Chereads / DEVIL : Psikopat Tampan / Chapter 10 - BAB 10

Chapter 10 - BAB 10

"Tidak mau."

"Hn?"

Nayara menghela napasnya. "Aku tidak mau untuk hari ini, aku tidak mau ke sana. Aku hanya ingin menyentuh kasur.."

Ravano hampir kehilangan kata-katanya, pria itu kini membawa Nayara ke depan taman hiburan dan akan mengajak nya masuk. Nayara malah menolak mentah-mentah penawarannya.

"Aku juga tidak mau memberikan kehidupanku padamu. Bukankah itu artinya aku akan mati ditanganmu?" Nayara sedikit tersentak dengan ucapan nya sendiri, mau memberikan hidupnya atau tidak, jika dia bersama Ravano maka sama saja, kematian nya bergantung pada perilaku jahat pria itu.

Ravano memejamkan matanya sejenak, oke, ini memang salahnya yang menggunakan kata-kata yang rumit sehingga Nayara salah mengartikannya.

Ravano mendorong Nayara menjauh, tadi gadis itu menubruk tubuhnya, ia kini memberinya jarak. Wajahnya semula sangat berkharisma dan memikat, kini sangat dingin dan tidak ramah. Ravano melongos pergi begitu saja meninggalkan Nayara.

"Aku membuang mu," ucap nya dengan dingin tanpa menoleh pada Nayara.

Pria itu berjalan dengan cepat seperti tadi pagi, Nayara tidak mau ditinggal sendiri lagi. Tidak semua orang di dunia ini benar-benar baik, meski Ravano juga tidak, tapi Nayara tidak punya pilihan lain karena dia sendirian di negeri orang.

Nayara segera berlari mengejar Ravano meski dalam hati ia tidak mau. Bagaimanapun, Nayara tidak memiliki pilihan saat ini. Ia tau, Ravano sikapnya berubah-ubah, emosinya seperti wanita labil.

"Tuan tungg— aw!"

Ravano melakukannya lagi, pria itu berhenti melangkah saat Nayara berlari ke arahnya sehingga hidung bangir Nayara menubruk punggung atletis itu. Nayara mengaduh lagi.

Ravano hanya menyeringai tanpa berbalik untuk melihat Nayara. Jadi pria itu baru saja mempermainkan Nayara? Dia seperti nya puas melihat Nayara terlihat kikuk.

"Kau gadis yang tidak punya pilihan."

"Aku tau.." Nayara menunduk dan mendesah sengsara. "Tapi setidaknya kau harus lebih manusiawi Jika kau benar-benar ingin memiliki ku sepenuhnya. Apalagi kondisiku sedang begini sekarang!"

"Kau pikir aku ini sampah bisa kau buang dan pungut sesuka hati mu?! Aku terluka." Nayara berseru lagi.

"Manja," Ravano hanya mendelik padanya.

"Apa?" Nayara mengernyit heran. "Pardon me? Kau bilang aku manja? Yang kau gores di kulitku bukanlah luka kecil, siapapun pasti merasakan hal yang sama denganku jika mereka mengalami nya! Dasar psikopat gila."

"Karena kau tidak mau diam, lukanya jadi lebih dalam!" Ravano tidak mau mengalah.

"Tentu saja aku tidak mau diam karena itu menyakitiku! Perlawanan diri merupakan reaksi alami semua mahluk hidup saat mereka terancam!"

"Sudahlah diam! Berulang kali kau mengeluh dan mempermasalahkan hal yang sama yang telah berlalu, ucapan mu sia-sia, tidak akan ada yang bisa kembali seperti semula."

Mobil menjemput mereka dan Ravano segera masuk sedangkan Nayara tetap berdiri di sana. Ia menimang lagi, mungkin ia bisa mencari polisi di sekitar sini dan meminta bantuan mereka? Mencari dinas sosial atau pusat imigrasi? Ia bisa di deportasi jika begitu bukan?

"Masuk." Perintah Ravano. "Kau tidak akan di deportasi walaupun berkeliaran sendirian, karena namamu terdaftar secara resmi. Kau tertahan bersamaku."

Dia bisa menebak apa yang aku pikirkan?! Batin Nayara menjerit.

"Cepat masuk Nayara!"

"Kau bilang kau membuang ku tadi!"

"Aku hanya menggertak."

Nayara tersentak karena Ravano menarik nya dengan paksa. Mobil pun melaju ke sebuah hotel yang cukup mewah di tengah kota Stockholm.

Nayara hanya diam dan mengikuti kemanapun Ravano membawanya, tangannya seperti diborgol oleh pria dingin itu namun kali ini Nayara berjalan di samping Ravano dengan tangannya yang digenggam pria itu erat.

Sebuah kamar besar nan mewah, dilengkapi dengan beberapa jamuan makanan, kasur ukuran super kingsize, semuanya sempurna. Bahkan semua disiapkan sangat detail, mulai dari pakaian, alat mandi, bahkan make up untuk Nayara.

"Semuanya lengkap, kau bisa gunakan semuanya. Tidurlah sepuas mu, nanti malam kita akan terbang ke Paris." Ucap Ravano pada Nayara.

Pria itu kemudian membuka pakaiannya secara sembarang, hanya menyisakan boxer di atas lutut dan kaus tipis yang membentuk tubuh atletisnya. Ia duduk di sofa yang di depannya sudah ada laptop terbuka, dengan segelas kopi dan camilan di sampingnya.

"Kau mau melakukan apa?" Nayara bertanya pelan.

Ravano menoleh pada Nayara, ia menunjuk laptopnya, "Kerja." Pria itu memiliki banyak pekerjaan yang terencana.

Nayara menghela napas lega, itu artinya Ravano tidak akan mengganggunya. Nayara segera membuka lemari, mengambil sebuah piyama yang ternyata pendek semua, siapa yang menyediakan baju-baju mengerikan seperti ini? Mau bagaimana lagi, dia harus memakainya.

Setelah membersihkan wajahnya, mengganti perban lukanya dan mengenakan piyama, Nayara keluar dari kamar mandi dan langsung menghempaskan tubuhnya perlahan ke kasur.

Ia sangat butuh istirahat. Ia harap Ravano tidak secara tiba-tiba melukainya lagi atau berbaring di sampingnya.

Ravano meregangkan tubuhnya, ia memeriksa beberapa email di laptop seputar pekerjaannya. Ada juga beberapa laporan tentang Nicolas yang mencari Nayara kesana-kemari, baru saja Ravano menyalakan ponselnya, pesan banyak sekali yang masuk.

Ravano menyeringai lagi, ini semua karena Nicolas menolak tawarannya, Ravano tidak pernah melepaskan begitu saja apa yang dia inginkan sampai ia dapat.

Mungkin Nayara akan dia kembalikan saat dia sudah tidak berminat lagi pada gadis tersebut? Ravano terkekeh, merasa dirinya brengsek.

Tapi ia tidak akan pernah mengembalikan Nayara, ia ingin Nayara dengannya seterusnya atau jika ia berubah pikiran, ia mungkin akan mengembalikan Nayara secepatnya bersama keluarganya ikut ke Mansion Altair, menggelar pesta pernikahan di sana.

Hell, not now. Ravano tidak pernah memikirkan bisa berkompromi dengan pernikahan. Dia bahkan baru kali ini memikirkan untuk mencari korban wanita tapi bukan untuk di bunuh, yah, ia memilih Nayara menjadi targetnya karena dirinya memang tertarik pada gadis itu.

Gadis yang bisa memuaskan hasrat psycho nya dengan mudah. Mungkin mulai sekarang ia akan menggunakan pisau lipat yang lebih kecil. Reaksi Nayara sudah lebih dari yang ia harapkan, gadis yang penakut.

Ravano berbaring di sofa tersebut dan tertidur lelap, ini sudah pukul enam sore dan Nayara terbangun.

Ia mencuci mukanya, kemudian menuju area makanan, perutnya keroncongan dan kamar luas yang di pesan Ravano ini sangat hebat. Setelah selesai mengisi perutnya, Nayara menuju mesin pembuat kopi, ia sangat ingin kopi saat ini.

Nayara puas memanjakan dirinya setelah tersiksa dengan lukanya, ia kemudian menyimpan gelas kopinya yang belum habis di atas meja dekat laptop Ravano dan berdiri di dekat pria yang sedang terlelap itu.

Nayara memperhatikan tubuh Ravano dengan detail, badannya bagus, badan idaman para wanita. Wajahnya tampan meski ada sedikit garis-garis halus, apakah Ravano mengalami penuaan dini? Nayara tertawa kecil.

Meski rambut Ravano agak panjang dan ikal, kedua sisi wajahnya terbingkai oleh poni sedang yang terbelah dua malah menambah ketampanan dan kharisma pria itu. Sayang sekali, pria tampan di hadapannya ini seperti jelmaan iblis.

Tapi Nayara bersyukur, Ravano masih memiliki belas kasihan padanya. Nayara tertawa kecil lagi, mengingat betapa bodoh dan menyedihkan dirinya ketika ia pertama kali menubruk Ravano di mansion, kemudian di ikuti oleh pria itu seharian hingga akhirnya ia terperdaya dicium lalu diculik oleh Ravano.

Harusnya Nayara tidak setakut itu, maka mungkin ia pasti masih di rumahnya saat ini. Ia harusnya mampu melakukan perlawanan tapi.. Dia penakut.

Namun semua sudah terjadi dan tak bisa di ulangi lagi. Asalkan ia bisa bertahan hidup, bisa makan, dan bertahan supaya tidak terluka lagi, maka ia harus kuat. Mungkin dalam waktu dekat, Nayara juga bisa kabur kan?

"Wajahku lucu saat sedang tidur? Tawa mu sangat keras mengejek wajah tampan ini."

"YA TUHAN!"