.
Perawat yang bersamanya, seperti nya dari berasal dari Asia juga. Ia tidak menggunakan bahasa asing ketika bicara, Nayara dapat memahami nya dengan mudah.
Perawat itu mengangkat sedikit rok Nayara dan terkejut melihat darah merembes pada perban itu sudah banyak, ia menatap bingung pada Nayara, alat untuk mengobati Nayara telah di siapkan.
Ravano memperhatikan mereka, tapi perawat itu segera menutup tirai sepenuhnya hingga Ravano mendengus kesal.
Kenapa Ravano tidak boleh melihat Nayara yang sedang kesakitan? Pria itu mengumpat kesal, ia masih bergairah untuk melihat gadis itu sengsara.
"Luka apa ini? Ini parah sekali, apa kau yang mengobati ini sendirian?" Perawat tersebut bertanya sambil membuka perban Nayara.
Gadis itu sangat tegar, tidak menangis mungkin karena merasa sudah cukup banyak membuang air mata sejak tadi.
"Tuan Ravano yang mengobati lukaku karena..." Ucapan Nayara menggantung saat perawat itu sudah selesai membuka perban, membersihkan darah dan kemudian tercengang lagi.
Dia benar-benar kesulitan mengatupkan rahangnya setelah melihat ukiran nama Ravano di paha mulus Nayara.
"..Dia yang melakukannya." Lanjut Nayara kemudian dia memalingkan wajahnya dari tatapan perawat tersebut.
Perawat itu mengangguk paham, ia segera menyelesaikan pekerjaan nya. Setelah itu ia memberi resep beberapa obat yang harus di minum oleh Nayara, perawat itu telah memberitahukan hasil pemeriksaannya pada dokter.
Dokter itu terlihat tengah berbincang dengan Ravano, kemudian obat untuk Nayara dia berikan juga pada Ravano.
"Aku tidak tau kenapa Mr. Jovian melakukan itu padamu, tapi aku harap kau akan baik-baik saja. Aku tidak pernah menyangka dia pria yang... Seperti itu." Perawat itu melayangkan tatapan simpati pada Nayara.
"Kumohon tolong aku, bukan untuk luka ini tapi bantu aku kabur dari pria itu. Dia sedang menculikku! Aku adalah putri dari keluarga-"
"Nayara!" Suara Ravano terdengar dengan jelas dari balik tirai, panggilan itu memotong ucapan Nayara yang sedang meminta bantuan.
Tirai pun langsung terbuka dan Nayara berusaha bersikap seolah tidak mengatakan apa-apa sebelumnya.
Perawat itu pergi meninggalkan mereka berdua.
Ravano mendekati Nayara dan berbisik. "Jangan macam-macam dengan ku Nayara, jika kau berusaha kabur aku tak segan menyiksamu saat itu juga."
Nayara menelan ludahnya dengan berat, ia sangat takut dengan sisi kejam Ravano sehingga hanya bisa menurut dan mengurungkan lagi niatnya.
Ravano langsung menariknya dengan cepat untuk keluar dari klinik.
"T-tuan, tolong pelan-pelan, aku ragu darahnya akan keluar lagi." Rengek Nayara.
"Diam." Tukas Ravano tanpa menatapnya.
Nayara langsung diam, benar-benar diam. Diam di tempat sampai genggaman tangannya dengan Ravano terlepas begitu saja dan pria itu menoleh kebelakang.
Ravano menaikkan sebelah alisnya, menandakan ia menuntut sebuah pernyataan atas sikap Nayara.
Kenapa gadis itu berhenti melangkah? Kenapa gadis itu berulah lagi? Ravano menggerutu dalam hati. Dia tidak mungkin melukai Nayara di pinggir jalan seperti ini.
"Kau menyuruhku untuk diam, maka sekarang aku akan diam. Aku tidak akan bergerak atau meronta-ronta seperti saat kau sedang menyayat kulitku."