Nayara menatap tak percaya Ravano yang berjalan keluar dari kamar nya. Pria aneh yang cukup gila, baru saja ia khawatir sampai memeluk Nayara namun itu semua hanya kepalsuan? Pada akhirnya Ravano hanya menghinanya lagi.
Nayara melihat sekitaran kamarnya, ada sebuah jendela yang terbuka dan langsung menghadap ke taman sekitaran rumah ini. Nayara bersyukur, kamarnya tidak berada di lantai atas yang artinya dia bisa kabur dengan mudah.
Tidak peduli dia akan kesulitan nantinya, asalkan dia tidak bersama Ravano. Dia bisa mencari cara untuk pulang nanti, karena setaunya, sang ayah juga memiliki bisnis di daerah sini. Gadis itu membuka jendelanya, meski kakinya sakit tapi ia berhasil keluar melalui jendela.
"Ah.. sakit sekali.."
Nayara melihat ke sana dan kemari, tidak ada siapapun di sekitar semacam penjaga atau apapun itu. Ini kesempatan yang bagus kan untuk dirinya segera kabur? Nayara segera berlari menuju gerbang kecil yang tidak terkunci, seperti nya ini merupakan gerbang belakang rumah tersebut.
Setelah berhasil ke trotoar jalan, Nayara memperhatikan sejenak ke arah rumah Ravano, pria yang kini membawanya ke Paris itu sedang berada di halaman parkir, Nayara melihat Marin memasuki mobil bersama seorang pria paru baya dan Ravano melambaikan tangannya.
Marin akan pergi dan mungkin mobilnya akan melewati jalan ini, Nayara pun memutuskan untuk segera berjalan menjauh, ia mungkin bisa bertanya kepada orang-orang di sekitar sini dan meminta bantuan untuk mengirimnya ke kantor polisi atau kantor imigrasi setempat.
"Aku tidak mau terluka lagi."
•••
Ravano baru saja mengantar kedua orang tuanya sampai halaman depan, mereka akan segera kembali ke Indonesia karena pekerjaan di mereka di sini telah selesai. Marin tak henti memuji Ravano karena telah memperkenalkan seorang gadis padannya.
Ravano bosan mendengar ocehan ibu nya dan merasa bersemangat ketika mereka bilang akan kembali.
Pria itu melihat ke arah kamar Nayara, tidak ada ciri-ciri gadis itu keluar dari sana. Apa Nayara sama sekali tidak merasa lapar, Ravano melihat makanan di meja makan masih utuh.
Dia peduli pada Nayara? Mungkin sedikit saja, tapi hatinya sangat penasaran pada Nayara, apakah gadis itu merasa sakit hati karena ucapan nya? Ravano menimbang untuk menghampiri Nayara lagi atau menunggu gadis itu keluar sendiri dari kamarnya.
Ini sudah hampir setengah jam ia meninggalkan Nayara di kamar itu, dengan merasa terpaksa Ravano kembali masuk ke dalam kamar Nayara namun rasa terkejut seketika menghampirinya.
Jendela kamar Nayara terbuka lebar dan gadis itu tidak ada di kasurnya. Ravano dengan segera bergegas keluar dari rumahnya untuk mencari Nayara. Sejak kapan gadis itu pergi? Kenapa ia tidak menyadarinya?
Ravano mengumpat kesal, Nayara pasti pergi karena ucapannya terlalu kasar, lebih sialnya lagi adalah di sini Ravano sendirian tanpa pengawalnya, pencarian Nayara akan lebih sulit. Memanggil pengawalnya untuk mencari Nayara pun pasti akan lebih memakan waktu.
"Nayara!" Ravano memanggil-manggil nama gadis itu. "NAYARA!"
Dia memperhitungkan kemana kira-kira Nayara pergi jika gadis itu melewati gerbang belakang. Dengan penuh penyesalan Ravano terus menerus menyerukan nama Nayara setiap ia melangkah.
Sementara itu Nayara masih berjalan menyusuri jalanan, ia sendiri tidak tau ini di mana. Mungkin dia baru saja melewati gerbang kompleks? Atau gerbangnya masih jauh? Nayara merasa kakinya sudah pegal, sejak tadi ia tidak bertemu siapapun di sepanjang jalan.
"Apakah tempat ini tidak berpenghuni? Kenapa sejak tadi tidak ada satu pun mobil atau orang yang lewat?" Nayara bergumam.
Ia berhenti berjalan sejenak, hari semakin gelap dan ia mulai merasa ketakutan di jalan sepi ini. Nayara beristirahat di depan sebuah toko yang sepertinya sudah lama tutup, ia melihat ada sebuah kursi memanjang dan memutuskan untuk duduk di sana.
Berharap ada seseorang yang baik lewat dan memberinya sedikit pertolongan. Kakinya bukan hanya pegal, tapi sudah lecet parah karena ia tidak menggunakan sepatu. Pada akhirnya Nayara menangis lagi.
Dia sendiri yang memutuskan untuk kabur tapi dia juga berharap Ravano akan menemukannya karena ia kesakitan. Namun saat ini ia tidak dapat kembali ke rumah Ravano karena ia tidak ingat jalanan yang telah ia lewati walaupun ia memiliki niat untuk kembali, itu akan sia-sia, sama seperti yang ia lakukan sekarang.
Nayara kabur dalam perencanaan yang minim.
"Akhirnya aku menemukan mu, Nayara."
Nayara yang menangis langsung menoleh ke sumber suara, Ravano berdiri di hadapan nya dengan napas yang terengah-engah, ia nampaknya berlari ketika mencari-cari Nayara.
Tatapan Ravano yang berbeda membuat Nayara merasa lega ketika melihatnya, ia langsung menerjang tubuh Ravano dengan pelukan erat dan tangisan yang deras, ia bahkan meremas punggung Ravano.
"A-aku takut, Ravano aku takut..." Nayara menangis sesenggukkan dan Ravano hanya berdiam diri di sana, "Aku tidak menemukan jalan kembali hingga kaki ku terluka Ravano."
Ravano pun menghela napasnya dalam dan melirik ke bawah, dan benar saja, kaki Nayara sebagian lecet dan berdarah. Apa yang di pikirkan gadis ini? Ravano semula merasa emosi karena Nayara mencoba kabur dari nya tapi melihat penampilan gadis ini yang begitu malang, hati nya sedikit tersentuh.
Ravano membalas pelukan Nayara dan mengelus rambut gadis itu, mengusap punggungnya seraya membuatnya tenang, "Aku di sini."
Nayara pun mulai tenang dan melepaskan pelukannya. Ia menatap Ravano yang menatapnya datar, langit sudah sangat gelap dan lampu jalanan pun menyala temaram. Air mata Nayara masih mengalir, gadis itu menyentuh pipi Ravano dengan kedua tangannya, lalu kepalanya menunduk dan tangannya turun menyentuh dada bidang Ravano.
Nayara menenggelamkan wajahnya di sana seraya meremas kerah Ravano, "Ravano…"
Ravano kembali memeluknya, "Sudah, kita bahas ini nanti sekarang naiklah ke punggungku, kita pulang dan obati luka mu."
"Tidak mau.. aku mau seperti ini dulu."
"Nayara," Ravano memanggil kembali namanya, "Kaki mu terluka."
Nayara langsung menarik diri dari Ravano dan menatap pria yang lebih tinggi dari nya itu, "Bukankah kau suka melihat luka ini?"
Ravano menghela napasnya lagi, sejak tadi ia berusaha meredam emosinya, "Luka itu bukan dari ku bagaimana aku bisa menyukainya? Cepatlah sebelum aku berubah pikiran!"
Nayara tidak bicara dan langsung menarik wajah Ravano agar ia bisa meraihnya, ciuman lembut mendarat di bibir pria itu, hanya sebentar tapi mampu membuat Ravano menjadi kaku.
Nayara gadis licik, memanfaatkan situasi dan melakukan hal yang mampu membuat Ravano merasa seperti robot kaku, pikiran nya menjadi tidak karuan.
"Maafkan aku," lirih gadis itu.
Ravano kemudian segera membungkuk dan membiarkan Nayara untuk naik ke punggungnya. Mereka pulang berjalan kaki dengan Ravano yang menggendong Nayara.
"Ravano…"
Sudah cukup lama mereka berjalan dalam keheningan kini Nayara mulai memanggil Ravano lagi.
"Hn."
"Terima kasih.. Kau sudah mencariku."
"Secara terpaksa karena kau itu tawanan ku dan aku baru saja kehilangan tawanan ku," ucap Ravano dengan malas. "Aku harus mencari karena aku masih membutuhkanmu."
"Lalu jika sudah bosan kau akan meninggalkan ku?" Nayara bertanya dengan pelan, ia tidak berharap lebih seperti apa jawaban Ravano tapi pria itu hanya bungkam.