Setibanya di rumah sakit Bela dan Rian langsung mencari kamar rawat bibinya itu. Lorong demi lorong rumah sakit telah dilewatinya dengan perasaan penuh kepanikan. Bela yang mudah menangis itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya sehingga selama berjalan mencari kamar bibinya itu dia juga menangis. Tangannya dia gunakan untuk menyeka air matanya yang terus berjatuhan itu.
Selama ini dia dan adiknya sudah dibesarkan dengan kasih cinta bibinya. Semua kebutuhannya dengan adiknya selalu dipenuhi oleh bibinya itu. Meski tidak semuanya memang, tapi setidaknya Bela sudah tahu dan ikut merasakan usaha dan perjuangan keras dari bibinya itu dalam membesarkan dirinya dan adiknya selama ini. Sehingga mereka tidak merasa kehilangan kasih sayang dari seorang ibu.
Setibanya di depan kamar rawat bibinya, mereka langsung berdiri sembari menunggu pintu itu terbuka. Mereka sudah diberitahu salah satu perawat disana kalau bibinya sedang ditangani dokter.
"Bibi tolong jangan buat kita khawatir."batin Bela yang berdiri dengan lemas di depan kamar rawat bibinya.
"Kakak, bibi gimana ini?"Rian juga panik.
"Kita doakan yang terbaik untuk bibi ya dek. Kita nunggu diluar sini ya."Bela berusaha lebih kuat dihadapan adiknya. Bela memeluk Rian.
Tidak terasa waktu kini semakin berlalu. Sudah hampir setengah jam bibinya ditangani dokter didalam tanpa keluar sedikitpun dan mereka berdua masih menunggu diluar dengan penuh kecemasan. Bela tidak bisa menyembunyikan lagi perasaan khawatir dan takutnya. Dia benar-benar tidak tahu kalau bibinya sampai kenapa-kenapa.
"Permisi, apa ini keluarga dari ibu yang dirawat didalam ?"ditengah penantian mereka, ada sosok laki-laki parubaya berusia sekitar 40 tahunan menghampiri Bela dan Rian yang sedang menanti di luar kamar rawat bibinya.
"Siapa ya?"batin Bela sambil kaget dan berdiri.
"Ya pak. Ada apa ya?"Bela langsung mendongak dengan tatapan sendu karena habis menangisi bibinya yang masih menunggu kondisi kesehatan bibinya itu.
"Kenapa pakaian bapak ini ada darahnya."Bela dan Rian sepemikiran melihat pakaian bapak yang tidak dikenali itu terdapat bercak darahnya.
"Gini mbak, saya yang bawa ibu mbak kesini tadi. Ibu mbak tadi ditabrak orang yang tidak bertanggung jawab dan langsung meninggalkannya begitu saja di jalan. Keb…."
Belum selesai bicara, Bela dan Rian langsung terperanjat karena kaget mendengar pengakuan bapak tadi. Bela dan Rian jelas tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Mendengar berita bibinya masuk rumah sakit karena kecelakaan saja sudah membuat mereka sedih apalagi mendengar berita dari bapak tadi. Rasanya emosi mereka langsung protes begitu saja.
"Siapa yang nabrak pak?"reflek Rian langsung bertanya dengan mata melotot kearah bapak yang tidak dikenali mereka.
"Ya pak, siapa yang sudah nabrak bibi saya?"Bela langsung berdiri dan mendekat kearah bapak tadi dengan mata tambah berlinangan.
"Sabar ya mbak. Bapak juga nggak tahu siapa orangnya. Kebetulan bapak tadi sedang dagang keliling dan tahu-tahu sudah lihat ibu adek terbaring di tengah jalan dalam keadaan sudah bersimbah darah. Terus saya sama warga yang ada disana langsung bantu bawa kesini."jelas bapak tadi dengan serius dengan sunguh-sungguh.
"Beneran bapak nggak tahu siapa orangnya?"Rian refleks langsung memegang tangan bapak tadi dengan kuat.
"Ya mas. Bapak nggak tahu. Tapi katanya orang-orang disana, kayaknya yang nabrak itu naik mobil."bapak tadi berusaha mengingat-ingat.
"Ya sudah pak, kalau begitu. Makasih karena sudah bantu bibi kita ke rumah sakit ini sehingga bisa ditangani langsung."Bela terlihat pasrah karena bapak tadi juga minim informasi.
"Ya mbak. Semoga ibu adek nggak kenapa-kenapa."
Kini Bela dan Rian harus menerima kenyataan kalau bibinya itu habis tabrak lari. Dan orang yang sudah menabrak itu tidak mau bertanggung jawab. Terlebih mereka tidak tahu siapa yang salah tapi menurut Bela tidak seharusnya orang yang menabrak bibinya itu langsung pergi begitu saja tanpa ada peri kemasuiaan untuk membantu bibinya ke rumah sakit. Kini yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu dokter keluar dari kamar rawat bibinya itu.
Ceklek
Sepeninggal dari bapak tadi yang tidak diketahui namanya itu, tiba-tiba ada suara pintu terbuka. Reflek mata Bela dan Rian langsung menoleh kearah sumber suara. Ternyata benar saja, pintu kamar rawat bibinya sedang terbuka. Kini terlihatlah seorang dokter perempuan mengenakan kacamata keluar.
"Gimana dok keadaan bibi saya?"Bela langsung menghampiri dokter itu.
"Semoga bibi nggak kenapa-kenapa sekarang?"batin Rian yang berdiri disamping Bela sambil memperhatikan dokter perempuan itu.
"Apa ini keluarga dari pasien yang ada didalam?"tanya dokter itu yang bernama dokter Sely.
"Kita ini keponakannya dok. Sejak kecil kita sudah dirawat dan tinggal bersama."jawab Bela dengan cepat yang terus menatap dokter Sely.
Dokter Sely terlihat bingung antara mau menyampaikan apa tidak kepada Bela. Tapi setelah dipikir-pikir keadaan pasiennya didalam terdapat luka yang parah jadi harus memberitahukannya dengan segera kepada keluarga terdekat. Bela sudah tidak sabar menunggu jawaban dari dokter itu.
"Gimana dok keadaan bibi saya?"protes Rian melihat dokter Sely yang diam saja.
"Keadaan bibi adek sekarang tengah kritis. Luka di kaki dan kepalanya sangat serius. Dan bibi adek harus segera mendapatkan operasi secepatnya untuk memberikan pertolongan secepatnya."ucap dokter Sely dengan penuh berharap.
Deg deg
Jantung Bela seakan berhenti berdetak. Seketika pikirannya langsung dipenuhi dengan bau uang. Secara dia sadar kalau biaya operasi tentulah banyak. Tapi kenyatannya malah dia tidak memliki uang banyak. Jadi gimana dia bisa membayar biaya operasi rumah sakit bibinya itu.
"Kak, gimana ini?"Rian langsung mendekati Bela.
"Apa itu harus dilakukan operasi dok?"tanya Bela. Dokter Sely langsung mengangguk dengan cepat.
"Dok, apa boleh operasinya dilakukan dulu. Nanti biayanya pasti akan saya lunasi."Bela langsung mendekati dokter Sely sambil memegang tangan.
"Mungkin bisa ditanyakan pada bagian administrasi dulu ya."jawab Dokter Sely dengan pelan-pelan.
Bela tidak bisa apa-apa sekarang. Bingung, panik dan khawatir kini jadi satu. Dia tidak memgira kalau bibinya akan menderita luka yang serius hingga harus menjalani tindakan operasi. Ditambah operasi membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Rasa panik Bela kini berubah menjadi bingung. Betapa tidak kini dia sudah dibingungkan dengan bagaimana cara mendapatkan uang banyak untuk membayar biaya operasi bibinya itu.
"Kalau sudah dilunasi biaya operasinya, kami bisa segera mengoperasi pasien didalam."kata dokter itu sebelum pergi meninggalkan Bela dan Rian yang masih terdiam itu.
"Kak, kakak mau kemana?"sepeninggal dokter Sely pergi itu, Bela justru ikut pergi. Rian langsung mengikuti Bela dari belakang.
Ternyata Bela berlari itu menuju ke ruang administrasi rumah sakit tempat bibi Devi dirawat. Bela ingin menanyakan biaya operasi bibinya itu.
"Sus mau tanya, biaya rumah sakit atas nama Devi Suryanti berapa ya?"tanya Bela dengan cepat.
"Bentar ya mbak, saya cek dulu."jawab pegawai administrasi tersebut langsung mengecek computer.
Bela dan Rian menunggu pegawai tersebut mengecek langsung di komputer. Jari jemari Bela tidak bisa berhenti bergerak sembari menunggu jawabannya. Perasaannya kini campur aduk sekarang sambil menunggu biayanya.
"Atas nama Devi Suryanti, biaya operasinya sebesar 30 juta."
Degggg
Jantung Bela seakan hendak jatuh dari posisinya setelah mendengar itu. Dia tidak bisa membayangkan dapat uang sebanyak itu darimana. Dia sekarang yang tidak bekerja juga tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sekalipun dia jualan keliling kayak kemarin juga belum tentu bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dengan cepat.
"Apa itu bisa dicicil mbak?"tanya Bela dengan polos.
"Maaf mbak tidak bisa."jawab pegawai administrasi tersebut dengan pelan-pelan.
"GImana ini kak?"Rian khawatir.
"Kakak juga nggak tahu dek."Bela kembali dengan perasaan sedih dan bingung sekarang.