Sebelum motor ojek online bergerak, dipandangi Barra rumah yang menyimpan banyak kenangan itu. Rumah yang memberinya kehangatan dan kasih sayang keluarga. Rumah yang memberinya cinta. Rumah yang menjadi saksi ikatannya bersama Gita.
Barra melambaikan tangan sambil meneteskan air mata. Membuat moment itu menyeruakkan rasa sedih. Entah kapan dia akan kembali ke sana merangkul mereka lagi seperti biasa.
Setibanya Barra di bandara, ia langsung menuju ke tempat check-in. Di sana terlihat antrian yang panjang di semua loket maskapai penerbangan yang berbeda. Lalu ia melihat waktu di jam tangannya.
"Oh, ternyata masih agak lama waktunya," gumamnya sendiri.
Di tempat lain, di rumah Anti. Gita nampak melamun dan terlihat kosong. Sama sekali tidak menyimak pembahasan pelajaran SMA yang mereka bertiga diskusikan.
"Oi, Gita!" kejut Dian pada sahabat karibnya itu. Yang membuat Gita berdecak kesal.
"Apaan sih, Dian! Bikin kaget aja," sahut Gita sebal.
"Ya habisnya kamu melamun terus! Bisa kesurupan loh, emangnya kamu mau? Ya, udah sana ke Airport nyusul Mas Barra!" saran Dian yang ditimpali lagi oleh Anti.
"Iya! Ayo aku anterin naik motor!" tanya Anita.
"Tapi, sampai di sana apa masih ketemu sama Mas Barra?" sesalnya. Gita menyesal kenapa dia tidak mengantar Barra berangkat dan menahan kesakitannya dulu.
"Kamu sih, Git! Kejam banget sama Mas Barra. Dia juga mau menghabiskan waktu terakhir di sini sama kamu, nyesel kan, sekarang?" omel Dian.
Mereka memang sehati, saling merasakan suka dan senang bersama. Melihat keadaan Gita beberapa hari belakangan ini, membuat dua sahabatnya itu prihatin.
"Udah, Git? Kamu mau di sini aja atau ikut aku?" tanya Anti yang sudah siap dengan jaket dan hendak memakai helm.
"Aku ikut, Ti!" jawab Gita cepat, " Dian, tolong beresin bukuku, ya! Aku pergi dulu. Doain aku masih sempet lihat Mas Barra!" pesannya kepada Dian.
"Yang tegar, Git. Kami tau betul kamu itu kuat. Semangat kawan!" ucap Dian menyemangati Gita.
"Hati-hati, Nti! Bawa motornya jangan kesetanan!" tambahnya lagi untuk Nita.
Yang dijawab Gita dan Anti serentak, "Siap Ibu Negara!"
Sepanjang perjalanan Gita berdoa, 'Ya Allah, tolong kasih kesempatan hamba bertemu Mas Barra. Maafkan hamba yang egois tanpa memikirkan perasaannya yang juga rapuh,' harapnya hingga meneteskan air mata saat itu.
"Nti, aku bisa ketemu Mas Barra, kan? Aku takut, Hiks," tanyanya pada Anti yang masih berkonsentrasi berkendara.
Dia tahu Gita sedang menangis dari pantulan spion motornya. Namun, tidak ada yang bisa diucapkan Anti saat ini.
***
Suara khas pemberitahuan di Airport berbunyi.
"Perhatian-perhatian diberitahukan kepada penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA12345 dengan tujuan kota S dipersilahkan untuk menaiki pesawat udara melalui pintu nomor tiga. Terima kasih,"
Mendengar pemberitahuan barusan membuat Barra bergegas check-in untuk menuju ruang tunggu.
Saat itu juga ia merasa sangat sedih. Dibalikkan badannya memandang pintu masuk Airport. Berharap ia dapat melihat sosok Gita yang sangat dirindukannya. Dan nyatanya nihil.
Dibalikkan lagi tubuhnya hendak melangkah menemui petugas gerbang pemeriksaan. Namun, langkahnya terhenti saat suara lirih terdengar di telinganya.
"Mas Barra!" tangis Gita pecah saat memanggil Barra.
Barra sejenak terpaku dan heran, apa ini sungguh atau hanya khayalannya saja kalau ia mendengar suara Gita di belakangnya.
Dibalikkannya kembali kepalanya menoleh ke belakang. Air mata yang sudah dibendungnya sedari tadi, lolos tanpa perintah. Dalam diam, tanpa isakan, air mata mengalir di wajah tampannya itu, sejalan dengan langkah kakinya menuju sosok yang amat dirindunya.
Brug!
Gita menabrakkan tubuhnya pada Barra yang sudah merentangkan tangan sedikit lebar untuk memeluknya.
Mereka tidak peduli ada di tempat umum, karena orang-orang juga tidak memperhatikan mereka. Seakan sudah wajar berpelukan perpisahan di tempat itu.
Gita menangis terisak di dada bidang Barra tanpa berkata-kata. Ia hanya ingin merasakan pelukan untuk terakhir kalinya, yang dia sangat tahu entah kapan lagi bisa memeluk Barra seperti ini.
Sedangkan Barra, lebih bisa mengontrol sedihnya walaupun air mata mengalir tidak membawa suara. Yang dia ingin hanya menikmati hangatnya pelukan wanita kesayangannya ini.
'Sebentar saja seperti ini,' lirih batin Barra.
Pemberitahuan keberangkatan pesawat Barrapun kembali terdengar, dan membuat dua sejoli ini melepaskan pelukan mereka.
"Mas, maafin Gita yang enggak mau bicara atau ketemu sama Mas. Gita cuma takut enggak bisa tahan air mata Gita yang nanti buat Mas malah enggak jadi berangkat,"
"Gita juga nyesal enggak temanin Mas ngabisin waktu sama-sama sebelum Mas berangkat,"
"Gita sayang Mas, maafin Gita, Mas!" ucap Gita berlinang air mata.
Dihapuskan rembesan air mata dari wajah cantik kekasihnya itu. Dikecup Barra ujung kepala Gita yang ditutupi kerudung hijau tersebut.
"Mana mungkin Mas marah sama kamu. Mas tahu dan yakin, kamu bisa berfikir jernih menghadapi kenyataan. Kita sama-sama menguatkan, ya!"
"Mas beruntung dapat perempuan yang spesial. Mas enggak salah pilih kamu untuk jadi calon istri Mas. Kita pasti bisa jalanin hubungan ini walau terpisah jarak. Nanti, kalau ada waktu dan memungkinkan untuk pulang, orang pertama yang Mas temui pasti kamu!" ujarnya menenangkan Gita.
"Mas berangkat, Git. Doain Mas di sana, demi masa depan kita. Kalau sekolah kamu sudah tamat, Mas pasti jemput kamu ke sana, kamu bisa kuliah di sana. Mau, ya?" hiburnya lagi yang membuat Gita mulai tersenyum.
"Mas, sering-sering telpon, ya! Nanti kalau sudah sampai sana kabarin Gita, biar Gita juga tenang,"
"Tolong jaga hati Mas cuma untuk Gita aja, ya! Jangan kasih kesempatan buat yang lain masuk waktu enggak ada pawangnya, loh!" ancam Gita yang membuat keduanya tersenyum.
"Mas janji, semua yang ada sama Mas itu punya kamu. Yang ada di sini juga cuma kamu," janji Barra sambil menggiring tangan Gita untuk menyentuh dadanya.
"Kamu juga jaga hati. Jangan gampang dirayu laki-laki. Semua laki-laki buaya, kecuali Mas, haha!" rayunya yang membuat Gita memukul dadanya pelan.
Panggilan terakhir penumpang pesawat yang akan Barra naiki terdengar kembali. Barra bergegas membenahi ranselnya sebelum berpamitan lagi.
"Mas berangkat ya, Git. Mas sayang kamu!" pamitnya sambil mengecup kembali ujung kepala Gita yang sedang mencium punggung tangan kanan Barra.
"Gita juga sayang Mas. Hati-hati, doa dulu sebelum masuk pesawat," jawab Gita.
Genggaman tangan mereka perlahan terlepas seiring langkah Barra yang bergerak membelakangi Gita. Keduanya kembali menangis. Namun saat ini dibarengi dengan senyuman lebar tanda keikhlaskan keduanya.
Bayangan Barra semakin lama semakin menghilang dari pandangan. Anti yang sedari tadi hanya menonton dari kejauhan karena tidak mau mengganggu moment haru sahabatnya itu, beranjak menghampiri Gita yang masih berdiri terpaku.
"Udah, Git. Udah pergi Mas Barranya. Doain aja yang baik-baik biar Mas Barra juga nyaman di sana dan semangat kerja," ujar Anti pada sahabatnya itu.
"Iya, Nti. Aku udah ikhlas, kok. Yuk pulang, nanti kamu dicariin mama kamu!" ajak Gita yang terlihat lebih tegar.
Di parkiran sepeda motor kawasan bandara. Terlihat pesawat yang mungkin Barra naiki terbang melewati atas kepala mereka.
'Selamat jalan, Sayang. Sampai jumpa. Gita tunggu Mas jemput Gita nanti!' ucapnya dalam hati sambil menutup mata.
Bersambung. . .