Embun pagi membuat udara terasa sejuk. Gita yang sudah bangun tengah mulai beraktifitas mempersiapkan kelengkapan sekolahnya yang baru.
Dikenakannya rok panjang berwarna abu-abu dan kerudung segitiga putih senada dengan kemeja putih bersimbolkan OSIS di kantungnya.
Di atas kerudungnya dihiasinya dengan pita cina bersimpul sebanyak sebelas buah yang menandakan bulan kelahirannya. Tak lupa tas berbahan kantung tepung yang bertalikan tali plastik. Sementara di lehernya menggantung identitasnya sebagai 'Jeruk'.
"Mbak, memangnya setiap masuk sekolah baru harus dibegituin, ya? Lebih parah dari waktu perkenalan SMP dulu, ya?" tanya Fajar yang bingung dengan penampilan kakaknya pagi itu.
"Ya, dulunya teman Mbak tahunya kamu adiknya Mbak. Memangnya mereka berani ngerjain kamu? Ya, Mbak pelototinlah!" jawab Gita cuek, "Tapi iya juga, sih. Ini kelihatan kacau banget lihatnya. Untungnya Mbak cantik, ya?" sambungnya lagi.
"Air laut asin sendiri, ya ampun!" gerutu Fajar pelan, "Jangan cantik-cantik banget, Mbak! Nanti banyak yang naksir. Kasian itu anak laki-laki orang di kasih harapan palsu sama Mbak! hahaha!" lanjutnya sambil tertawa.
Gita hanya menggeleng dan tersenyum melihat tingkah adiknya yang semakin konyol. Sekarang Fazar tidak lagi bisa dijaganya. Tapi biarlah, sudah kelas tiga seharusnya sudah tidak ada yang mengganggunya lagi.
Kenyataan yang sesungguhnya di depan mata. Gita harus mengulang perkenalan dirinya di sekolah yang baru.
Inginnya saat ini, dia tidak mau jadi siswi mencolok karena tingkahnya yang suka berkelahi. Melainkan ia ingin dikenal sebagai murid teladan yang berprestasi.
(Kalau bisa...hahaha!)
Seperti biasa, tidak lupa sebelum berangkat bekerja, Barra menyempatkan panggilan video di ponsel Gita.
"Assalamu'alaikum, Mas!" Gita menjawab ponselnya yang berbunyi dan kemudian terlihat wajah sang kekasih.
"Wa'alaikumsalam," jawabnya, "Masha Allah cantiknya bidadari surge, Mas!" Barra tersenyum lebar melihat wajah manis Gita di layar ponselnya.
"Uweeekk, aduh tiba-tiba mules perut aku!" ejek Fajae seolah hendak muntah melihat kemesraan mereka.
"Siapa itu? Fajar, ya? Mana sih orangnya yang mual tadi?" tanya Barra pada Gita.
"Nih, orangnya!" jawab Gita sambil mengarahkan layar ponsel ke arah Fajar.
"Dek, minggu ini duit jajan dikurangin!" ucapnya singkat yang langsung membuat Fajar merampas ponsel Gita.
"Jangan, Mas! Jangan ya, Mas! Iya iya Mbak Gita memang cantik, cuantiiiiikk banget, Mas. Sumpah!" Fajar bicara sambil mengacungkan dua jarinya pada Barra karena ketakutan jatahnya dipotong.
"Mas bercanda, Dek. Takut amat!" jawab Barra tertawa, "Gita?" suara Barra memanggil Gita yang langsung meraih ponselnya dari Fajar.
"Ya, Mas! Sudah mau berangkat? Mas sudah sarapan?" tanya Gita.
"Sudah barusan. Sebentar lagi berangkat, kok. Yang anteng di sekolahnya, ya! Jangan cari gara-gara sama orang baru," perintah sang calon berkumandang.
"Siap, Kapten! Tapi enggak janji!" Gita menjawab sambil mengeringkan sebelah matanya.
"Ellleeeh , Mas Barra kayak enggak tahu Mbak Gita. Harimau berbaju kucing, haum! Kabuur!" sahut Fajar meledek Gita lalu berlalu kabur sebelum kena jitakan kepala dari sang kakak.
Barra hanya tertawa mendengar dan memperhatikan kehebohan kakak beradik itu. Setelah agak tenang, mereka melanjutkan obrolan jarak jauh itu lagi.
"Git, kamu makin cantik pakai seragam yang ini! Makin kelihatan dewasa, makin bikin rindu," sambung Barra merayu.
"Udahan ngobrolnya, Barra, nanti telat kerjanya!" suara Bu Lela terdengar dari arah dapur mengingatkan anak-anaknya.
"Mas dengar? Alarm super buatan Allah berkumandang, hihihi!"
"Mas berangkat gih, nanti telat! Manager telat, enggak bagus di contoh, loh!" ujar Gita.
"Siap, Ibu Negara! Doain, ya, biar berkah cari nafkahnya, buat anak istri! ujar Barra menggoda.
"Oh, nikah lagi tanpa izin istri pertama, ya? Bagus!" jawab Gita yang juga bercanda.
"Ya, enggak lah, Sayang. Mas bercanda aja!" jawab Barra yang berlagak memelas.
"Iya, iya. Gita juga bercanda, kok! Udahan ya, Mas. Gita agak buru-buru. Hari pertama soalnya, biasalah!" Gita menjawab.
"Ya, Mas tutup, ya! Assalamu'alaikum, love you, muah!" tutup Barra memanyunkan bibirnya.
"Wa'alaikumsalam, love you too!" jawab Gita sambil membalas Barra tanpa bersuara dan melambaikan telapak tangan.
***
"Gita!" teriak Anti dari kejauhan. Di sampingnya ada Dian yang ikut menunggunya.
"Oi, kok cepet banget? Itu rambut banyak amat kuncirnya? Aku hitung dulu!" ledek Gita pada dua sahabatnya itu.
"Satu, dua, empat, tujuh, sepuluh! Banyak, Nti! Yakin, enggak rusak nih, rambut duta shampoo lain?" ejek Gita pada Anti melihat banyaknya ikat rambutnya.
"Masih mending aku sepuluh, itu si Dian punya dua belas, samaan sama kamu sebelas-dua belas. Menang pakai kerudung aja kalian, jadi enggak parah banget kayak rambut bidadari!" ucap Anti dengan mimik wajah seperti menangis.
"Ellehh, tinggal lari ke tukang salon, di keramas, pijit-pijit udah balik lagi itu rambutnya! Lebay amat!" ejek Dian juga.
"Okay fix, aku kalah banyak! Udah ah, baris yuk! Enggak sabar ketemu mas-mas ganteng, kyàaaa!" ekspresi Anti yang mulai centil.
"Kebiasaan! Kayaknya makin parah nih bidadari, makin ke sini makin jelalatan matanya!" jawab Dian ketus melihat tingkah Anti.
"Udahlah! Berantem terus. Ayo, ah!" gerutu Gita pada keduanya sambil menggelengkan kepala.
Para peserta MOS berada di tengah lapangan dengan siraman matahari yang cukup terik.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!" ucap salam ketua Panitia MOS bernama Sean.
"Salam sejahtera untuk kita semua!" lanjutnya dengan salam untuk siswa beragama lainnya.
"Selamat datang, di sekolah tercinta kita ini. Bla bla bla bla," sekian panjang sambutannya hingga membuat Anti menggerutu pelan.
"Ish, lama amat sih? Panas lagi, untung ganteng!" gumamnya yang di dengar Gita.
"Diem dulu! Entar lagi selesai," sahut Gita.
Selesai sambutan dari Sean, sang ketua panitia MOS. Dilanjutkan dengan rincian tugas untuk para peserta MOS, yaitu pertama meminta tanda tangan setiap panitia lengkap dengan kesan para kakak kelas pada peserta MOS.
Begitu barisan dibubarkan, semuanya berhamburan ke segala arah. Nampak segerombolan siswa baru meminta tanda tangan Sean sebagai ketua panitianya.
Tak heran, Sean berwajah tampan, berkulit putih dan nampak proposional untuk ukuran anak SMA. Dengan ketampanannya itu, sudah wajar siswi baru langsung mencari perhatian darinya termasuk Anti.
"Git, udah dapat tanda dari Kak Sean, belum? Aku udah nih, Dian juga!" tanya Anti ke Gita.
"Belum. Nanti aja tunggu sepi, aku keliling dulu, ya!" jawab Gita sambil melambaikan tangan lalu pergi.
Di buku catatan Gita sudah hampir penuh dengan tanda tangan serta kesan para kakak kelas panitia MOS kepada Gita. Hanya tinggal satu nama yang belum terisi di dalam buku catatan yaitu Sean sebagai ketua panitia MOS.
Sean dan Gita berhadapan. Gita meminta tanda tangan Sean seraya memberikan buku catatannya. Sean menaikkan sebelah alisnya ke atas dan mengerutkan dahi.
Dilihatnya isi buku Gita hanya tinggal namanya saja yang belum ada. Dia heran padahal semua siswa berebut untuk mendapat tanda tangan pertama darinya. Dan kenapa Gita tidak?
"Kenapa, Mas?" tanya Gita heran kenapa notes-nya tidak di tanda tangani dan malah ditutup.
"Kamu tahu salah kamu, hum? Gita Prameswari si JERUK?" tanya Sean sambil mengeja nama Gita.