Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 18 - Chapter 18 - Hanya Miliknya & Milikku...

Chapter 18 - Chapter 18 - Hanya Miliknya & Milikku...

- Daisy's POV -

***

Dua kali bibir ini tersentuh olehnya. Lagi-lagi tanpa izin. Bodohnya aku... aku membalas ciuman itu. Seakan mengizinkannya, padahal sama sekali aku tak menginginkan lagi bibirku disentuh olehnya.

Semakin lama semakin intens. Apalagi di kegelapan malam hari. Perlahan aku memanggil namanya. Aku mengerang, aku tahu hal seperti itu akan memancing laki-laki merasa bergairah, tapi bukan itu yang kumaksud. Maksudku, berhenti menciumku, Zen!

Zen melepaskan bibirnya dariku secara perlahan. Ia membenamkan sebentar dahinya pada dahiku. Nafas kami sama-sama memburu. Aku tak munafik bahwa aku memang merasa sama bergairahnya seperti dia. Dicium laki-laki tampan, diakui atau tidak bahwa ia calon suamiku, tetap saja, rasa gairah itu ada.

Dinyalakan mobilnya tanpa berbicara apa pun padaku. Benar-benar hening sepi. Akhirnya aku cukup mengantuk selama keheningan itu terjadi, kuputuskan untuk tidur begitu saja.

***

Hal yang kurasakan ketika terbangun adalah aku terkejut. Tubuhku berada di kamar Zen, di kasurnya. Memang semalam aku tertidur, tapi kupikir Zen akan membangunkanku ketika sampai. Sepertinya tidak. Sebab sekarang, di sinilah aku tanpa ia di sisiku. Ke mana Zen?

Aku keluar kamar Zen, kulihat sekitar apartemen, kehadirannya tidak kutemui. Tapi aku melihat surat yang ditulis tangan di atas meja makan.

-Maaf nggak membangunkanmu semalam. Kamu kelihatan nyenyak. Sarapan udah kusediakan. Aku pulang sore, jadi nanti tolong masakan sesuatu, ya.-

Kupandangi sarapan yang memang Zen sediakan. Roti bakar dengan daging ham, slice keju, selada, dan telur orak arik beserta susu putih tersedia di sana. Memang hanya ini yang bisa Zen sediakan. Maksudku, dalam hal makanan instan, dia sangat bisa menyiapkan ini. Maka dari itu di kulkasnya lebih banyak bahan-bahan instan.

Aku mengunyah roti itu. Mencicipinya dengan pemikiran bahwa ternyata tidak terlalu buruk bagi seorang Zen memasak ini.

Setelah itu aku merasa bosan. Pintu apartemen sudah pasti dikunci olehnya, sehingga aku tidak bisa ke mana-mana. Lalu aku putuskan untuk menonton film yang memang selalu Zen sediakan untukku ketika bosan.

Mendadak aku teringat akan ciuman semalam. Refleks aku menyentuh bibirku dengan tanganku. Sial! Ini gara-gara aku sedang menonton film yang di mana adegannya sedang berciuman.

"Ketagihan?" Suara seseorang yang sangat kukenal sangat mengejutkanku ketika aku masih menyentuh bibirku. Kutolehkan kepalaku ke belakang, melihat Zen sedang berdiri dengan setelan jas-nya dan kedua tangannya berada di saku celananya.

Kalian tahu apa? Zen benar-benar tampan.

Aku langsung menurunkan tanganku seketika itu juga. Kubalikkan tububku menghadap layar yang sedang memutar film. Jantungku tentu berdegup lebih kencang dari biasanya. Bahkan aku mengerjapkan mataku berulang kali sambil mengatur ritme nafasku.

Kudengar langkah sepatunya mendekat dan benar saja. Ia saat ini duduk di sisiku yang masih membatu menatap layar.

"Apa kamu mulai mencintaiku?" tanya Zen mendekat.

Aku menjauh dan Zen mengikutiku. Hingga aku benar-benar terpojokkan.

"Zen, a-aku pikir kamu pulang sore. A-aku belum..."

"Ssstttt..." satu telunjuk ia taruh di bibirku. Membungkamku yang kupastikan ia tahu maksudku mengalihkan perhatian.

Zen lalu menjauhkan dirinya dan duduk seperti orang normal umumnya. Kulirik ia menahan senyumnya dan menatap layar televisi yang sedang memutar film.

"Pekerjaanku selesai lebih awal. Lagian aku Bos, jadi aku ingin pulang dan melihat film denganmu," katanya memberitahu.

"Dari mana kamu tahu aku sedang menonton?"

Ia mengedikkan bahunya. "Hanya menebak."

Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan. Kami, maksudku aku... akhirnya memutuskan menikmati film yang belum selesai itu bersamanya. Mau tidak mau, kan? Dari pada aku menghentikan diri hanya karena kehadirannya.

"Aku mau tanya," ujarku sebelum bertanya di saat film sudah selesai dan hanya menampilakan nama-nama tokoh dan segalanya.

"Hmm?"

"Siapa laki-laki yang kemarin itu?" Aku bahkan bertanya tanpa merasa sungkan. Tanpa merasa takut jika Zen marah. Aku hanya belajar memberanikan diri. Karena tidak mungkin aku terus menerus merasa takut akannya di saat ia marah, bukan? Apalagi jika bukan kesalahanku.

Zen hanya diam. Tatapannya ke depan dan rahangnya mengeras. Aku hanya menunggu ia menjawab. Setidaknya satu kalimat, tidak masalah.

"Anak sambung Papa," katanya kemudian.

Kini aku terdiam. Aku memang tak memikirkan bahwa Om Gerald memiliki anak sambung atau anak kandung selain Zen. Sebab memang yang kutemui sesering kali hanya Zen dan Tante Neva. Dan sekarang aku baru sadar akan hal itu.

"Oh, maaf kalau gitu," kataku.

"Kamu minta maaf seolah sedang membicarakan orang mati," katanya sedikit tertawa. "Tapi yah, nggak masalah... bagiku Devan memang udah mati," sambungnya.

Kutelan ludahku susah payah. Memangnya ada masalah apa mereka sampai Zen sangat begitu membencinya? Tidak mungkin kan, karena Om Gerald menikah dengan Ibunya Devan? Sesuatu di luar itu pasti ada hal yang terjadi.

"Hanya itu yang bisa aku kasih tahu. Bersiap-siaplah. Nggak usah masak, aku berencana mengajak kamu makan di luar sekalian jalan-jalan. Sebagai pengganti kemarin," katanya seraya mengedipkan satu matanya padaku.

Aku meleleh! Demi Tuhan! Aku bagai es yang mencair setelah terkena rasa panas. Kedipan mata itu benar-benar membuatku terdiam seperti disihir.

CUP!

Kecupan singkat mendarat di bibirku saat aku terdiam. Aku refleks langsung bergerak. Kutatap Zen seperti orang yang tak bersalah sama sekali. Dan lagi-lagi ia mengedipkan satu matanya padaku dan melenggang masuk ke dalam kamarnya.

Ada bagian dalam diriku bahwa aku tidak suka dikecup atau dicium tanpa izin dariku. Rasanya sangat tidak sopan. Tapi bagian dalam diriku juga menyukai cara Zen memperlakukanku seperti itu. Entahlah... apa memang aku mulai mencintainya?

Keluar dari apartemen, kami bertemu dengan Dera. Kami pun berhenti dan aku menatap Zen yang menatap Dera dengan helaan nafasnya. Sedikit rasa cemburuku keluar.

"Aku tunggu di mobil," kataku sebelum pergi.

"Nggak. Kamu tetap di sini," kata Zen menatapku. Tatapan dominasinya itu membuatku sedikit merasa menang karena ia menginginkanku di sisinya.

"Ada apa, Dera?" tanya Zen padanya.

"A... saya di suruh manager untuk meminta tanda tangan Anda, Pak," ujarnya sedikit tergagap.

Zen pun menatao arlojinya. Kurasa ia sedang memastikan jam kantor. "Lain kali kalau di suruh saat saya nggak ada, bisa tunggu keesokannya aja." Zen meraih dokumen itu dan membacanya sekilas lalu menandatanganinya.

"Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi," ujarnya.

Kuperhatikan cara Dera berjalan menjauhi kami. Ia memang terlihat menyukai Zen, tapi mengapa Zen tidak menyukainya? Padahal kupikir kriterianya adalah seperti Dera. Yah, sebenarnya aku mengingat saat awal-awal Zen membawa wanita malam ke apartemen dan bercinta dengan beberapa di antara mereka. Mendadak aku menjadi mual setelah mengingat itu.

"Daisy... ada apa?" tanya Zen.

"Hah?" aku terkaget.

"Kamu keringatan. Kamu sakit?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak. Cuma... aku kepanasan," kataku mencari alasan.

"Tenang aja. Aku cuma milikmu aja, Daisy," katanya terdengar begitu seksi di telingaku dengan senyuman nakalnya. Seolah ia tahu apa yang baru saja aku pikirkan. Astaga.