"Biasa. Pasti Mbak Gita dihukum, Mas!" potong Fajar lagi yang kembali datang membawa potongan pepaya.
"Memang supir angkot, ya! Suka banget nyelonong orang ngobrol! Bagi sini!" jawab Gita sebal.
"Dihukum lagi?" tanya Barra.
"Iya, Mas. Hehe!" jawabnya sambil cengengesan. Dan kemudian Gita menceritakan detail kejadian pagi tadi.
"Katanya enggak mau mencolok, tapi sekarang malah jadi perhatian orang, Git!" Barra menepuk dahinya.
"Kalau enggak salah ngapain diem aja, Mas! Lagian cuma satu putaran aja. Ringan kok, Mas!" jawab Gita bercanda.
"Ya, udah. Mas percaya, kok! Udah gitu aja? Pulangnya dijemput ayah?" tanyanya pada Gita dengan maksud mengetes kejujuran calon istrinya.
"Ambil lagi, Dek! Enak ini!" ucap Gita mengatur Fazar untuk membawa lagi pepaya dari dapur.
"Makan aja mau, ngupasnya ogah, haish!" dengus Fajar beranjak dari duduknya, namun tetap dikerjakannya karena tidak berani melawan sang Kakak.
"Tadi Kakak pulang dibonceng Dimas, Mas! Inget enggak orangnya?" Gita menjawab pertanyaan Barra soal pulang sekolahnya tadi.
"Yang mana, Mas enggak pernah lihat orangnya, deh!" jawab Barra sembari berfikir sekaligus tersenyum karena Gita tidak bohong kalau dirinya bersama teman laki-lakinya.
Kemudian Gita menceritakan setiap kejadian yang ia alami hari ini. Tanpa ada yang ditutupi dan ekspresinya saat bicara memang terlihat polos dan jujur.
Akhirnya Barra tenang karena sudah mendengarkan cerita Gita. Barra sudah tidak bimbang dengan pesan yang dikirim Pamannya tadi dan memaklumi memang sejak awal beliau susah menerima Gita sebagai calon istrinya.
***
"Dian, aku duduk di sini dulu, ya! Sambil nunggu bel. Anti juga belom dateng, kan?" ucap Gita pada Dian. Mereka duduk berjajar di depan Dian dan Anti.
"Memangnya yang satu meja sama kamu bisu? Gak bisa diajak kenalan, gitu?" tanya Dian santai sambil membuka buku pelajaran.
"Sama Dimas, udah kenal dari SD. Mau kenalan sama yang lain kayaknya agak malas!" jawab Gita.
"Awas, loh! Jangan akrab banget sama laki-laki, malu sama cincin!" ucap Dian mengingatkan.
"Udah enggak berasa. Udah pernah!" balas Gita cuek sambil mengangkat bahunya.
"Maksudnya?" tanya Dian heran.
"Dimas itu mantan aku waktu SD. Masuk SMP kelasnya yang disamping kelas kita. Dan di sini malah sekelas. Ya udah, lah! Malah ada teman ngobrol," jawabnya.
"Kamu enggak takut tergoda iman, Git? Dia laki-laki, loh!" sekali lagi Dian mengingatkan.
"Enggak lah! Aku kenal dia udah lama. Dimas itu sopan, tapi kalau macam-macam, ya aku 'Kasih' juga!" jawab Gita menekankan kata "Kasih" sambil menunjukkan bogemnya pada Dian.
Mungkin teman-teman dan keluarganya heran, kenapa Gita tidak takut sama sekali pada orang lain bahkan laki-laki yang baru ditemuinya.
Berawal setelah kepergian Barra yang menghancurkan hati Gita. Hanya Surya yang tahu sifat adiknya itu.
Surya sangat menyayangi adik perempuannya itu. Saat melihat adiknya terus menangis tanpa suara, terlihat melamun dan diam di atas pohon sawo di depan rumah dengan mata sembab.
Bukan satu dua tiga hari, bahkan sudah berminggu. Hatinya juga sakit. Ia tahu kalau Gita amat marah namun tidak bisa ia ungkapkan.
Akhirnya Surya memutuskan untuk mengajak Gita ke pelatihan pencak silat tempatnya dulu belajar. Dia berharap dengan belajar silat, adiknya bisa meluapkan kesedihannya melalui silat. Sekaligus bermaksud agar Gita bisa menjaga dirinya sendiri saat dia dan Barra tidak di dekat Gita.
Dan benar saja. Gita mulai menerima setiap langkah-langkah yang diajarkan gurunya. Bahkan Gita lebih cepat menjalankan aturan dan challenge yang diberikan dalam syarat naik tingkatan.
Gita gadis berani, bahkan ketika mendapat tantangan mencari benda di tempat gelap dan sepi, dia tidak takut walau rasanya sangat tidak nyaman.
Terhitung sudah hampir satu tahun. Dengan waktu sesingkat itu dibarengi ketekunannya dalam hal apapun. Sekarang Gita sudah menjadi Pengajar Muda di pondok silat tersebut.
Dan hanya Surya yang tahu, sedangkan orang tua mereka bahkan Barra sekalipun tidak boleh tahu untuk mengurangi kecemasan. Karena Gita memang dikenal tomboy, ditambah lagi dengan bela diri yang dipelajarinya. Bisa dibayangkan, kecemasan seperti apa yang dibayangkan orang tua mereka dan juga Barra.
***
Bel masuk berbunyi seakan mengusir Gita dari kelas dua sahabatnya.
Diapun kembali menuju kelasnya. Saat di lorong depan kelas, Gita berpapasan dengan Sean.
"Gita, dari mana aja? Tadi aku cari di kelas tapi enggak ada!" sapa Sean.
Gita menghembuskan nafas berat sambil membalikkan bola mata malas. Tentu saja tanpa sepengetahuan Sean.
"Dari kelas ujung, Kak! Ada perlu apa cari aku?" jawab Gita tanpa basa-basi.
"Gak penting, sih! Cuma mau ajak ke kantin waktu istirahat nanti. Ikut, ya?" ajak Sean.
"Makasih, Kak! Tapi aku bawa bekal dari rumah. Lagian kita enggak dekat!" ucapnya santai tanpa bersalah.
"Semalam udah kenalan, kan? Kamu masih marah karena hukuman semalam siang? Aku udah minta maaf juga, kan?" Sean coba menjelaskan.
'Apaan ini orang? Biasa aja kenapa?' gerutu Gita dalam hati.
"Gini ya, Kak! Kita cuma sebatas kenal, bukan berarti harus dekat dan akrab, itu satu. Yang nomor dua. Semalam lari satu putaran juga gak masalah buat aku, hitung-hitung olahraga dan Kakak gak perlu minta maaf samaku!" jawab Gita tegas.
"Udah ya, Kak! Aku mau masuk!" ucap Gita langsung pergi.
"Haish! Susah banget cuma mau deket aja! Makin bikin penasaran, kan?" decak Sean, "Coba lagi Sean, masa kamu kalah sama anak baru! Pasti kamu bisa dapetin dia nanti! Tenang aja!" gumamnya pelan sambil melihat punggung Gita yang menjauh.
Harga dirinya menolak menerima penolakan dari Gita. Sudah dua tahun ini dan menginjak tahun ketiga, dia selalu dikejar-kejar murid perempuan seangkatan bahkan adik dan kakak kelas.
Maklum saja, selain menawan, latar belakang keluarga Sean juga terbilang kaya. Sean merupakan putra tunggal dari orang nomor satu DPRD di provinsi itu. Tak heran, banyak perempuan mengantri menjadi pacarnya, itu juga kalau Sean mau.
Dan sayangnya, seperti Arjuna sekolah tersebut malah menaruh hati pada Gita. Gadis yang nyatanya sudah menjadi tunangan orang lain.
Rasa penasaran Sean teramat memuncak setiap kali memandang Gita dari jauh maupun dekat. Seperti saat ini.
Di kantin sekolah nampak tiga dara sudah duduk bersama. Melihat ada Gita di sana, Sean bergegas menghampiri, dan di saat yang bersamaan, Dimas juga berjalan ke arah yang sama.
"Kenapa kamu lagi, sih?" decak kesal Sean pada Dimas.
"Aku mau ke kantin bareng Gita, Kak! Kenapa malah Kakak yang sewot?" Dimas membalikkan kekesalannya.
"Bisa, enggak? Kalau kamu jangan terlalu dekat sama Gita?" tanya Sean tidak suka.
"Maaf, gak bisa!" jawab Dimas cuek dan membuang wajahnya dari Sean ke Gita.
"Gita!" panggil Sean dan Dimas bersamaan yang membuat Gita dan dua sahabatnya menoleh ke sumber suara.
Bersambung...