"Ya Allah. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Semakin hari rasa aneh di hati ini semakin besar.
Ketika bersamanya, melihat senyum dan tawanya, rasa bahagia hamba meluap dan ketika mendengarnya menceritakan laki-laki lain amarah hamba membuat dada ini sesak. Berikan petunjukMu wahai Yang Maha Membolak Balikkan Hati. Aamiin," doa Barra dalam sholatnya.
"Apa rasa sayang kepada adikku ini bisa berubah jadi ingin memilikinya? Enggak mungkin, kamu gila, Bar!" ucapnya pada pantulan dirinya sendiri di cermin.
***
"Mau makan apa, Git?" tanya Zaki pada pacar perdananya saat mereka baru tiba di kantin sekolah waktu istirahat.
"Beli pisang goreng aja sama air putih cup!" jawab Gita dan langsung mendapat isyarat 'okay' dari Zaki.
"Ciye ciye, yang baru jadian berdua terus!" ledek teman-teman Zaki yang sudah lebih dulu ke kantin.
"Berisik amat, iri bilang, Bos!" jawab Zaki pada teman-temannya.
Hatinya selalu berbunga-bunga bila bersama Gita. Begitu juga sebaliknya, Gita juga sudah mulai menerima status Zaki di hatinya.
Mereka juga selalu disamakan dalam menjalankan tugas mereka sebagai wakil ketua kelas dengan Zaki yang baru dipilih menjadi ketua kelas yang baru. Hal ini semakin mendekatkan keduanya menjadi lebih mengenal satu sama lain.
***
Liburan sekolah setelah selesai ujian semester ganjil dimulai. Saat itu peringkat rangking kelas diraih Gita di posisi kedua. Dan yang di posisi pertama ditempati Dian dan Anti di urutan ketiga. Ya, begitu saja selama hampir dua tahun mereka.
Gita memilih berlibur di rumah bibinya di pusat kota sembari menjaga neneknya yang sudah berusia senja.
Gita bosan bila di rumah hanya melihat Fajar bermain Playstation dengan Mas Suryanya saat pulang bekerja. Sedangkan Barra kebetulan selalu lembur di tempat bekerjanya.
Walau saat libur, Gita dan Zaki juga selalu berkomunikasi melalui telepon.
"Hallo, Assalamu'alaikum?" jawab Gita pada seseorang di ujung sambungan telepon.
"Wa'alaikumsalam. Cepet amat jawabnya, memang lagi nungguin telpon aku, ya?" ledek Zaki.
"Apaan? Biasa aja, ih! Kamu juga, masih pagi udah nelpon, enggak punya kerjaan?" sahut Gita kesal.
"Ya, kok marah Git? Aku cuma bercanda, tapi mengharap juga sih kamu memang nungguin telpon aku. Soalnya aku kangen, pengen cepet ketemu sama kamu!" gombal Zaki.
"Mimpi!" ledek Gita sambil tersenyum sendiri.
"Berarti cinta ini bertepuk sebelah tangan, cuma aku yang rindu, kamunya enggak!" suara Zaki lemas dari ujung sana.
"Haha, gitu aja terus down kamu! Iya, aku memang enggak kangen," sesaat Gita berhenti, "tapi bohong! Hehehe," sahutnya lagi sambil cengengesan.
Bahagianya mereka hanya mereka yang rasa. Dan juga orang lain yang mendengarkan percakapan mereka dari ujung sambungan telepon lainnya sambil tersenyum sinis.
Ya, Ayah Zaki tengah mendengarkan percakapan anaknya. Ternyata telepon rumah Zaki diparalelkan ke pabrik rumahan milik ayah Zaki.
Ayah Zaki memiliki pabrik rumahan yang memproduksi furniture tempahan berbahan dasar rotan. Menghasilkan kursi, meja, ayunan sangkar, kreta bayi dan lainnya.
Bisa dibilang orang tua Zaki termasuk orang yang 'berpunya' di sekitarnya, karena hasil produksinya dipasarkan sampai keluar kota bahkan luar negeri.
Sudah diamati orangtua Zaki selama dua minggu anaknya di rumah. Sambil melihat tagihan telepon yang naik drastis dan menunjukkan banyak dan lamanya panggilan ke satu nomor yang sama. Mereka yakin itu adalah nomor gadis yang disukai anaknya. Tinggal menunggu waktu saja, bom akan meledak.
Di tempat lain, Barra yang baru saja merebahkan diri selesai bersih-bersih dari bekerja langsung menyambar ponselnya di meja. Melihat catatan waktu terakhir dia menghubungi adiknya sudah dua hari yang lalu. Perasaan rindu yang sudah menumpuk menjadi alasannya menekan nomor Gita.
"Assalamu'alaikum, Mas!" sahut Gita di sana.
"Wa'alaikumsalam, Git. Belum tidur? Ini udah jam sebelas malam, loh!" tanya Barra.
"Ini baru mulai tidur, terus Mas nelpon. Baru pulang ya, Mas?" tanya Gita.
"Iya. Mas baru pulang, habis mandi, terus kangen dengar suara kamu, kali aja diangkat, syukurnya kamu belum tidur," jawab Barra tenang.
"Kangen apaan sih, Mas? Kalau sepi ya datang ke rumah, terus ngobrol sama ayah ibu. Tapi, Mas, kan sering lembur sekarang, jadi enggak sempat ke rumah," sambung Gita.
"Mas udah nginap di rumah kemarin waktu pulang kerja. Tetap aja sunyi enggak ada kamu. Enggak berisik, enggak asik," lanjut Barra.
"Hoam… ngantuk, Mas. Udah dulu, ya ngobrolnya! dua hari lagi Gita pulang. Nanti Gita temenin ngobrol waktu ketemu. Assalamu'alaikum, Mas Barra!" Gita mengakhiri pembicaraan.
"Iya, Wa'alaikumsalam. Doa dulu sebelum tidur," tutup Barra.
"Selamat tidur, Gitaku sayang. Mas kangen banget sama kamu," gumam Barra sambil memeluk gulingnya.
Barra sudah menyadari perasaan apa yang dimiliki untuk adiknya itu. Yang diyakini Barra kalau itu cinta untuk Gita. Bukan lagi rasa sayang kepada seorang adik.
Melihat Gita tersenyum, dia bahagia.
Melihat Gita merajuk membuatnya gemas.
Kesal dan tangis Gita membuatnya sedih.
Bila Gita membicarakan laki-laki lain, dia marah.
Bila tidak bertemu Gita, dia rindu. Ya, rindu.
***
Masuk di semester genap di tahun ajaran yang sama. Cuaca mendung menurunkan rintik hujan menyejukkan bumi. Suara ketukan siswi dari arah pintu kelas delapan-dua memecah keheningan ruangan yang pada saat itu kusyuk belajar.
Tok tok tok
"Permisi, Bu. Gita dan Zaki dipanggil Ibu Shifa ke kantor," ucap siswi dari kelas lain yang kemudian pergi setelah melihat anggukan guru fisika di kelas Gita.
Gita yang saat itu sedang asik menulis, memberhentikan penanya dan mengangkat sebelah alis ketika mendengar namanya disebut. Refleks menoleh ke arah samping belakang tempat Zaki duduk.
Didapatinya Zaki juga memandangnya dengan tatapan cemas.
"Apalagi ini Gita, Gita. Hobby sangat nak main di kantor guru! Cepetan sana ditungguin!" sambil menggeleng, Bu Rosa memanggil Gita yang mengagetkan Gita yang masih membisu menatap Zaki.
Di kantor guru sudah menunggu Bu Shifa dengan wajah sedikit tegang. Kemudian mempersilahkan Gita dan Zaki untuk duduk di hadapannya.
"Gita, apa kamu tahu kenapa Ibu panggil ke sini?" tanya Bu Shifa pada Gita. Gitapun menggeleng bingung.
"Zaki? Kamu tahu?" lanjut Bu Shifa bertanya pada Zaki.
Zaki ragu menjawab namun tetap mengangguk pertanda ia tahu persoalan ini.
Gita membulatkan mata ketika melihat anggukan Zaki, "Kamu tahu, Ki? Kok enggak kasih tahu aku?"
Zaki diam tidak menjawab Gita. Namun langsung bertanya pada Bu Shifa, "Bu, karena orang tua saya, kan?" tanya Zaki yang mendapat anggukan gurunya itu.
"Gita, Zaki, Ibu tahu seumuran kalian ini adalah masa pencarian jati diri. Masa menyukai lawan jenis, tapi harus ada batasannya. Ibu tidak menyalahkan kalian berdua dekat, selama kalian bisa menjaga adab. Lagi pula Ibu mengamati nilai Zaki naik drastis saat belajar bersama Gita," ungkap panjang Bu Shifa yang diam-diam mengamati hubungan muridnya.
"Tapi, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Mereka ingin anak mereka fokus pada sekolah dan pelajaran agar bisa mendapat masa depan yang layak, itulah harapan orang tua," sambungnya lagi.
Gita yang sudah mulai faham ke mana arah pembicaraan ini mengepal tangannya kuat. Ia ingin marah dan bersuara, namun ia masih waras mengingat adab ke orang yang lebih tua.
Bersambung...