Ravano mendecih pelan melihat Nayara terdiam beberapa langkah di belakang nya dengan ekspresi menantang, tak ada rasa takut sama sekali.
Menurut Ravano, sifat Nayara berubah-ubah, terkadang menyedihkan yang membuat iba, tapi sekarang menyebalkan.
Ravano kemudian menyeringai pada Nayara, ia pun kembali berjalan dengan cepat dan meninggalkan gadis itu di sana begitu saja.
Siapa yang akan rugi jika Ravano tidak peduli? Tentu saja Nayara. Gadis itu tidak membawa apapun, hanya membawa diri saja.
Semua dokumen pribadi Nayara di bawa oleh asisten Ravano, termasuk pasport dan visa gadis itu. Ravano rela membayar mahal untuk menyembunyikan identitas dan kepergian Nayara dari Indonesia hingga kemari.
Sekarang gadis itu tinggal memilih, mengejar Ravano atau jadi gelandangan di Stockholm.
Ravano tidak memiliki niat sedikit pun untuk berbalik dan melihat Nayara di belakang sana.
Nayara menatap punggung Ravano yang semakin jauh, pria itu benar-benar meninggalkannya.
Nayara hanya lelah, belum lagi kakinya masih agak nyeri, Ravano berjalan seperti setengah berlari.
Apa itu karena perbedaan tinggi mereka sehingga langkah Ravano lebih besar dari langkah Nayara?
Gadis itu memperhatikan sekelilingnya, orang-orang ada yang memperhatikannya, ada pula yang tidak peduli. Swedia memakai bahasa apa? Jangankan tau, bahasa inggris saja Nayara tidak lancar.
Nayara segera berjalan menyusul Ravano meski kakinya sakit, ia merasa beberapa pria memandanginya, ia mempercepat langkahnya. Oke, Nayara takut sekarang, segerombolan pria yang sedang nongkrong kini berjalan di belakang nya dan mulai bersuara.
Nayara sampai di persimpangan jalan dan ia kehilangan jejak Ravano, gadis itu ragu akan melangkah kemana. Apakah Ravano tadi belok ke kanan, ataukah Ravano tadi belok ke kiri? Ataukah Ravano menyebrang?
Gadis itu menatap lurus, oh itu dia. Ravano ada di seberang sana.
Nayara menyebrang dengan cepat untuk menjangkau Ravano, tapi efek obat pereda nyeri tidak bertahan lama, kakinya berdenyut lagi dan Nayara tidak sadar lampu lalu lintas sedang hijau untuk pengendara.
"T-tuan Ravano.." Nayara terus berjalan, melihat pria berambut ikal di sebrang sana yang berhenti berjalan dan berbalik.
"Oh tidak.." Nayara terdiam di tengah jalanan, pria yang ia ikuti bukanlah Ravano.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia kehilangan jejak satu-satunya pria yang di kenalnya.
Nayara bahkan tidak tau di mana dirinya sekarang, gerombolan pria yang mengikutinya berhenti di seberang sana karena lampu untuk pejalan kaki sudah merah. Nayara mendengar bunyi klakson dimana-mana dan ia ketakutan. Gadis itu berada di tengah jalan.
Ini pertama kalinya ia berada di jalanan, ia kehilangan arah dan tidak tau harus melakukan apa.
Nayara hampir saja bersimpuh di sana sambil menutup kedua telinga nya menggunakan kedua tangannya, kepalanya berdengung mendengar bunyi klakson yang sangat nyaring.
Seluruh kendaraan berhenti, seorang pria berjalan ke arah Nayara dan menggendongnya ala bridal, membawanya hingga menyebrang dengan tuntas.
Hal itu kontan menyedot perhatian publik hingga pria itu menghilang, membawa Nayara masuk ke dalam sebuah mobil yang kemudian melaju menjauh.
Nayara masih dalam posisinya, ia menutup mata dengan tangisan yang sudah membasahi kedua pipinya, ia gemetaran.
Pria itu mendengus kesal, ia menarik paksa kedua tangan gadis itu agar tidak menutupi telinga lagi dan mengangkat dagunya, agar gadis itu tidak menunduk dan membuka mata untuk melihat siapa yang membawanya pergi.
"Diam, tenang."
Mendengar suara yang di kenali nya, Nayara sontak membuka mata dan mendapati Ravano kini ada di hadapannya, pria itu sudah membawanya masuk ke dalam sebuah mobil Limousin.
Nayara menerjang tubuh Ravano dan memeluknya sangat erat hingga pria itu kewalahan.
"Aku takut.." Tangisan Nayara pecah, semula ia menangis sesenggukan tanpa suara, kini gadis itu merengek sambil memeluk Ravano.
Rasa sakit pada kaki nya seolah tergantikan setelah ia bisa melihat Ravano lagi.
"Jangan tinggalkan aku lagi.. Katanya a-aku milikmu, tapi kenapa kau meninggalkanku?"
"Jangan menantang ku." Hanya itu yang keluar dari mulut Ravano.
Nayara masih memeluknya, setelah tangisnya reda barulah ia mendongak untuk melihat wajah Ravano.
"Apa kau akan melukaiku lagi?"
Pertanyaan itu membuat Ravano menoleh padanya. "Kau tidak sadar sedang di culik oleh seorang psikopat dan bertanya seperti itu?"
"Psikopat mesum.." Gumam Nayara dan Ravano dapat mendengarnya dengan jelas, ia langsung mendorong Nayara dengan keras hingga gadis itu terbaring, bahunya terbentur jok memanjang tersebut.
Nayara meringis pelan, mungkin saja ia bisa mengalami patah tulang dalam waktu dekat jika Ravano terus menghempaskan tubuh mungilnya. Nayara belum bangkit, ia masih terbaring dan memegangi bahunya.
Yang terbentur memang bukan hanya bahu, tapi titik itu yang paling sakit karena beberapa jam sebelumnya, sudah pernah terbentur.
"Kau ini takut tapi bicara mu terus menantangku."
Ravano menatap Nayara datar, tanpa merasa bersalah sedikit pun melihat gadis manis di hadapannya mengerang kesakitan.
"Aku ingin pulang! Aku tidak mau mati sia-sia di tanganmu!" Nayara menjerit tertahan karena bahu dan pahanya berdenyut bersamaan, hal itu bisa saja terjadi jika urat di tubuh Nayara tegang atau shock.
"Kau tawanan, kau di culik." Ucap Ravano tenang. Pria itu duduk dengan rapi sambil melirik Nayara sesekali dengan ujung mata tajamnya.
"Kalau begitu bunuh aku sekarang? Bukankah kau menyiksaku secara perlahan itu percuma saja karena ujung-ujungnya aku akan mati juga?" Nayara bangkit, ia sedikit menjauh dari Ravano, menyibakkan roknya tanpa peduli Ravano melihatnya.
"Jadi lebih baik kalau aku langsung mati saja!"
Ia melihat luka di pahanya yang terus-menerus berdenyut, membuatnya kesal dan frustasi. Ia sudah tidak kuat menahannya, jika ia tidak dapat pulang, maka lebih baik ia mati.
Sejenak ia berpikir mungkin Ravano memiliki sisi baik karena membawanya ke klinik dan menolongnya tadi.
Namun setelah mendapat sikap kasar lagi, Nayara berubah pikiran, Ravano tetaplah lelaki jahat.
Ada sebuah meja kecil di dekat Ravano, di sana ada sepiring makanan, dua gelas minuman, ada pula sendok dan garpu.
Nayara mempertimbangkan untuk mengambil garpu, lalu menusuk lukanya agar berdarah lagi, dengan begitu mungkin ia akan mati karena kehabisan darah? Pokoknya ia bisa menggunakan garpu dan pisau yang tajam untuk menusuk tubuhnya sendiri.
Secepat kilat ia mengambil garpu dan langsung melayangkannya pada pahanya meski berurai air mata, tapi mata gadis itu serius ketika mengambil garpu dan mengangkatnya tinggi, seolah memberi ancang-ancang tangannya, agar tusukannya bertenaga.
Dengan cepat Ravano merebut garpu itu tepat sebelum ujungnya menyentuh perban. Ia membuang garpu tersebut dan menendang meja kecil itu hingga segala yang ada di atasnya berjatuhan.
Nayara menatapnya nyalang. "Kenapa kau menghentikan ku? Bukankah aku akan mati juga nantinya? Lalu apa bedanya mati karena mu nanti dan sekarang?!"
Nayara terus meronta-ronta sementara Ravano memegangnya dengan sangat erat.
"Diam!" Ravano menggeram dan mencengkram bahu Nayara. Sorot mata tajamnya tidak membuat Nayara gentar.
"Kau lelaki jahat! Aku sempat mengira kau memiliki sedikit saja sikap baik namun nyatanya aku salah!" Nayara membentak Ravano.
"Kau menculik ku, menyiksaku.. "
"Nayara!" Ravano membentaknya. "Aku hanya memberikan tanda, aku tidak akan membunuhmu."
"Untuk apa?! Kenapa kau tidak bunuh aku saja sekalian?! Jika tidak, kembalikan aku pada orang tuaku!"
"Karena aku menginginkanmu! Paham?" Ravano menggoyangkan bahu Nayara sekali.
"Aku ingin kau. Kau mangsaku, jadi tawanan ku. Menjadi milikku. Aku menculik mu karena Niko menolak ku. Aku tidak mentolerir penolakan dalam hidupku, apapun jenisnya."