Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 3 - Can't Stand

Chapter 3 - Can't Stand

"Permisiiiiiiii" pemuda yang memapahku membuka pintu geser ruang guru dengan sangat percaya diri. Beberapa guru memang masih ada di ruang guru, sisanya sudah pulang.

"Eh? kau siapa?" Mira-sensei tampak terkejut melihat orang yang bukan berseragam sekolah ini masuk ke ruang guru.

"Aku Urei Satou, murid pindahan dari Chiba. Aku datang untuk mengenal sekolah baruku. Besok aku baru bisa berangkat sekolah seperti biasa dan aku ingin melaporkan pengeroyokan yang aku lihat." suaranya lantang dan jelas. entah kenapa mendengarnya membuatku nyaman. Seakan kebaikan hatinya bergetar jelas dari suaranya.

Mira-sensei meraih tubuhku dari pemuda bernama Urei dan mendudukan aku di sebuah kursi di dekat dia duduk tadi. "Ya tuhaaan, luka-luka mu mengerikan. Apa kau punya tenaga untuk berjalan ke UKS?" tepat setelah mira-sensei selesai bertanya Aki-sensei masuk ke ruangan dan terkejut melihatku babak belur.

"Oto!!!" dia mendekat dan memeriksa luka di wajahku, dia menyentuh beberapa bekas cakaran yang berdarah lalu berdecak. "Ayo pergi ke UKS"

"Ano Aki-sensei, sepertinya Oto tidak kuat berjalan sendiri. Tadi Satou-kun yang memapahnya dari kelas ke sini"

"Satou? oh anak pindahan itu?" Aki-sensei menoleh pada Urei yang mengangguk. "Apa yang terjadi?"

"Sebaiknya kita obati dulu lukanya, aku takut lukanya akan infeksi" Urei bicara dengan sopan

"Benar juga" tanpa basa-basi Aki-sensei menggendongku seperti seorang putri. Aku terkejut dan mencengkram tangannya dengan keras. Tentu saja, ini sangat memalukan!

Mira-sensei melihat dengan pandangan takjub, dan beberapa guru lain menanggapi beragam. Ada yang menegur Aki-sensei bahwa itu tindakannya sangat tidak sopan bagiku. Aku setuju dengan guru bahasa Inggris yang tidak aku kenal itu.

"Dia lemas, jadi aku gendong saja" tanpa menanggapi dengan serius teguran tadi, dia berlalu begitu saja menuju UKS. Urei mengikuti kami tanpa diminta.

Aki-sensei mengantarku pulang, Ibu begitu terkejut melihatku. Setelah mandi dan makan seadanya aku masuk ke kamarku dan tidak keluar sama sekali. Aku tidak mau bertemu ayahku saat dia pulang kerja. karena yang akan dia lakukan hanya marah-marah dan menyalahkan keadaan.

Keesokan harinya, Urei benar-benar masuk sebagai murid pindahan di kelasku. pemuda baik ini memilih duduk di belakangku. Nakano si pemilik bangku dengan senang hati mau bertukar dengannya. Setelah melihatnya lagi dari dekat aku baru menyadarinya sekarang, kalau dia memiliki mata gelap yang cemerlang, dan sebuah tanda lahir di bawah bibirnya. Manis sekali.

Pelajaran kedua telah usai, lalu sebuah panggilan dari pengeras suara memecah kegaduhan kelasku yang tidak pernah tenang. "Panggilan untuk Kotoha Oto, Yuki Okada, Nana Hikari, Miyoko yoshioka dan Saeki Mizuhara di tunggu di ruang kepala sekolah"

Ah.. Firasatku tidak enak.

Aku beranjak dari bangku dan berlalu tanpa menunggu para gadis-gadis populer yang tadi disebutkan juga namanya. Aku yakin ini tentang kejadian kemarin. Akhirnya setelah beberapa menit berjalan, Saeki dan yang lainnya menyusul di belakangku. wajahnya penuh dengan kekesalan, aku tidak perduli. Ya! aku tidak perduli, walau aku tidak salah aku pasti tetap akan dihukum apalagi kasusnya sekarang aku yang menyerang duluan.

Tidak ada yang bisa melawan Saeki, karena dia adalah anak dari seorang pegawai parlemen kota yang cukup berpengaruh di daerah ini, dan kepala sekolah salah satunya.

Aku sudah berada di depan pintu ruang kepala sekolah, aku mengetuknya dan membuka dengan pelan. Disana sangat ramai, para orangtua dari kami sudah duduk di sebuah ruang pertemuan yang disekat untuk membatasi ruang kerja kepala sekolah. Ekspresi wajah mereka sangat tidak menyenangkan, aku melihat ayahku menatap dengan tajam kearahku.

"Kalian, duduklah dekat dengan orangtua kalian" suara kepala sekolah membuyarkan lamunanku, lamunan tentang ucapan-ucapan terburuk yang akan aku terima dirumah nanti.

Kepala sekolah dan yang lainnya membahas apa yang terjadi, aku? tentu saja diam. Mereka menyalahkanku dan kepala sekolah terlihat setuju. Sungguh memuakkan, aku yang terlihat babak belur sedangkan mereka tidak tapi tetap saja aku yang bersalah dan mereka tidak. Aku di skors selama 1 minggu.

Tidak apa-apa. Aku pikir setidaknya aku bisa istirahat.

Aku pulang bersama ayahku, dia meminta izin agar aku bisa pulang cepat untuk memeriksakan aku ke dokter. Ayah merasa kesal, dari ekspresinya aku tahu. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku selalu menjadi pihak yang bersalah tanpa bisa menyangkalnya.

'Jadi, apa aku sudah boleh bicara?!'

Sepanjang jalan dia hanya diam. fokus pada kemudi dan jalanan. sesekali aku melihatnya mengeraskan rahang, yang bisa aku lakukan sekarang adalah menyiapkan diri.

Ayah akan marah besar.

Sampai di rumah ia membanting pintu tepat sebelum aku masuk. Aku bersyukur belum maju selangkah lagi, kalau iya wajahku sudah mencium pintu tadi. aku membukanya pelan-pelan dan pemandangan ayah-ibuku sedang beradu argumen adalah yang pertama aku lihat.

Ayahku dengan amarahnya, Ibuku dengan seluruh perasaan kecewanya. Bertengkar dan saling meninggikan suara. Apa yang bisa aku lakukan?

Diam.. tentu saja.

Ibuku menangis, lalu ia meraih tas kecilnya dan pergi. ia memelukku sebentar, sebelum akhirnya sosok ibu tak terlihat lagi di balik pintu. Ayahku terduduk di sofa depan televisi, memijat dahinya.

"Kau.. " suaranya berat. "Kenapa kau terlahir?!"

Dadaku serasa dihantam. Seketika udara seakan tidak ada.

"Aku sudah sangat lelah!! kenapa untuk membela diri saja kau tidak bisa?!" dia mulai mendekat padaku. Aku mundur. Tangannya sudah mengepal begitu keras.

Aku bukan tidak bisa membela diri, tapi tidak diperbolehkan. Iyakan?

"Kau sangat membuatku frustasi!"

Aku juga

"Lebih baik aku memiliki anak bisu dan tuli ketimbang dirimu yang normal tapi seperti ini!!" dia menjerit

Baru kali ini.. aku sakit hati.

Bukankah sekarang ini aku sama saja dengan bisu? bukankah kalian yang menginginkannya?

"Kenapa kau begini?!!" dia seakan bicara dengan dirinya sendiri

Apakah aku sudah boleh bicara?

"AKU SUDAH MUAK!!"

Muak katanya. Muak? bagaimana perasaanku? tak pernah kah dia memikirkannya?

"Muak?" aku menangis, air mataku jatuh sendiri meski aku menahannya mati-matian

"K-kau?" ayahku terbelalak, mendengarku bicara

"Kalau muak kenapa tidak mati saja?"

Aku juga sudah muak.

Tiba-tiba ayahku bangkit dan berjalan ke dapur, dia tampak aneh. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat dia meraih sesuatu. Tunggu, pisau dapur!

"AYAH!!" sebelum aku sempat mendekat, ayah menghujamkan pisau itu ke perutnya sendiri, darah menitik dilantai dapur. lalu beberapa menit kemudian dia ambruk.

Tidak! tidak!

Aku merengkuhnya, memelukknya dan menangis. Kenapa dia melakukan ini?!! apa karena yang aku katakan tadi?!

Ayahku mengerang, aku mendekapnya. Tidak! ayahku harus aku bawa kerumah sakit. Saat aku akan memapahnya, tangannya yang penuh darah meraihku. "Sudah tidak apa-apa" katanya, suaranya masih bisa aku dengar dengan baik. "Aku tidak bisa membiarkan kau bicara Kotoha" suaranya mulai patah-patah.

'Jangan banyak bicara dulu, aku akan meminta bantuan!'

Aku bangkit dan dia meraih kakiku, aku kembali mendekapnya "aku tidak akan-" ayah menarik nafas "kan, maafkan.. aku" lalu badannya melemas.

Tidak.. mungkin! tidak!!!!

Aku menjerit sejadi-jadinya. Aku memeluknya erat-erat. Apa yang telah aku lakukan?!

Lalu ingatan itu muncul.

Usiaku 7 tahun, aku mengingatnya.. aku memiliki seekor anjing golden retriever dan sangat menyayanginya. Aku memberi dia nama Mago. Ayahku bilang bahwa aku bisa melatihnya.

Aku memberi banyak perintah , duduk, berdiri, dan lompat. Semua Mago lakukan dengan baik. lalu suatu hari saat aku sedang membawa Mago jalan-jalan sore di taman, seseorang tiba-tiba mendekapku dari belakang. Mago menggonggong dengan kuat, aku takut. Tidak ada siapapun disana.

Aku berhasil menggigit tangannya, dan dia melepaskan ku. Aku berusaha lari, tapi orang itu bisa menangkap ku. Mago masih menggonggong dengan panik.

"Mago, gigit!" aku ingat aku meneriakan kata itu. dan seperti biasa, Mago sangat penurut. Mago menerjang dan menggigit orang itu dengan buas, aku terjatuh dan membatu melihat kejadian itu.

Mago tewas karena lehernya patah dan orang itu tewas karena luka parah diwajah.

Orangtuaku terus memelukku di tempat kejadian. Dua orang polisi menanyakan beberapa pertanyaan padaku dan aku tidak mau mendengarnya.

Mereka terus bertanya, berkali-kali. "Aku tidak tahu!" setelah mereka mendengar apa yang aku katakan, keadaan mereka aneh. pimpinan mereka datang dan bertanya

"Gadis ini tidak tahu apa-apa" mereka serempak bicara. saat itu aku pikir mereka melakukan hal yang wajar.

Setelah kejadian itu, aku merasa suaraku semakin serak dan aneh.

Dan apapun yang aku ucapkan selalu terjadi..

aku masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa semua itu bukan hanya kebetulan. Tapi orangtuaku menyadarinya.

Itulah alasannya.

Tangisku masih terus meraung-raung. tubuh ayahku sudah dingin dan memucat. suara pintu terbuka, lalu sesuatu yang jatuh mengaggetkan aku.

Ibuku mematung di depan pintu, wajahnya pucat melihat pemandangan ini. Aku, memeluk tubuh ayahku yang bersimbah darah.. beberapa detik kemudian, dia menjerit.

Jeritan yang memilukan.

***