Chereads / DEVIL : Psikopat Tampan / Chapter 13 - BAB 13

Chapter 13 - BAB 13

Nayara kecewa dengan ucapan Ravano sampai ia pun mengerucutkan bibirnya, sebal dengan Ravano yang balik bertanya tapi malah membuatnya merasa terhina.

"Altair memang merajai fashion di Indonesia saat ini tapi apa kau tau jika model, bahan pembuatan pakaian, majalah, iklan, toko brand keluargamu di Mall, semuanya berasal dari Jovian Corp? Kau tidak tau apapun tentang perusahaan ku yang menjadikan perusahaan keluargamu mitra bisnis?"

Ravano tampak tersenyum puas, "Altair tidak akan bisa sesukses itu tanpa Jovian. Lalu, apa kau tidak sadar kalau secara teknis kau itu sedang dalam penculikan?"

"Tidak, aku merasa sedang liburan meski tubuhku terluka, ku anggap luka ini cara untuk membayar biaya liburan nya."

Ravano menghela napasnya, ia heran dengan pemikiran Nayara yang sulit ia pahami karena gadis itu selalu menjawab dengan kata-kata yang tidak Ravano duga sebelumnya.

Apa Nayara sedang berusaha untuk bersikap tenang? Padahal Ravano secara tidak langsung sedang memojokkannya.

"Kau selalu menyinggung tentang lukamu, mau ku tambah lagi?"

•••

Ravano membiarkan Nayara berjalan di depannya, mereka baru saja tiba di Paris dan langsung berjalan dari bandara menuju kantor tempat Ravano akan rapat dengan berjalan kaki. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, ia juga ingin membuat Nayara mempelajari apa saja yang ada di luar rumah.

Gadis itu mengaku pernah melihat hampir seluruh negara yang terkenal dengan tempat wisatanya di tv atau internet, tapi ia tidak tau kalau aslinya akan sebagus ini.

Nayara tersenyum dengan sopan pada banyak orang yang berpapasan dengannya tanpa rasa takut seperti saat berjalan sendiri di Stockholm, ia merasa tenang karena Ravano berjalan bersamanya.

"Tu—Ravano, apa kita bisa mampir ke beberapa tempat yang ada di sepanjang jalan ini? Mungkin seperti toko roti, atau apapun itu dimana kita bisa membeli sesuatu?"

Ravano tidak peduli dengan semangat Nayara, "Tidak, kita masuk ke gedung ini sekarang, aku ada rapat."

Pria itu bersikap tegas pada Nayara yang langsung kecewa mendengarnya, tangannya di sambar dan di tarik untuk segera masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran.

Nayara tidak tau kalau kantor Ravano sangat dekat dengan bandara, ia kira mereka masih akan berjalan beberapa blok lagi maka ia bertanya tentang mampir.

Sebelah tangan Nayara yang bebas kini mencengkram rok dress nya, ia gugup karena semua orang memperhatikannya dan Ravano.

Beberapa dari mereka membungkuk sopan, namun ada pula yang membuang pandangan mereka saat Nayara mencoba tersenyum sopan. Gadis itu langsung menunduk sedih.

"Angkat kepalamu, kau pasanganku, derajat mu lebih tinggi dari mereka. Kau itu gadis yang sopan, tidak seharusnya mereka menatapmu seperti itu," ucap Ravano tegas pada Nayara, ia menghentikkan langkahnya untuk menyentuh dagu Nayara, mengangkatnya untuk naik dan tegak.

"T-tapi.."

"Seperti Theona dan Niko, kita juga begitu, pasangan," jelas Ravano lagi dan Nayara langsung menurut.

Ravano melepas tautan tangannya pada Nayara dan ia bersalaman dengan rekan bisnisnya yang sudah tiba lebih dulu di kantor milik Ravano ini.

"Mr. Jovian, kami senang sekali anda bisa mampir meski sedang berlibur. Suatu kehormatan untuk memulai rapat secara langsung dengan anda," sambut pria berambut pirang panjang yang matanya tak henti menatap ke arah Nayara.

"Apa dia sekretaris baru anda?" Pria itu bertanya kemudian.

"Istriku," Ravano berseru pelan dengan tatapan penuh intimidasi saat rekan bisnisnya mengira Nayara adalah sekretaris barunya.

Nayara entah kenapa merasa hatinya menghangat mendengar Ravano berkata begitu, gadis itu langsung merangkul lengan Ravano dan sejenak memberi salam dengan kepalanya yang menunduk sekilas.

"Maafkan atas kelancangan saya, Ms. Jovian." Ucap rekan bisnis Ravano pada Nayara.

"Mari kita segera ke ruang rapat," ajak salah satu asisten Ravano yang juga menyambut mereka.

Ravano mengangkat tangan kanannya, "Sebentar," dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, tangannya menunjuk satu persatu karyawan wanita kemudian.

"Pecat empat orang yang aku tunjuk tadi, mereka telah melecehkan istriku dengan tatapan busuk yang menyedihkan," ucap Ravano final sebelum ia berjalan memasuki lift. Begitu tegas dan jelas, tanpa berpikir lebih panjang lagi hingga tangan Nayara sedikit mencengkram lengan Ravano.

"Mereka mendapatkan hal yang setimpal, lain kali jangan tersenyum pada orang-orang yang baru kau temui atau mereka akan memiliki nasib buruk," ucap Ravano pada Nayara.

Gadis itu menyaksikan tatapan sedih empat orang yang baru saja di pecat oleh rekan kerja Ravano, apakah perlu Ravano sekejam itu?

"Kau tidak kasihan pada mereka? Bukankah itu sedikit berlebihan.." ucap Nayara pelan, "Tidak perlu sampai membuat mereka kehilangan pekerjaan kan?"

"Sudah kubilang itu setimpal, aku tidak suka pada mereka. Aku benci jika milikku di usik."

Pintu lift terbuka, mereka sampai di lantai tempat ruang rapat berada, Ravano berhenti dan memperhatikan penampilan Nayara, pria itu mulai merapikan rambut Nayara yang agak berantakan, menepuk beberapa bagian pakaiannya seolah terkena debu, mengusap pipi gadis itu lembut kemudian mencium pipinya sekilas.

"Kita tidak akan lama di sini, saat aku berdiskusi, kau akan duduk di belakangku," Ravano mengambil ponsel miliknya dari dalam saku jasnya. "Kau bebas menggunakan ini agar tidak bosan, kau tau cara menggunakannya kan?"

Nayara mengangguk pelan lalu dengan berani ia menepuk lengan Ravano dengan perasaan sedikit kesal, "Kau pikir aku ini manusia purba? Aku hanya tidak keluar dari mansion itu, bukan berarti aku tidak bisa menggunakan gadget."

Ravano hampir mengumpat, Nayara baru saja mengerucutkan bibirnya cemberut setelah mengeluh padanya. Bibirnya sangat menggemaskan dan Ravano ingin sekali menggigitnya sekarang juga.

Mata setajam elang itu memeriksa area sekitarnya, kemudian ketika di rasa aman, Ravano mencium bibir Nayara kasar dengan cepat. Ia gemas, merasa gemas sekali sampai rasanya frustasi.

"Aku ingin menggigitnya hingga mengeluarkan darah."

Nayara shock, ia belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, ia hanya menutupi mulutnya erat dengan telapak tangannya sementara Ravano menarik dirinya untuk segera masuk ke ruang rapat.

Penculik mesum, psikopat, dengan sikap yang berubah-ubah ini, Nayara tidak yakin hatinya dapat membenci pria ini. Hatinya mendadak dilema.

"Jangan menggunakan ponsel itu untuk mencoba kabur dariku atau mencari pertolongan dari keluargamu. Karena kau akan tau sendiri seperti apa akibatnya."

Nayara hanya mengangguk pelan ketika Ravano memberikan tatapan mengancam serta peringatan.

Nayara duduk dengan manis di sana, tak jauh dari Ravano, menopang dagu dengan tangannya hingga sebagian bibirnya tertutupi, sesekali ia memperhatikan apa yang tengah Ravano bicarakan dengan beberapa orang.

Auranya sangat berbeda, Ravano tampak ambisius, tegas dan percaya diri dengan setiap perkataan yang ia ucapkan. Pria itu penuh pesona namun juga terlihat harus di segani, ia memiliki jiwa pemimpin yang kuat dan juga sikap tegas, galak dan mutlaknya, itu memang sudah melekat.

Pikiran Nayara melambung, mengapa ia masih bersama pria ini? Memang baru dua hari ia sangat jauh dari rumah, tapi mengapa ia bersama Ravano dan menikmati segalanya? Padahal ia tersiksa dengan luka itu, dengan sikap Ravano yang kadang kasar padanya.

Tapi jika ia kabur dari Ravano, memangnya dia mau kemana? Dunia yang ia lihat sekarang tidak sebaik yang ia kira sebelumnya, ia akan mendapatkan hal terburuk jika pergi dari pria yang sudah memberinya pakaian baru, makanan, tempat tidur, membayar transportasinya meski kenyataan terbesarnya adalah ia sedang di culik.

Di culik secara baik-baik? Tidak, kakinya terluka, bukan secara baik-baik kalau begitu. Di culik dan menjadi tahanan dalam cara yang berbeda? Mungkin. Di lihat dari sisi seperti ini, Nayara menyadari kalau Ravano memang tampan dan penuh pesona, sebenarnya dia seperti mendapat hadiah jika selamanya ia bersama Ravano.

Tapi itu hanya berlaku jika Ravano tidak menyakitinya.

Nayara tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara deritan kursi secara bersamaan, orang-orang yang tengah rapat itu telah beranjak, saling berjabat tangan dan keluar dari ruangan, meninggalkan dirinya dan Ravano.

Rapatnya telah selesai, Nayara tidak merasakan berapa lama waktu berlalu. Tapi ia merasakan kepalanya sedikit pening hingga penglihatannya mengabur dan ia merasa tidak fokus. Ia tidak sadar kalau Ravano sudah berlutut di depannya, menggoyahkan tubuhnya dan memanggil-manggil namanya.

"R-r-Ravano…"