Chereads / BERAKHIR CINTA / Chapter 57 - Bab 57 Bibi Devi Kecelakaan

Chapter 57 - Bab 57 Bibi Devi Kecelakaan

Tidak terasa hari ini sudah menginjak satu minggu setelah kejadian beasiswanya hilang itu. Dia sudah ikhlas melepaskan beasiswanya itu. Bukan karena sudah dihancurkan oleh Raka tapi karena dia tidak mendapatkan izin dan restu dari bibinya, dia rela melupakan dan membuang kesempatan itu begitu saja demi bibinya.

Dan sekarang dia sudah tidak mempermasalahkannya lagi. Karena percuma saja kalau dipikirkan terus. Mungkin itu belum rezekinya.

"Aku harus cari kuliahan di sekitar Jakarta saja."batin Bela sambil diam di dalam kelas. Dia terus teringat dengan pesan bibinya untuk melanjutkan kuliah di Jakarta saja. Biar mereka tetap bisa bersama dan tentunya supaya bibinya bisa memantau keadaannya juga.

"Kamu kenapa Bel?"tanya Puteri yang melihat Bela menunduk itu.

"Nggak kenapa –kenapa kok Put."jawab Bela langsung mengalihkan pandangannya.

"Aku nggak mau menceritakan kejadian kemarin."batin Bela berusaha menghilangkan segala beban pikirannya itu.

"Lha kok kamu tadi menunduk gitu. Kayak mikirin sesuatu. Oh ya Bel, bukannya kemarin kamu dipanggil guru BK ya? Emang ada apa?"Puteri keingat sesuatu.

"Oh itu, a..aku ada urusan kemarin."jawab Bela yang tidak mau menceritakan perihal beasiswanya yang tidak bisa dia lanjutkan itu. Karena bibinya tidak merestuinya.

"Urusan apa?"tanya Puteri dengan penuh penasaran.

"Selamat pagi teman-teman. Kebetulan hari ini Bu Maemonah tidak bisa hadir karena ada urusan diluar. Dan ini ada tugas buat kita. Nanti langsung dikumpulkan sepulang sekolah."Dirga tiba-tiba masuk kedalam kelas menyempaikan tugas dari guru Kimia. Topik pembicaraan Puteri langsung teralihkan dan Bela lega melihatnya.

"Lah kok ada tugas sih. Kalau nggak ada tugas kan kita bisa nonton film."protes Raisa dengan keras dari belakang.

"Ya. Aduh."Diana juga setuju dengan kata Raisa tadi.

Seperti biasa kalau ada jam kosong di kelas, biasanya teman-teman Bela menonton film bersama. Mereka akan memutar film yang tengah popular dan bagus di layar kelas. Dan itu tentu sangat menghibur pikiran mereka.

"Berarti ini nanti langsung dikumpulin?"tanya Puteri yang duduk di barisan terdepan. Dirga langsung mengangguk.

Dirga langsung menulis di papan tulis tugas dari guru kimia itu. Semua terman-temannya terlihat sedikit kesal karena bentar lagi pulang tapi malah di kasih tugas. Kebetulan jam pelajaran kimia hanya satu jam hari ini dan waktunya juga akhir-akhir.

"Ga, itu jatuh uangmu."Bela menunjuk kearah lantai karena uang Dirga di dalam saku celana tidak sengaja jatuh sendiri. Dan Bela melihatnya.

"Uangmu banyak banget Ga."sindir Puteri yang juga melihat uang Dirga yang jatuh itu.

"Eh ya makasih."Dirga langsung memunguti uangnya kemudian dimasukkan lagi kedalam sakunya.

"Tuh kan dia knggak kayak dulu lagi. Kalau ngomong seperlunya saja."batin Bela sambil menatap Dirga dengan aneh. Akhir-akhir ini hubungannya dengan Dirga sangat jauh.

Bukannya mengerjakan tugas malahan Raisa dan Diana asyik mengobrol dibelakang. Nampaknya Raisa tidak mengerjakan tugas tersebut. Seperti biasa, diakhir-akhir pasti Raisa akan nyontek ke temannya.

Tidak terasa jam pulang pun tiba. Bela langsung mengemasi barang-barangnya untuk dimasukkan kedalam tasnya.

"Ini Ga aku kumpulin."kata Bela sambil mengumpulkan tugasnya di tangan Dirga.

"Ya."jawab Dirga dengan singkat.

"Tuh sudah selesai."giliran Puteri yang mengumpulkan lembar pekerjaannya tugasnya kepada Dirga yang sudah berdiri didepan papan untuk menerima satu persatu lembar jawab teman-temannya itu.

Sebenarnyat Bela ingin mengajak bicara Dirga lebih tapi nampaknya temannya itu tidak mau diajak bicara lebih banyak. Semanjak terbongkarnya dia berjualan keliling dulu, hubungan dirinya dengan Dirga renggang. Bela merasa kalau Dirga berubah sejak saat itu. Bela sempat berpikiran yang tidak-tidak. Jangan-jangan Dirga tidak mau menerima keadaannya yang tidak selevel dengan Dirga.

"Ayo Bel."Puteri langsung menggandeng Bela keluar dari kelas.

"Eh ya."Bela yang tadinya hendak mengajak bicara Dirga tidak jadi.

"Dia itu kenapa sih? Kok sekarang jarang bicara sama aku."batin Bela sambil berjalan mengikuti gandengan tangan Puteri. Tapi tatapannya masih mengarah ke Dirga.

"Eh put, kok kamu mau sih sama dia?"tiba-tiba Riasa dan Diana menghampiri Puteri dan Bela yang sedang berjalan bersama pulangnya.

"Memangnya kenapa? Masalah buat kamu."protes Puteri kepada Raisa.

"Ya kan secara kamu kaya. Situ kan kagak."timpal Diana yang sepertinya menyinggung Bela tanpa perasaan.

"Sabar Bela. Sabar."Bela langsung menata emosinya yang mulai terpancing.

"Aku berteman kan nggak milih-milih. Selagi dia baik sama aku, kenapa nggak."jawab Puteri dengan lantangnya.

"Ya udah kalau gitu. Yo kita pulang Diana."Raisa tidak peduli lagi. Sebenarnya dia juga kesal karena Puteri tidak ikut dengannya untuk benci dan tidak suka dengan Bela.

Sesampainya di parkiran, Bela langsung memisahkan diri dari Puteri. Dia langsung berjalan menuju parkiran sepeda. Sedangkan Puteri ke parkiran khusus motor.

"Udah jam segini. Pasti Rian sudah nunggu aku."Bela melihat kearah jam tangannya menunjukkan pukul 3 sore.

Bela langsung mengayuh sepedanya keluar dari sekolahannya. Selama perjalanan, Bela merasa kepanasan tapi itu sudah biasa. Karena setiap hari dia juga harus tersengat cahaya sinar matahari yang begitu panas ketika menembus kulit putih mulusnya.

"Sudah nunggu lama?"tanya Bela sesampainya di depan sekolahan Rian.

"Nggak kok kak."jawab Rian.

"Ya sudah ayo kita pulang."Bela memboncengkan adiknya dibelakang.

"Kamu itu laki-laki kok malah diboncengin perempuan."ejek teman laki-laki Rian disana.

"Kan kakaknya sangat sayang adiknya."jawab Bela dengan tegas.

Semua teman-teman Rian langsung terbungkam mulutnya sehingga jadi terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Bela barusan. Memang teman-teman Rian akui kalau Bela sering menjemput Rian dan memboncengkan Rian. Jadi itu terbukti kalau Bela sangat menyayangi Rian. Mereka sempat iri dengan Rian yang sangat disayangi oleh kakak perempuannya itu. Tanpa mereka tahu dan sadari kalau Rian tengah memendam penyakit keras di dalam tubuhnya yaitu penyakit ginjal.

"Aku sebenarnya malu kak kalau diboncengin kakak terus."kata Rian ketika sepeda mereka melaju.

"Udah jangan didengerin omongan temenmu itu. Nanti kalau kamu ada apa-apa, temenmu apa mau tanggung jawab. Kasihan bibi nanti kalau kamu ada apa-apa. Bibi kan nggak ada uang banyak."kata Bela langsung berterus terang.

"Ya kak."Rian langsung pasrah dan nurut saja. Dia juga sadar dengan keadaannya yang tidak boleh kecapekan.

Tepat pukul 4 sore, Bela kaget karena ada panggilan masuk di handponenya. Anehnya dia merasa tidak kenal dengan nomor itu. Dia yang merasa tidak kenal dengan nomor itu membuatnya tidak ingin mengangkatnya.

"Ya halo."Bela terpaksa mengangkat nomor itu karena sudah meneleponnya berkali-kali tapi sudah tolaknya tetap saja meneleponnya kembali.

"Halo apakah ini dengan keluarga ibu Devi?"tanya seseorang dari seberang sana yang terdengar seperti suara seorang perempuan.

"Bibi Devi. Ya saya keponakannya."jawab Bela langsung meletakkan pisaunya. Kebetulan dia hendak memotong sayur-sayur untuk dimasak di dapur.

"Ini dari pihak rumah sakit ingin memberitahukan kalau ibu Devi sedang dirawat di rumah sakit. Karena tadi terlibat kecelakaan di jalan raya. Dan sekarang tengah dirawat di rumah sakit."

Deggggg

Seketika Bela menjatuhkan handponenya dan dia langsung hilang keseimbangannya. Punggungnya langsung menabrak dinding rumah. Mendengar berita tersebut membuat jantung Bela serasa berhenti berdetak.

Prakkkk

Handpone Bela jatuh ditampani baskom. Jadi tidak pecah. Namun menimbulkan suara lumayan keras hingga sampai luar rumah.

"Kakak, kakak kenapa? Ada apa kak?"Rian langsung menghampiri Bela yang sudah lemas sambil bersandar ke dinding.

Mendengar suara aneh di dapur langsung membuat Rian bergegas kesana. Mata Rian langsung membelalak melihat kakaknya tiba-tiba lemas di dapur.

"Bibi Dek. Bibi."ucap Bela dengan mata berkaca-kaca hendak menangis saat menatap Rian.

"Ya bibi kenapa kak?"Rian jadi panik sendiri melihat cara bicara Bela aneh.

Bela seperti tercekat lidahnya. Rasanya berat untukmemberitahukan apa yang barusan didengarnya tadi kepada adiknya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya tadi.

"Kenapa kak?"Rian langsung menggoyang-goyangkan tubuh Bela.

Rian terlihat panik dan mengkhawatirkan keadaan bibinya itu. Bibi Devi sudah dianggap Rian seperti ibunya sendiri.

"Bibi kecelakaan dek. Dan sekarang bibi dirawat di rumah sakit."ucap Bela berusaha kuat.

"Apa kak? Nggak mungkin."Rian langsung lemas dan jatuh kebelakang.

"Ayo dek. Kita harus ke rumah sakit untuk menjenguk keadaan bibi disana."tanpa btuh waktu lama Bela mengajak Rian pergi ke rumah sakit. Tidak ada gunanya bersedih di rumah terus. Justru sekarang inilah mereka harus ada disamping bibinya untuk memberikan semangat sembuh.