Chereads / DEVIL : Psikopat Tampan / Chapter 6 - BAB 6

Chapter 6 - BAB 6

Nayara terkejut, Ravano memperlakukan nya dengan buruk. Ini bukan perlakuan yang baik bagi seorang pria kepada seorang wanita.

Ravano mengeluarkan sebuah pisau lipat, wajahnya sangat dingin dan aura suram kembali Nayara rasakan. Gadis itu masih meringis karena Ravano membanting tubuhnya begitu kencang.

Nayara gelagapan, ia buru-buru menjauh sebisa mungkin ketika melihat Ravano memainkan pisau itu.

Kini Nayara takut lagi, mau di apakan dirinya dengan pisau itu? Tatapan Ravano yang licik dengan seringai nya membuat keringat dingin tiba-tiba mengalir pada pelipis Nayara.

Ravano berhasil menindih tubuh Nayara dalam sekali naik keatas kasur, pisau lipat itu kini hampir menyentuh pipi kanan Nayara, gadis itu menelan ludahnya dengan sangat susah.

Panik, jelas. Siapa yang tidak akan panik jika ada di posisinya? Pria di hadapan nya ini tidak terbaca gerak-geriknya.

"Tolong, jangan sakiti aku." Nayara memohon lagi, Air matanya kembali mengalir.

"Bukankah kau bilang pada ayahku, kau suka padaku? Kau bahkan mencium bibirku di taman belakang, kau bahkan sudah tidur bersama ku di atas sini, kau bahkan pria pertama yang aku peluk setelah ayahku. Jauhkan pisau nya."

Tangan Ravano berhenti bergerak saat ujung pisau hampir saja menyentuh pipi Nayara. Kedua tangan gadis itu juga hampir memegang dada bidang Ravano. Rupanya, Nayara berniat melakukan perlawanan tapi terlalu takut untuk bergerak.

Ravano masih menatap Nayara dingin. "Biasanya aku mengeksekusi mangsaku tanpa ampun, menggunakan pisau yang lebih besar dan menyekap mereka di ruangan yang gelap."

Nayara lebih panik lagi sekarang, ia merasa dadanya sesak. Apa hidupnya akan berakhir disini?

"A-aku mohon, aku tidak mau mati tuan.." Lirih Nayara sangat pelan sampai Ravano harus membungkuk lebih rendah lagi.

"Bukankah tadi kau bilang tidak peduli mau di culik atau bukan, jadi tutup mulutmu." Perintah Ravano.

Dingin, Nayara merasakan sisi lain pisau lipat itu menempel di pipinya. Tapi Ravano tidak menggoreskan bagian tajamnya.

Ravano menurunkan kedua tangan Nayara agar berada di samping. Ia mengelus pipi Nayara dengan lembut.

Nayara mengenakan dress merah muda yang kini sudah tersingkap sampai bagian paha nya yang bening, putih dan mulus.

Mata Ravano beralih ke sana sejenak kemudian menatap Nayara tajam lagi.

"Kau belum pernah berinteraksi dengan pria?" Ravano bertanya dengan seringai nya yang menyebalkan.

"Tentu saja pernah, beberapa pelayan di rumahku pria. Tapi aku tidak pernah bersentuhan dengan mereka, bahkan untuk bersalaman sekalipun." Nayara menjawabnya dengan lancar.

"Nenek tidak memperbolehkan aku untuk kenal dengan mereka lebih jauh, kecuali sebatas tau nama saja."

Pisau itu kini berpindah ke atas belahan dada Nayara, di atas dress yang ia kenakan.

"Selama ini kau tinggal dengan Nenek mu, kemana ibumu? Kemana perginya Theona Altair?" Ravano bertanya lagi.

Pria itu juga tidak tau mengapa dia terus bertanya hal tidak penting seperti ini, bukan nya segera mengeksekusi mangsanya. Tapi tampaknya mengajukan banyak pertanyaan lebih bagus agar gadis itu teralihkan fokusnya.

Tapi Nayara malah sangat tertekan di sana, gadis itu terlihat ketakutan, keringat dingin dan air mata mengalir bersamaan dan tatapan nya tidak pernah lepas dari mata Ravano, berharap pria itu memberinya ampunan.

Gairah psikopatnya seolah dengan mudah mencapai puncak hanya dengan melihat keadaan Nayara yang seperti ini saja.

Nayara enggan bicara setelah mendengar pertanyaan terakhir mengenai keberadaan ibunya.

Pandangan nya kini jatuh ke samping dengan tatapan yang sendu. Dia pasrah, karena sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Ravano sudah menguasai tubuhnya, sepenuhnya.

Srett!

Ravano merobek dress Nayara sampai ujung bawah, gadis itu langsung menoleh padanya dan menutupi dadanya dengan kedua tangannya.

Tubuh putih dan mulus Nayara terpampang jelas setelah Ravano menyingkirkan dress itu ke samping dengan paksa. Nayara hanya memberikan tatapan memohon dengan kepala yang menggeleng ke arah nya.

Gadis itu sudah tidak mampu bicara. Ravano merobek total semua nya dan menggunakan nya sebagian untuk mengikat tangan Nayara agar diam, tepat di atas kepala gadis itu sendiri.

Ravano menyentuh perut rata Nayara yang permukaan kulitnya lembut, pria itu memejamkan matanya sejenak.

Sensasi apa ini? Ia belum pernah melakukan hal seperti ini, ia biasanya merasa jijik pada wanita yang menggodanya, bahkan tak segan mendorong mereka kasar.

Tapi kini dirinya yang menyentuh kaum hawa, Ravano bahkan sudah mencium Nayara. Kini tangannya berada di perut gadis belia itu. Kenapa begini? Apa Ravano masih waras? Nayara ini mangsanya, tapi kenapa ia malah menikmati menyentuh setiap inchi tubuh Nayara? Seharusnya dia tidak secabul ini!

Ravano menepuk paha kiri Nayara kencang hingga memerah dan Nayara menjerit. Ravano merobek lagi sedikit dress Nayara dan menyumpalkan itu ke mulut Nayara.

"Tahan, aku kan memberimu tanda." Ravano berpindah ke samping Nayara yang berbaring terlentang dengan pakaian robek dan tubuhnya terekspos total.

Hanya bra dan celana dalam yang masih di menempel.

Ujung pisau lipat sudah mengenai kulit paha kiri Nayara, sedetik kemudian darah segar mengalir di sana, turun kebawah mengenai kasur. Nayara menjerit kencang, kaki nya menendang Ravano dan berusaha memberontak, ia kesakitan.

"Diam atau lukanya akan semakin dalam!" Ravano membentak saat Nayara mencoba memberontak.

Pria itu mengukir sebuah nama di atas paha Nayara yang sudah berlumuran darah. Ukiran sebuah nama yang merupakan tanda bahwa Nayara adalah mangsa Ravano. Gadis itu milik Ravano, sampai kapanpun.

Setelah selesai, Ravano membuka sumpalan di mulut Nayara dan mengelap pisau lipat nya, suara tangisan pilu terdengar jelas dan Ravano sangat puas. Dirinya sangat bergairah sekarang, ia senang melihat Nayara sangat menderita padahal luka yang ia berikan tidak sebanding dengan korban-korban sebelumnya.

Mungkin karena perempuan? Biasanya Ravano mengeksekusi pria yang di ikat pada kursi, menguliti atau menusuk tangan dan paha korbannya, setelah puas ia berhenti. Kemudian memanggil dokter dan asistennya, untuk mengurus korbannya.

Ravano menyimpan pisau lipatnya ke dalam laci dan melempar robekan kain dari dress Nayara ke lantai. Gadis itu tengah meringis kesakitan karena luka sayatan berdenyut-denyut.

Ravano naik kembali ke atas kasur dan melepas ikatan tangan Nayara. Gadis itu menangis, masih terbaring, tangannya meraih Ravano yang sedang menyentuh tubuhnya. Ravano membersihkan darah yang sudah mulai berhenti mengalir.

"Diam, jangan banyak bergerak, agar darahnya berhenti mengalir." Ravano menepis tangan Nayara.

"S-sakit.. Perih.."

Pria itu memberikan kecupan pada bibir Nayara dan mengusap air mata di pipi gadis itu.

"Diam." Ucapnya sekali lagi sebelum beranjak. "Kau harus belajar menahan nya karena ini akan menjadi hal rutin bagi mu nanti nya."

Nayara bergidik ngeri, bisa-bisanya pria itu berwajah datar dan santai. Nayara merasakan lukanya sangat nyeri dan perih, apalagi jika ada yang mengenainya.

Ravano membawa handuk, air hangat dan kotak obat. Pria itu membersihkan luka Nayara dengan cepat dan segera membungkusnya agar cepat mengering dan ia bisa melihat hasil ukirannya tanpa darah.

Biasanya ia akan memanggil dokter, tapi kali ini korbannya bukan pria, bukan juga gadis yang akan ia buang begitu saja setelah ia bawa kemari. Ravano merasa sedikit emosi telah menguasainya, ia ingin Nayara menjadi milik nya namun dengan perasaan yang tidak biasa.

Setelah selesai, Ravano membantu Nayara duduk dan perlahan berdiri. Rasa malu Nayara sudah terjatuh sejak Ravano menelanjanginya, yang ia rasakan saat ini hanya rasa sakit.

Kasur sudah berantakan dan penuh darah, Ravano kemudian menarik Nayara ke kamar mandi. Gadis itu tertatih-tatih di seret Ravano.

"Bersihkan wajahmu, rapikan rambutmu. Ganti semua yang kau pakai dengan yang sudah aku siapkan." Perintah Ravano tegas.

Nayara hanya diam dan menatap cermin besar di hadapannya. Ia kacau, seluruh tubuhnya sangat kacau.

"Kenapa?" Lirih Nayara yang kembali menangis.

Ravano hanya mengangkat sebelah alisnya. Nayara kini menoleh padanya dengan tatapan terluka.

"Kenapa kau melakukan ini padaku?" Tanya Nayara lagi.

"Kau mangsaku. Targetku. Kau milikku selamanya. Luka itu tanda kepemilikan dariku." Jawab Ravano. "Cepat, kita akan segera pergi dari sini."

"Kenapa harus aku.." Lirih Nayara lagi seolah tidak puas dengan jawaban Ravano.

Pria itu menghela napasnya, ia mendekati Nayara lagi hingga gadis itu mundur dan bahunya menyentuh dinding kamar mandi. Ravano mencengkram pelan pipi Nayara, mata mereka beradu tatapan.

"Karena kau memang untukku. Kau harusnya bersyukur, aku tidak membunuhmu." Desis Ravano.

Matanya turun melihat dua gundukan dada Nayara yang ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari balik pakaian. Cukup proporsional dan pas seperti nya jika ia pegang?

"Kurasa aku harus menandai mu lagi."

Kepala Ravano turun, ia menggigit dan menghisap bagian atas payudara kanan Nayara agak kencang, gadis itu mengerang karena merasakan pedih dan nyeri lagi. Nayara belum sempat melawan, pria itu segera mundur dengan cepat setelah di rasa nya cukup.

"Aku bisa memberimu apa saja, bahkan dunia sekalipun. Kau hanya perlu menurut."

"Aku bukan budak mu!"