"Hmm, bisa dicoba, tapi syarat dan ketentuan berlaku, mau?" tanya Gita yang asal menjawab.
Zaki yang kaget langsung menoleh ke arah Gita dan bertanya lagi, "Bener, Git? Kamu mau? Terus apa syaratnya?"
Gita langsung menjawab sesuai isi kepalanya, "Satu, jangan panggil sayang-sayangan, aku gak suka! Dua, jangan pegang tangan atau cium. Aku bisa aja mukul kamu! Aku gak mau dosa. Tiga, jangan pernah protes kalau aku berantem sama orang, aku punya pendirianku sendiri. Itu aja yang enggak boleh, selebihnya bisa dibicarakan!"
Zaki merasa keberatan dengan syarat yang Gita ajukan. Rasanya, apa arti pacaran kalau semua yang asik malah jadi pantangannya? Namun, Zaki membiarkannya, berharap Gita berubah menjadi manis seperti hubungan yang Zaki mau. Cinta datang karena telah terbiasa, itulah yang diharapkan Zaki.
***
Barra dan Pak Hasan baru selesai makan siang. Berbincang sebentar dengan anak angkatnya kemudian hendak kembali ke kantor karena jam istirahat hampir usai.
Pak Hasan bekerja sebagai pegawai pelaksana di sebuah perusahaan BUMN yang kebetulan tidak jauh dari rumahnya, sehingga beliau bisa istirahat dan makan siang di rumah.
"Assalamua'laikum?" salam Gita di depan pintu rumah sambil duduk membuka sepatunya.
"Wa'alaikumsalam. Baru sampai, Mbak? Udah Zuhur belum?" jawab Pak Hasan dan balik bertanya pada anak perempuan satu-satunya itu.
"Udah tadi di musollah sekolah, Yah. Hmm, capek, Yah jalan, panasnya terik lagi," eluh Gita, "Ayah mau berangkat lagi? Gita masuk ya, Yah? Mau cari yang sejuk-sejuk," ucap Gita sambil menyalami Ayahnya yang hendak berangkat lagi.
"Mas, tolong ambilin air es, ya? Gita mau cuci-cuci dulu!" seru Gita pada Barra yang masih di dapur mencuci piring bekas makannya tadi.
"Capek, kan jalan kaki? Udah Mas tungguin juga, eh, malah mau jalan!" ejek Barra cengengesan.
"Ngejek terus!" teriak Gita dari kamar mandi yang makin membuat Barra tertawa lebar.
Selesai makan, Gita membawa tas sekolahnya ke ruang tamu untuk mengerjakan tugas rumahnya. Duduk juga Barra membaca berita di koran hari itu. Dia kemudian kaget menoleh saat mendengar pertanyaan Gita.
"Mas! Mas pernah pacaran enggak? Rasanya apa, sih?" tanya Gita.
"Enggak pernah. Enggak tahu rasanya dan enggak tahu caranya!" jawab Barra sewot karena dia sudah menduga akan ke mana larinya topik ini.
Dengan sikap polosnya Gita menceritakan setiap detail pembahasannya bersama Zaki tadi. Barra hanya mendengarkan dengan masa bodoh seakan malas.
"Mungkin asik, ya Mas pacaran? Gita coba dulu deh, barangkali rasanya beda waktu sama Dimas," sambung Gita yang membuat alis Barra terangkat.
"Git, masih kecil, loh! Kok udah coba-coba pacaran, sih? Dosa, loh!" balas Barra sewot.
"Hitung-hitung ngurangin jumlah OTD yang SKSD!" ucap Gita tanpa dosa.
"Apaan lagi tu?" tanya Barra bingung.
"Orang Tak Dikenal yang Sok Kenal sok Dekat. Mas Barra kurang jauh ih mainnya!" jawab Gita mengejek.
"Oh, yang udah jauh banget mainnya, ya! Baru sekali dibiarin jalan sendiri, udah langsung pacaran terus langsung pinter ngeledikin Masnya, ya!" balas Barra geram sambil menarik daun telinga Gita sedikit ke atas dan mendekatkan bibirnya lalu berbisik, "Mas aduin ibu sama ayah, ya?"
"Jangan jangan jangan, Mas! Jangan, ya Mas, ya! Mas Barra ganteng yang baik budi dan rajin menabung, jangan Mas, ya!" mohon Gita sambil merayu pada Barra sambil menggenggam tangan Barra.
Deg…
Detak jantung Barra berdebar aneh merasakan sentuhan tangan Gita. Rasa apa itu? Aneh. Seperti sengatan listrik halus yang terhantar langsung ke hati, seperti kesemutan tapi tidak ada semutnya.
Barra menarik tangannya dari genggaman Gita yang membuat adiknya kaget.
"Mas marah, ya?" tanya Gita.
"Enggak kok, cuma kesel aja diledekin sama kamu!" jawab Barra menyembunyikan perasaan anehnya.
Suasana menjadi hening sejenak sampai Barra bersuara kembali.
"Git, enggak usah pacaran pacaran dulu kenapa? Fokus belajar dan pikiran enggak terbagi," pinta Barra.
"Maunya gitu, Mas. Tapi, tadi udah Gita jawab iya, gimana dong ini? Biar dijalani dulu aja, Mas. Bantu doa gih, supaya adiknya ini tambah bahagia!" jawab Gita.
"Pacaran sama Mas aja kalau gitu!" kalimat mengagetkan keluar dari mulut Barra.
Gita terhenyak sesaat. Tapi setelah beberapa detik, Gita tertawa, "Hahaha, Mas kenapa, sih? Jadi ngelantur begini omongannya! Daritadi juga selalu keberatan kalau Gita pacaran?" tanya Gita sambil tertawa.
"Eh, iya. Kenapa, ya? Mas juga enggak tahu kenapa. Mungkin cemburu," jawab Barra asal karena bingung.
"Udah udah bubar! Ngobrolnya udah kemana-mana! Mas salah makan, ya tadi? Apa keselek biji cabe? Bicaranya udah ngawur!" ucap Gita sembari bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar.
Tring tring…
"Halo, Assalamu'alaikum?" Barra mengangkat telepon yang berbunyi.
"Wa'alaikumsalam, benar ini telepon rumah Gita, Pak?" tanya Zaki yang mengira Barra adalah ayah Gita.
"Ya, kamu siapa? Ini Mas-nya?" tanya Barra sewot.
"Saya Zaki, teman Gita, Mas! Mau ngobrol sama Gita boleh, Mas?" tanya Zaki lagi.
"Apa enggak cukup tadi ngobrol di jalannya? Gita tidur siang, kecapean karena jalan kaki tadi. Kamu bisa telpon nanti lagi, Assalamu'alaikum!" jawab Barra marah sambil menutup telpon.
"Ya Allah, aku kenapa ini? Kok jadi jengkel gini, sih?" gumamnya dalam hati.
Jam dinding sudah menunjukkan waktunya Barra pergi bekerja. Dia kemudian berpamitan ke belakang rumah tempat Bu Lela sedang menjahit.
•••
Hari esoknya, seperti biasa Barra mengantar Gita ke sekolah. Pagi-pagi sekali ia sudah sampai di rumah Pak Hasan untuk mengantar adik kesayangannya sekolah.
Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang sampai di sekolah tujuan mereka.
"Mas, Gita masuk ya, Assalamu'alaikum?" pamit Gita sambil mencium tangan Barra.
"Wa'alaikumsalam. Belajar yang benar, ya! Jangan berantem terus!" jawabnya.
"Enggak janji adek, Mas! Hehe," sahut Gita sambil tersenyum pada Barra.
Kemudian berlari kecil menghampiri Anti yang kebetulan baru tiba juga.
"Siapa itu, Git? Kok manis, ya?" tanya Anti melihat Barra yang belum pergi.
"Mas jumpa gede, tuan puteri! Tahu aja itu mata kalau lihat yang bening-bening, masih pagi ini loh!" jawab Gita.
"Mas atau Mas? Yakin enggak lebih?" tanya Anti menggoda lagi.
"Ya Allah, usil amat pagi-pagi ketemu teman kayak gini?" omel Gita sambil menepuk dahinya.
Di seberang sana Barra masih memandang adiknya dari jauh hingga tidak terlihat lagi. Dipandangnya telapak tangan kanannya yang terlihat wajar itu.
Diingatnya lagi rasa yang sama ketika kemarin Gita menggenggam tangannya.
'Sejak kapan aku seperti ini?' gumamnya dalam hati.
Dan perasaan aneh itu terus berulang ketika mereka bersentuhan fisik sengaja atau tidak disengaja bahkan bila hanya bersalaman.
Dan anehnya lagi, setiap Gita bercerita soal hubungannya dengan Zaki yang semakin hari dinikmati dengan santai oleh Gita, Barra merasakan sakit di dadanya. Rasa terbakar, sesak yang mendorong rasa marah. Namun, ia tidak tahu harus melepas marahnya ke mana.