"Kita akan ke mana?" tanya Daisy saat ia dan Zen menyuruhnya untuk mengemasi beberapa barangnya.
"Ke suatu tempat."
"Ke mana? Bilang, dong!"
Zen hanya diam dan sibuk mengemasi barangnya juga. Sesekali ia menyentuh-nyentuh ponselnya, seperti memang ada hal penting yang ia sedang lakukan. Sementara itu, Daisy hanya merengut karena memang masih kesal dengan Zen atas lamaran dadakan yang sama sekali ia tidak ketahui.
Setelah barang mereka selesai dikemas, Zen lalu mengemudikan mobilnya di dampingi Daisy di sisinya. Mereka larut dalam kesunyian sehingga Daisy memilih memutar lagu di ponselnya dengan headset terpasang di telinganya.
Zen melirik Daisy yang asyik menikmati lagu di ponselnya sendiri. Bahkan ia mendengar kadang Daisy bernyanyi tanpa sadar. Membuat Zen tersenyum mengembang.
Mengajak Daisy pergi adalah acara yang Zen sudah lama inginkan. Sesekali ia ingin membuat Daisy lebih bahagia dari biasanya. Di samping itu, Zen ingin sekali mengambil hati Daisy agar benar-benar jatuh cinta padanya. Sebab memang beberapa hari terakhir ini Daisy jauh lebih menjadi penurut dari pada biasanya.
Sebuah villa terbentang besar di hadapan Daisy saat mobil berhenti. "Wow!" Daisy terperangah menatap pemandangan di depannya. Villa besar menjulang tinggi di tepi danau. Udara yang sejuk namun dingin membuatnya harus memakai jaketnya.
"Ayo," ajak Zen membuka pintu penumpang bagi Daisy untuk keluar.
Sejenak, Daisy lupa akan kekesalannha pada Zen. Ia keluar dengan senyuman dan memandang sekitarnya. Lalu Zen membimbing Daisy agar segera masuk ke dalam villa.
"Kamu menyewa tempat ini?" tanya Daisy. Zen merasa sedikit terhina ketika Daisy mengatakan tentang 'sewa', padahal pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Daisy tanpa ia ketahui kebenarannya.
"Villaku," jawab Zen datar.
Daisy menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia menatap Zen, memiringkan kepalanya layaknya anak kecil yang terkaget-kaget. Zen tidak bisa menahan senyum gelinya melihat reaksi Daisy.
"Aku lupa kalau seorang miliarder nggak mungkin menyewa villa. Wow!"
Hanya gelengan kepala yang Zen berikan. Ia lalu memasukkan barang-barang mereka dan menaruhnya di ruang tamu.
Selama beberapa jam, Daisy sibuk berkeliling ke sekitar villa. Beruntungnya di sekitar villa tidak terlalu sepi. Ada villa lainnya juga yang memang ada isinya.
Sementara itu, Zen masih sibuk dengan laptopnya. Ia tetap bekerja walau sedang liburan seperti saat ini. Sampai ia sadar bahwa sedari tadi ia tak melihat Daisy masuk ke dalan villa. Zen pun menghentikan aktivitasnya dan berniat keluar untuk mencari Daisy.
Dilihatnya Daisy sedang berbicara dengan senyuman bersama seorang laki-laki yang dari kejauhan Zen tidak tahu dia siapa. Sampai akhirnya Zen sedikit mendekat, ia tahu laki-laki itu.
Devan, anak sambung Papanya.
Zen mengumpat sebelum ia menghampiri Daisy. Tidak terpikirkan olehnya bahwa Devan akan berada di sekitar villanya. Yang Zen tahu, Devan tinggal di luar negeri dan jarang pulang. Tapi yang Zen lihat saat ini, benar-benar menarik cemburunya keluar.
"Daisy," panggil Zen mendekat.
Devan menyadari kehadiran Zen. Ia terkejut, sementara Zen sudah lebih dulu terkejut. Keduanya sama-sama memiliki permusuhan yang amat dahsyat.
Daisy menoleh dari wajah senyumnya menuju muram. "Ada apa?" Seolah kehadiran Zen mengganggu baginya, ditariknya tangan Daisy untuk mendekat.
"Ayo, masuk," ajak Zen berbalik.
"Ketemu di sini juga ya, Zen?" sapa Devan bersuara. Langkah Zen dan Daisy berhenti. Daisy tentu saja bingung dengan cara Devan menyapa Zen. Ia pasti berpikir keduanya saling mengenal.
"Kalian saling mengenal?" tanya Daisy pada keduanya.
Zen hanya diam. Ia memilih tetap menarik tangan Daisy, menjauhi Devan. Zen bahkan tidak menjawab ucapan Devan. Ia tidak mau Daisy dekat dengan anak sambung Papanya. Selain cemburu, Devan juga memiliki sisi gelap.
"Ada apa, sih?!" tanya Daisy melepaskan genggaman Zen saat mereka sudah berada di dalam villa.
"Aku nggak mau kamu ketemu dia lagi."
"Kalian saling kenal, kan? Siapa dia? Dan kenapa aku nggak boleh ketemu dia? Villanya di sebelah villamu, Zen, nggak mungkin nggak..."
"Diam! Malam ini juga, kita balik ke apartemen!" Zen membentak Daisy. Daisy terkejut ketika Zen membentaknya dengan cukup keras. Bahkan ia tak bergerak sama sekali. Daisy membiarkan Zeb yang mengemasi semua barang hingga saat selesai, ditariknya tangan Daisy dan dimasukkannya ke dalam mobil.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Zen melihat Devan memperhatikannya. Niat Zen yang akan masuk ke dalam mobil, ia undur dan mendekati Devan. "Berhenti berusaha seolah lo bisa di atas gue, Van!" ancam Zen.
"Oh, wow! Bahkan sekarang tindakan lo seolah lo yang lagi berusaha di atas gue," timpal Devan tenang.
"Dia milik gue! Lo nggak bisa mengklaim segala yang gue punya itu punga lo! Udah cukup saat gue bersama Kanya, lo masuk ke hubungan itu!" jelas Zen mencoba mengingatkan masa lalu yang tadinya sudah ia lupakan, kini ia ingat lagi sebagai pengingat bagi Devan.
Devan tertawa kecil. Matanya memandang Daisy yang di mana wajah Daisy memandang datar pandangan di hadapannya. "Kita lihat aja," balas Devan lalu meninggalkan Zen seperti orang bodoh.
Tangan Zen mengepal. Ia pun akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan kembali ke apartemennya. Tidak ada pembicaraan saat dalam perjalanan. Zen tahu Daisy marah dan kesal padanya. Tapi ia membiarkan Daisy seperti itu sampai ia berhasil mencari cara untuk menjelaskan pada Daisy.
Ucapan Devan terngiang-ngiang di kepala Zen. Entah apa yang akan Devan lakukan ketika ia tahu tentang Zen yang sudah memiliki pengganti. Kecemasan terpancar pada wajah Zen.
Sesekali Daisy melirik Zen di mana wajah Zen jauh lebih tegang. Kecepatan berkendaranya juga sangat cepat, membuat Daisy sedikit merasa ngeri. Itulah yang membuat Daisy meliriknya.
"Kalau kamu marah, harusnya nggak di jalan seperti ini! Sama aja kamu cari mati!" seru Daisy tanpa menoleh ke arah Zen.
Zen tidak menoleh. Ia lalu hanya mengurangi kecepatannya dan mengatur ritme nafasnya. Sampai akhirnya Daisy sadar, jalan ini bukanlah jalan menuju apartemennya. Entah ke mana Zen membawa Daisy, tapi yang jelas tempatnya masih berada di sekitar villa hanya sedikit jauh dan di kelilingi banyak pohon menjulang tinggi.
Daisy berpikir tadinya Zen akan menuju apartemen sesuai yang ia katakan. Tapi ternyata tidak. Zen berhenti di pinggir hutan. Nafasnya seperti baru saja dikejar seseorang. Tersengal-sengal dan menatap lurus ke depan.
"Ada apa?" tanya Daisy yang mulai sedikit takut.
"Aku butuh ini," ujar Zen lalu meraih Daisy dan mencium bibirnya dengan tiba-tiba.
Awalnya Daisy terkejut dan menolak. Tapi rengkuhan kedua tangan Zen yang berada di rahangnya membuatnya enggan melepasnya. Sampai akhirnya Daisy mencoba menerima. Bibir Zen melumatnya, lidahnya menelisik ke dalam mulut Daisy, meminta lebih dan menari-nari di sana.
"Zen..."