Malam ini Bela benar-benar merelakan dirinya untuk melayani orang yang tidak dikenalnya. Dia terpaksa melakukan hal sehina itu hanya demi menolong bibinya. Dia tidak ada pilihan lagi sekarang. Mau tidak mau dia harus menerima tawaran itu. Dalam hati kecilnya jelas sekali ingin menolak tawaran itu. Mau dibayar berapapun dia tidak ingin menerimanya. Keadaanlah yang membuatnya harus menerima itu.
Dret
"Halo dek."Bela langsung mengangkat telepon Rian ditengah sibuknya dia bekerja tengah malam.
"Halo kak. Kakak dimana kok sampai sekarang nggak pulang?"tanya Rian dengan panik disana.
"Ak…."
"Ya dek. Tunggu sebentar lagi ya dek. Sebentar lagi kakak akan dapat uangnya. Nanti kakak akan pulang."jawab Bela dengan cepat.
"Sudah ya, jangan telepon kakak lagi. Nanti kakak akan pulang. sabar ya."jawab bela sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam. Bela langsung mematikan handponenya itu.
"Mbak, saya mau. Saya bersedia menerima tawaran orang itu. Sekarang saya harusgimana?"kata Bela kepada Rena dengan terpaksa.
Bela tidak peduli lagi dengan masa depannya lagi sekarang. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah bibinya saja. Kesehatan bibinya itu jauh lebih penting sekarang.
Rena melihat perjuangan Bela itu sungguh membuatnya terharu juga.Biargimanapun juga dia pernah jadi di posisi Bela itu jadi tahu bagaimana perasaan Bela seat ini.
"Tadi orangnya hanya ngasih ini ke aku. Kalau kamu mau kamu disuruh kesana. Hanya itu yang dia berikan."Rena menyerahkan selembaran kertas yang berisi alamat hotel kepada Bela.
"Ini alamat orang itu mbak?"
"Ya. Kalau kamu mau, didepan café ini sudah ada mobil untuk membawamu kesana."Rena berbisik ke telinga Bela.
Flashback
"Tuan, disini sendirian sedang apa?"Rena melihat ada sosok laki-laki tampan gagah tengah berdiri sendirian di pojok café sambil memperhatikan seseorang dari kejauhan. Padahal semua orang tengah menikmati alunan jedag jeduh music di café tersebut.
"Oh nggak kenapa-kenapa."jawab laki-kaki itu yang tidak lain adalah Raka sambil menoleh kearah Rena.
"Tuan sedang melihat siapa?"Rena menatap kearah orang yang tadi ditatap Raka tadi. Ternyata di ujung sana ada Bela yang sedang melayani seorang laki-laki.
Setelah berbicara dengan Rena, matanya kembali menatap kearah Bela yang sedang diujung sana. Sepertinya mata Raka terkena pengaruh magnet oleh Bela. Raka sengaja tidak memberitahu Rena kalau dirinya sedang menatap Bela dari kejauhan.
"Tuan sedang menatap Bela?"tanya Rena.
"Ya. Dia pelayan disini?"tanya Raka yang masih menatap Bela dengan sinis.
"Ya tuan. Dia baru bekerja disini."jawab Rena.
"Oh jadi dia baru. Tetap saja dia wanita kayak yang lain yang pekerjannya hanya menghibur laki-laki disini."dalam hati Raka sambil meremehkan Bela.
"Laki-laki ini sangatlah tampan. Hidungnya, bibirnya indah sekali. Apalagi postur tubuhnya, dadanya itu lho seksi sekali."gumam Rena sambil memandangi Raka dengan penuh kekaguman.
"Aku punya perintah buat kamu. Kasih tahukan ke dia kalau aku bersedia membayar berapapun yang dia minta kalau dia mau menemaniku malam ini."Raka punya ide lewat Rena itu.
"Maaf tuan. Dia tidak bekerja seperti itu tuan. Dia hanya ingin jadi pelayan saja disana."jawab Rena sambil menatap Raka.
"Aku tidak percaya. Wanita seperti dia itu munafik kalau menolak uang dariku."tatap Raka kembali sinis kearah Bela.
"Aku akan mengetes keteguhanmu itu, apa bisa menolak tawaran ku ini. Wanita seperti kamu itu pasti suka dengan uang."batin Raka dalam hati yang menganggap Bela seperti wanita penghibur lainnya yang rela melayani hidung laki-laki hidung belang disana dengan berharap imbalan uang.
"Ini. Berikan ke dia. Aku tunggu disana. Nanti ada orang yang menjemputnya di depan."Raka langsung memberikan selembar kertas yang berisi alamat suatu tempat. Raka sangat yakin kalau Bela mau menerima tawaran tersebut.
Rena benar-benar bingung. Ada seorang tamu yang baru dikenalnya itu tiba-tia ingin menyewa Bela. Padahal Bela baru bekerja disana. Memang dia akui kalau Bela memang cantik. Tidak hanya cantik tapi tubuhnya seperti gitar spanyol tu pasti membuat banyak kaum laki-laki menyukainya. Termasuk Raka itu.
"Ini uang untukmu."Raka memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Rena sebagai imbalannya.
"Tapi tuan…"Rena ragu menerimanya. Tapi malah keburu Raka sudah pergi.
Raka langsung meninggalkan Rena sendirian disana. Rena hanya bisa menatap bingung kearah Raka yang tidak dikenalnya itu.
"Dia pasti orang kaya. Ah tau ah. Tapi kalau dilihat-lihat dia masih muda sekali."batin Rena yang nurut saja menerima uang itu.
Meninggalkan Rena yang masih diam saja disana, Raka menuju ke suatu tempat. Ternyata dia ingin menemui Bondan, pemilik café tempat Bela bekerja itu. Bondan sendiri adalah teman satu tongkrongan Raka bersama teman-temannya yang lain. Jadi dia kenal. Dan dia ingin meminta bantuan untuk memberikan waktu kepada Bela bersenang-senang dengannya.
Ternyata Bondan tidak ada disana. Alhasil dia langsung mengirimkan pesan kepada Bondan. Dan ternyata bondan dengan ringan hati langsung mengizinkannya tanpa menanyakan alasan dan memikirkannya dulu. Mereka berdua cukup dekat ketika nongkrong.
"Bagus. Makasih bro."senyum licik Raka terukir setelah mendapatkan izin dari temannya itu. Raka tahu kalau café itu milik Bondan. Makanya dia meminta izin dulu kepada Bondan.
Bela kini sudah berada di dalam ruang ganti. Dia akan mengganti pakaiannya dulu sebelum pergi ke tempat yang akan dia tuju nanti untuk bertemu dengan tamunya. Jujur dia berat sekali melakukannya.
"ini semua demi bibi. Aku harus melakukannya."ucap Bela sambil mengganti pakaiannya dengan pakaian sedikit terbuka.
Kebetulan dia dipinjami Rena pakaian. Bela menatap dirinya dari balik cermin. Jujur dia merasa risih sekali melihat badannya terlihat fulgar sekali sekarang. Dres berwarna merah dan sangatlah ketat, belum lagi ukurannya yang sangat kecil membuat sebagian tubuhnya terlihat jelas. Bagian atas berbentuk singlet dan bagian bawahnya tidak sampai menutupi seluruh pahanya. Sehingga kaki panjang mulusnya itu dapat terlihat begitu saja. Belum lagi belahan dadanya yang juga ikut nampak.
"Bibi maafin aku."Bela menangis di depan cermin sambil meratapi nasibnya yang harus berpenampilan seperti itu.
"Aku bisa memancing laki-laki lain."Bela memandangi penampilannya yang terlihat seksi sekali itu dari cermin.
Bela keluar dari café itu sambil mengenakan jaket milik Rena. Rena sudah meminjami semua kepadanya. Dia berjalan keluar kearah mobil hitam yang terparkir di depan. Sebelumnya Rena sudah memberitahu Bela kalau Bondan selaku pemilik café itu sudah mengizinkannya keluar.
"Mbak Bela?"Bela yang baru keluar dari café sudah disambut sosok laki-laki di dekat salah satu mobil berwarna hitam.
"Ya."jawab Bela dengan kaget dan bingung.
"Silahkan mbak."kata laki-laki itu sambil membukakan pintunya.
Kalau diamati, laki-laki itu terlihat masih muda. Bela terdiam, melihatnya. Sempat ada keraguan dan kebimbangan melanda hatinya sekarang. Apakah keputusan yang diambilnya sekarang sudah tepat. Apakah mungkin harga dirinya benar-benar harus ditaruhkan hanya demi uang.
"Mbak Bela?"
"Eh ya."Bela kaget.
"Silahkan masuk mbak."laki-laki itu mempersilahkan Bela untuk segera masuk kedalam mobil.
"Aku sudah nggak ada pilihan lagi. Ini demi bibi. Bibi maafin aku. Hahhhh."Bela menghembukan nafas panjangnya.
Ceklek
Bela sudah duduk manis didalam mobil itu. Kemudian laki-laki itu membawa Bela pergi menjauh dari café. Bela melewati gedung-gedung tinggi dikanan kiri jalan. Jujur malam ini adalah malam terburuk untuknya. Sampai kapanpun dia tidak akan melupakannya.
"Cantik."batin laki-laki itu sambil menatap Bela dari kaca spion diatasnya yang menampilkan Bela sedang melamun di bagian kursi belakang.
"Maafin aku ya Tuhan. Maafin aku bibi."tidak terasa air mata Bela mulai meluncur deras. Sehingga make up nya sedikit luntur. Tapi itu tidak mengurangi paras cantiknya yang memang sudah cantik alami itu.
Tidak terasa mobil itu sudah menjauh dan berjalan cukup lama. Hingga kini tibalah mobil itu di sebuah hotel indah dan tinggi di Kota Jakarta. Mata Bela sampai membelalak melihatnya. Baru kali ini dia datang ke hotel semewah itu.
"Silahkan mbak."laki-laki itu lagi-lagi bersikap manis kepada Bela sambil membukakan pintu mobil untuk Bela.
"Dia dibayar berapa sih sama orang itu. Sehingga dia mau seperti ini."batin Bela dalam hati.
"Ini nomor kamarnya."kata laki-laki itu sambil menyerahkan selembar kertas kepada Bela.
"Kok kayak misterius gini sih. Dikasih kertas dari tadi."batin Bela dalam hati.
Bela benar-benar ingin menangis dengan sekencang-kecnangnya sekarang. Dia tidak pernah membayangkan kalau dirnya berada pada posisi sekarang. Selama ini dia selalu berusaha untuk belajar agar bisa bersekolah setinggi mungkin. Agar nantinya dia bisa sukses. Tapi apa sekarang. Dia malah akan menghancurkannya dalam waktu sekejap saja.
"Aku harus menutupi wajahku. Nanti kalau ada temanku yang tahu, parah."Bela memasuki hotel itu sambil menunduk untuk menutupi mukanya.