Peri itu hinggap di salah satu bunga yang terletak di sana. Ia mendengar pembicaraan seorang Ibu dan dua putrinya. Rasa kagum yang sebelumnya ia rasakan tentang keluarga ini langsung hilang. Ia sadar di rumah inilah ia akan ditempatkan dan sinyal inilah pertanda kuat bagi peri untuk berada di sini.
"Sinyal itu memang tidak salah, lalu siapakah yang membutuhkan pertolongan di rumah ini? Apa ayah itu?" tanya peri sendiri. "Bunga? Bunga apa yang mereka bicarakan? Apa hubungannya bunga dengan kematian sang ayah?" Peri itu masih berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Ibu sudah tidak tahan lagi hidup dengan pak tua itu. Memangnya kalian pikir karena apa Ibu mau menikah dengannya? Tempat tinggal dan kehidupan layak untuk kalian adalah alasannya."
"Kami berterima kasih untuk itu, Ibu. Tapi Ayah tiri kami sejujurnya sangat baik." Berbeda dengan sang ibu, Sofi mencoba bersikap baik. Ya, ayah tiri mereka memang sangat baik dan tidak membedakan kasih sayang antara tiga putrinya.
"Apanya? Lelaki itu telah menipuku, ia tidak pernah mengatakan kalau sudah memiliki anak. Aku memang tahu ia adalah duda sebelum kami menikah, namun soal anak, ia jelas menyembunyikannya." Sang ibu mengutarakan semua kekecewaan yang ia pendam. Bak nila setitik rusak susu sebelanga, rupanya wanita itu tak bisa lagi melihat sisi baik dari sang suami.
"Aku yakin Ayah sebenarnya tidak ingin menyembunyikannya, ia hanya tidak ingin Ibu berubah pikiran."
"Ckckck, kalian belum paham soal pria, dengarkan Ibumu ini baik-baik, pria itu-" sang Ibu tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Rupanya, sang kepala keluarga itu tengah menuju ruang tamu mereka. Ia baru saja pulang dari perjalanannya.
"Maaf ya, aku dan anak-anak tidak bisa menemanimu hari ini. Apa kau sudah memberi salamku juga pada mendiang istri pertamamu?" tanyanya dengan lembut.
"Hm m," jawab suaminya, lalu menuju kamar sambil batuk-batuk.
"Aku akan ambilkan air untukmu, sayang!" teriak sang Istri. Ia menoleh ke arah Anti dan Sofi, kemudian berkata, "Dia tidak dengar pembicaraan kita tadi, bukan?"
"Tidak, Ibu. Pergilah bawakan air untuknya. Sepertinya rencana kita berhasil, meskipun lama, cara yang aku sarankan berhasil, bukan? Membunuh secara perlahan."
Sang Ibu hanya tersenyum. "Tentu, kau adalah putriku."
"Ibu, aku pikir yang kita lakukan ini salah. Ayah tidak punya salah pada kita. Haruskah kita menyakitinya seperti ini?" Sofi sedikit ragu dengan kejahatan mereka.
"Coba ulang? Sofi dengarkan Ibu baik-baik. Harta pria itu akan Ibu ambil, dengan begitu kita akan hidup layak. Ikuti saja cara main Ibu, ya?"
"Ini tindakan kriminal ...." Sofi mengumpulkan keberaniannya untuk menentang sang ibu.
"Diam! Berhentilah memihak orang lain Sofi!" bentak sang Ibu.
"Dia Ayahku, aku sama sekali tidak memihak orang lain."
"Masih berani melawan?" nada sang Ibu semakin meninggi. Sebentar lagi Ibu yang temperamen itu bisa saja menampar Sofi.
"Ibu, Ibu ... sudah, sudah," ucap Anti sambil menenangkan Ibunya. "air ... Ayah perlu dibawakan segelas air sekarang" tambahnya lagi.
Ibu mereka lalu meninggalkan ruang tamu dan menuju dapur. Diambilnya segelas air kemudian menuju kamarnya. Ia mendengar suara batuk-batuk sang suami, senyum manis pun merekah.
"Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir sambil memberi segelas air itu.
"Terima kasih," ucapnya lalu menegak air itu sampai habis. "Bagaimana keadaan rumah? Dan ... kamu baik-baik saja, 'kan? Sayang, aku rasa kondisi tidak semakin baik," kata suaminya itu lagi.
"Apa maksudmu? Apa yang sedang kamu bicarakan?"
"Aku rasa umurku tidak akan panjang. Kalau aku tidak ada ...."
"Ssttt ... tidak, tidak. Jangan bilang seperti itu. Sayang, kamu akan berumur panjang. Kita akan sama-sama menikmati masa tua, berdua."
"Berjanjilah padaku kamu akan menyayangi Cindy seperti anakmu sendiri meskipun aku sudah tiada."
"Apa maksudmu? Aku sangat menyayangi Cindy meski engkau tidak pernah mengatakannya. Pernahkah kamu melihat aku menyakitinya, sayang?"
Sang suami menggeleng pelan. Iya, istrinya itu sama sekali tidak pernah menyakiti putri kesayangannya. Sekalipun marah, ia hanya sampai membentak. Itu pun menurutnya wajar karena ulah Cindy.
"Cindy masih sangat labil, aku tahu ia sering merepotkan. Aku tahu ia sedang berkencan dengan seorang anak laki-laki. Aku harus lebih mengawasinya sekarang."
"Dia sedang di usia kasmaran. Biarkan saja, kadang ketika orang tua mengekang, mereka hanya akan melawan."
"Aku khawatir ia akan terjerumus. Pergaulan jaman sekarang sangat berbahaya. Anti dan Sofi juga, kita perlu mengawasi mereka."
"Anti? Hahaha kamu bercanda? Dia sudah tiga puluh tahun. Sudah terlalu tua untuk diawasi. Sofi? Ia sibuk dengan bisnis kecilnya. Ia tidak punya waktu bermain dengan teman-temannya. Sudahlah sayang, kamu hanya menambah beban dengan memikirkan yang tidak-tidak."
Sang istri menangkap wajah suaminya dengan kedua tangannya, tersenyum manis dan berkata lagi, "Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, sayang. Katakan padaku, makan malam seperti apa yang kamu inginkan?"
"Ah, iya ini sudah menjelang malam. Tolong buatkan aku sup kacang merah, aku sudah lama tidak memakannya."
"Aku tahu, itu adalah makanan kesukaanmu, baiklah aku akan membuatkannya." Sang istri lalu meninggalkan kamar dan menuruni tangga, ia menuju dapur. "Cih, seenaknya menyuruh. Aku tahu sehabis berziarah ke makam istri pertamamu, pasti selalu minta sup kacang merah," keluhnya.
Tuk tuk tuk, pintu kamar Cindy terketuk. Tidak ada jawaban dari sana.
"Cindy, apa kamu di dalam, Nak?" tanyanya dengan suara bariton khas miliknya. Masih tidak ada jawaban. "Apa kamu masih tidur siang? Bangunlah, ini sudah sore," panggilnya lagi. Kali ini ia mencoba lagi untuk membangunkan putrinya yang suka tidur itu.
Anti menjadi khawatir dengan tindakan sang Ayah. Ia jelas tahu Cindy tidak berada dalam kamarnya. "Anak itu, dia belum pulang juga? Merepotkan sekali," keluh Anti. Ia lalu mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat untuk Cindy.
Kepala rumah tangga itu tidak menyerah, sepertinya ada hal yang sangat ingin ia sampaikan pada putrinya itu. Ia masih berdiri di depan kamar Cindy. Anti yang melihat itu menjadi gelisah, ia harus mencari akal sekarang.
Anti menuju depan kamar Cindy, tempat sang ayah sedang berdiri di sana. Perlaham ia berjalan mendekati ayah tirinya itu sambil memikirkan kalimat ataupun alasan yang tepat untuk menjauhkannya dari kamar Cindy.
"Ayah, Ayah mau membangunkan Cindy? Biar aku saja, Ayah. Sepertinya ia sangat kelelahan. Ia belajar keras dari siang."
"Oh begitu? Benarkah? Ayah tidak menyangka Cindy sangat rajin akhir-akhir ini."
"Iya, Ayah. Cindy bilang tugas kuliahnya sangat banyak akhir-akhir ini," tambahnya dengan kebohongan lainnya.
"Hm ... baiklah, kamu saja yang membangunkannya. Ayah akan beristirahat sebentar sambil menunggu masakan lezat Ibumu siap."
"Siap, Ayah!" balasnya dengan posisi hormat.