Seperti biasa, keadaan kelas selalu ricuh dan gaduh, terlebih bila tidak ada wali kelas di dalamnya. Gita seakan terbiasa, malah terheran bila suasana kelasnya hening.
Namun seperti biasa, Gita selalu tak acuh dan hanya membaca buku materi pelajaran selanjutnya. Saat asik mengisi soal di buku, terdengar teriakan teman kelasnya yang memanggil.
"Gita! Dicari sama anak kelas sebelah itu!" mata Gita refleks menuju ke arah depan pintu. Dan benar, matanya langsung melihat Dimas ada di sana.
"Iya, aku enggak tuli, kok! Enggak pakai teriak-teriak, kan bisa!" jawab Gita ketus. Lalu ia beranjak keluar menghampiri Dimas.
"Mau ngapain?" tanya Gita singkat.
"Lagi enggak ada guru, ya? Ikut aku sebentar, yuk! Aku mau ngomong sesuatu," ajak Dimas saat melihat suasana berisik kelas Gita.
"Mau ngomong apa, sih? Sekarang aja, sebentar lagi gurunya masuk, nanti aku dicariin. Atau nanti aja waktu jam istirahat aku ke kelas kamu!" tolak Gita cemas bila saat dia pergi tiba-tiba guru datang. Karena memang Gita adalah wakil ketua kelas, dan saat itu ketua kelas tidak hadir.
"Ya udah, aku tunggu di samping kelasku nanti. Langsung ke sana aja nanti, ya!" seru Dimas lagi yang hanya mendapat anggukan Gita yang terburu-buru masuk ke kelas setelah melihat sosok gurunya dari jauh.
Teet teet teet
Bel tanda istirahat berbunyi. Semua murid dari masing-masing kelas keluar menuju kantin dan ke tempat tujuan lainnya.
Gita juga bergegas menuju tempat yang disepakatinya dengan Dimas tadi. Sesampainya Gita di sana, nampak Dimas sudah menunggunya.
"Mas, mau bahas apa, sih?" tanya Gita.
Dimas terdiam sejenak sebelum berkata terbata-bata, "Hmm, Git? Emm,"
Gita terheran dengan sikap teman SD-nya ini.
"Eh, kenapa, sih? Kok ngomongnya gitu?" tanya Gita lagi.
"Gita, aku mau kita balik pacaran seperti dulu, ya?" tanya Dimas pada Gita yang sontak membulatkan matanya.
Masih teringat di benaknya saat dulu, akhir tahun kelulusan sekolah dasar mereka. Gita memutuskan hubungan dengan Dimas. Bisa dibilang hubungan mereka itu hanya sekedar 'cinta monyet' dengan artian hanya sekedar perasaan anak kecil yang baru menyukai lawan jenisnya.
Tapi hal ini terjadi sejak sekolah dasar, loh! Anak kecil tahu apa, hayo?
Bagaimanapun istilahnya, memang begitu adanya. Gita merasa ketika menjalin hubungan yang lebih dari pertemanan dengan Dimas, semangat belajarnya makin tinggi.
Yang membuat timbul perasaan malu apabila peringkat kelasnya turun. Dapat dikatakan, Dimas adalah penyemangat belajar bagi Gita waktu itu.
Dan yang Dimas rasakan adalah kesenangan tersendiri karena dia dapat belajar dan bersama siswa yang pintar di sekolahnya.
Hah! Terlepas dari seperti apapun perasaan itu, itulah perasaan anak-anak yang mereka rasakan.
Cinta Monyet mereka berlangsung sekitar tiga tahun dan berakhir saat Gita memutuskan Dimas dengan alasan sederhana.
Dirinya tidak akan mengekang Dimas bila ingin bersama perempuan lain. Sedikit info, Dimas cukup terkenal, terlepas dari statusnya yang anak dari guru olahraga di sekolah mereka. Dengan kulit yang putih serta wajah yang sudah terlihat tampan sejak kecil, tidak heran jika banyak anak perempuan lain yang mencoba mendekati Dimas.
Mungkin karena rasa tidak suka akan hal yang dianggap miliknya dipandang dan didekati orang lain, membuat Gita risih dan marah.
Gita juga cukup pintar untuk mengerti, bahwa Dimas bukanlah barang. Dia anak manusia yang bisa berjalan sendiri dan punya pikiran sendiri. Jadi, Gita rela memutuskan hubungan cinta Monyetnya dengan Dimas dan tidak ingin mengekangnya.
Sakit? Ya, tentu saja. Gita merasakannya.
Teman yang selalu ada disekitarnya dan menjadi penyemangat dalam belajar kini tidak ada lagi. Karena apa? Karena Gita tidak ingin berbagi. Egois memang, tapi itu sifat dasar perempuan.
Akhir kelulusan sekolah dasar, mereka sudah berteman kembali tanpa ikatan cinta anak-anak. Gita lebih nyaman berteman biasa dengan Dimas. Hingga mereka kembali bertemu di SMP yang sama, namun berbeda kelas.
Di usia remaja ini, sudah terbilang wajar jika mengalami masa pubertas dan menyukai lawan jenis.
Mungkin ini juga yang menjadi alasan Dimas. Ia merasakan aura Gita yang berbeda, terlihat semakin bijak dan semakin manis. Jadi, Dimas tidak ingin melewatkan kesempatan saat tahu teman sekelas Gita yang sering datang ke kelasnya, dan bercerita tentang ketertarikan mereka akan keunikan Gita yang berbeda dari remaja perempuan lainnya.
Membuat pikiran dan tekad Dimas sudah mantap untuk menembak Gita lagi. Namun, dia juga telah siap kecewa karena mungkin, Gita masih kecewa padanya.
•••
Gita mengulurkan tangannya dengan maksud bersalaman dengan Dimas. Dan Dimaspun menyambut jabatan tangan Gita.
"Dimas, kita temenan aja seperti biasanya. Aku lebih nyaman kalau kita jadi teman. Aku enggak mau punya rasa memiliki yang bukan sepenuhnya kepunyaanku. Aku udah faham sifatmu yang ramah ke semua orang termasuk perempuan, tapi itulah yang aku enggak suka. Jadi, lebih baik kita enggak ada ikatan selain berteman. Kamu ngerti, kan?" Gita memberi jawaban setelah kembali sadar dari lamunannya.
"Git, aku janji, aku bisa jaga sikap ke perempuan lain, aku enggak akan buat kamu marah kayak dulu. Git, Gita, tolong!" bujuk Dimas pada Gita yang langsung mendapat penolakan.
"Enggak, Mas. Aku enggak mau kecewa lagi. Apalagi kamu makin ganteng, wuih tambah panjang antrian cewek yang mau sama kamu! Aku ini apa? Cuma butiran debu, haha!" jawab Gita sambil tergelak tawa mencairkan suasana.
"Memangnya aku udah enggak ada lagi di hati kamu?" tanya Dimas lemah, "Kasihan, ya aku?" sambung Dimas lagi. Namun sepertinya, dia sudah bisa menerima.
"Ada, masih ada, kok! Di tempat orang-orang yang spesial. Dan lagi, sekarang aku enggak perlu segan kalau mau jitak kepala kamu, waktu kamu buat salah. Contohnya gini nih!" ucap Gita seraya menjitak kepala Dimas yang spontan membuat Dimas mengaduh kesakitan.
Akhirnya mereka kembali bersalaman pertanda kesepakatan, hanya akan ada hubungan pertemanan yang mereka jalin sampai kapanpun.
Bel kembali berbunyi pertanda berakhirnya waktu istirahat. Kedua sahabat itu berpisah dan masuk ke kelas masing-masing.
Gita kembali duduk dibangkunya, kemudian meraba ke laci mejanya hendak mengambil buku yang sebelumnya ia baca. Namun Gita juga menemukan sebuah amplop yang tidak ada tanda pengirimnya.
'Gita, aku suka melihat kamu yang berbeda dari perempuan lain. Kamu pintar, manis dan berani. Bisakah kita pacaran?' Gita membaca isi surat tersebut di dalam hati. Ketika membaca siapa pengirimnya, Gita langsung menoleh ke orang yang ada di bangku belakang sudut kelasnya. Gita melihat Zaki yang tersenyum melihatnya.
Gita berbalik dan membuang wajah. Dilipatnya kertas tadi dan dimasukkan kembali ke amplopnya, karena guru pelajaran matimatika sudah datang.
Bel waktu untuk pulang sudah berbunyi, sengaja Gita mengukur waktu untuk bangkit, supaya orang yang dihindarinya keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Gita keluar kelas namun berhenti di depan pagar sekolah karena melihat Zaki tengah menunggunya.
"Gita, uda bisa jawab suratku?" tanya Zaki.
"Belum. Mas aku udah jemput itu. Udah, ya!" jawab Gita yang langsung menjauh dari Zaki, karena melihat Barra sudah menunggu di atas motornya.
"Gita! Nanti aku telpon, ya!" teriak Zaki sewaktu Gita berlalu dengan Barra dengan sepeda motornya. Dan Gita hanya mengangguk sedikit tanpa suara.
Bersambung…