"Siapa, Dek?" tanya Barra penasaran.
Dengan nada lemas Gita menjawab, "Teman sekelas yang tadi ngasih surat ngajak pacaran,"
"Terus kamu terima? Masih kecil loh! Kok udah pacar-pacaran, sih?" omel Barra pertanda kurang suka.
"Belum dijawab, Mas. Gita bingung mau jawab apa," jawab Gita dengan ekspresi masih malas. Entah karena banyak kejadian mengejutkan hari ini, membuat Gita kehilangan banyak energi.
Barra yang entah mengapa terlihat senang mendengar jawaban adiknya tadi. Kemudian ia kembali fokus saat Gita mulai bercerita lagi.
"Mas, kemarin Bu Shifa wali kelas Gita bilang, katanya Gita harus pakai seragam panjang sama kerudung. Supaya lebih lembut jadi perempuan," Gita bercerita.
"Memangnya kenapa kok tiba-tiba?" tanya heran Barra.
"Kemarin Gita mukulin anak kelas lain gara-gara anak itu udah buat Fajar nangis," Gita mengaku.
Kemudian Gita menceritakan kronologis kejadian hingga diperintahkan untuk mengubah penampilannya.
"Mas setuju sama wali kelas kamu. Dan lagi, memang sudah waktunya kamu menutup aurat. Terus kalau pakai rok panjang, kan, jadi susah itu kakinya pecicilan. Enggak mirip anak laki-laki lagi!" jawab Barra sambil mengejek.
"Nanti Mas kasih uang buat ibu untuk beli seragam baru, sebentar lagi Mas gajian, kok! Tapi kita bahas sama ibu dan ayah dulu!" sambung Barra.
"Ya udah, terserah Mas aja, udah mentok juga," jawab Gita pasrah.
Beberapa hari kemudian, setelah setuju soal seragam baru disertai omelan panjang Bu Lela, Gita tengah sibuk berdandan merapikan seragam baru yang belum pernah dikenakan selama ia bersekolah.
Ingin berdandan asal namun kelihatan seperti anak bodoh yang tidak bisa mengurus diri. Jadi, Gita berusaha berpenampilan rapi lengkap dengan kerudungnya dan membuat wajahnya berbeda dari sebelumnya.
"Gita, Fajar, udah selesai belum?" panggil Barra setelah selesai sarapan.
"Mas, Fajar berangkat sendiri aja. Nanti sempit boncengan sama mbak Gita, dia ribet banget pakai rok panjang gitu. Enggak selesai-selesai lagi!" jawab Fajar sembari berpamitan menuju ojek antaran mereka.
"Mas Barra, udah rapi belom kalau begini?" tanya Gita pada Barra yang tersenyum lebar melihatnya.
"Ini baru anak gadis solehah, enggak cuma ngaji aja yang tertutup, sekolah juga harusnya begini dari dulu!" jawab Barra memuji.
"Ya, udah, kita berangkat!" ajak Gita seraya berpamitan.
•••
Suasana aneh menyelimuti kelas Gita pagi itu. Mungkin semua siswa terkejut melihat penampilan Gita yang berbeda. Dian yang penasaran bertanya langsung pada sahabatnya itu,
"Git, ada angin apa langsung tukar gaya? Mimpi kena azab sinetron ikan terbang tadi malam, ya? Alim betul, hahaha!"
"Sotoy betul, ejek aja terus!" jawab Gita kesal namun ia tidak marah karena Gita sangat menyayangi sahabatnya itu.
"Yah, Bu Hajah marah, ish takut!" ejek Dian lagi.
"Udah deh, Dion! Yang suruh aku pakai baju begini Bu Shifa, waktu tempo hari aku dimarahin gara-gara mukulin anak delapan-enam, inilah hasilnya!" Gita menjelaskan.
"Oh, aku kira kena azab sinetron ikan terbang, haha!" ejek Dian lagi.
Gita merasa hanya dengan Dian dan satu sahabat lagi, Anti, yang memiliki pemikiran mereka sama. Tiga dara itu mempunyai pemikiran, kepintaran, ketegasan yang hampir sama, namun kepribadiannya jelas berbeda.
Gita gadis cerdas berani, Dian juga pintar namun tertutup kecuali dengan Gita dan Anti. Dan Anti, gadis pintar namun mudah berbaur dengan orang lain.
Uniknya, sejak kelas satu hingga kelas dua ini, hanya nama mereka yang berputar antara rangking tertinggi.
Kok bisa begitu, ya? Saya juga tidak tahu.
•••
Di tempat lain, Barra masih berkecimpung dengan pekerjaan rumahnya. Membantu membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya. Hari itu, Barra mendapatkan shif sore, jadi ia bisa mengantar jemput Gita sekolah.
Membayangkan Gita membuatnya tersenyum sendiri.
"Gita, Gita, makin hari makin gemesin. Apalagi udah kerudungan gitu, hmm, makin cantik. Pasti bentar lagi ada cerita kalau banyak cowok yang gangguin," gumam Barra sendiri sambil mencuci baju kerjanya.
Selesai Solat Zuhur, Barra bergegas menjemput adik kesayangannya ke sekolah. Dia sangat hafal jalan menuju sekolah Gita, karena jalan itu pernah rutin dilaluinya selama tiga tahun dulu. Ya, Barra adalah alumni sekolah Gita saat ini.
Barra tiba tepat waktu saat bel pulang sekolah berbunyi. Dilihatnya Gita ditemani Mina dan Anita berjalan keluar sekolah dan berpisah ke arah tujuan masing-masing. Namun wajahnya berubah ketika Gita berbalik ke belakang saat dipanggil teman laki-lakinya.
"Gita, tunggu!" panggil Zaki yang membuat Gita menoleh ke belakang.
"Ada apa?" tanya Gita cuek.
"Pulang bareng, yuk! Kita barengan sampai pos angkot, aku mau bahas soal surat aku, ya?" pinta Zaki.
Gita sejenak berfikir, cepat atau lambat memang harus diselesaikan. Gita orang yang malas bertele-tele menghadapi masalah.
"Boleh, tapi coba tanya sama masku di sana!" jawab Gita mengiyakan sambil menunjuk ke arah Barra yang menunggu di motornya.
"Ayo, biar aku izin mas-mu dulu!" Zaki menerima tantangan kecil itu dan berjalan menghampiri Barra.
"Udah, kan? Yuk, pulang! Mas udah lapar belum makan!" ajak Barra menyuruh adiknya untuk segara naik.
"Mas, boleh enggak-" tanya Gita terhenti saat Zaki bersuara.
"Mas, boleh, kan Gita jalan sama saya sampai pos angkot? Kali ini aja, ada yang mau dibahas sambil jalan," ucap Zaki meminta persetujuan.
Barra menaikkan satu alisnya sambil menatap Gita yang menganggu, seolah mereka mengerti bahasa tubuh dan telepati.
Barra mengalah dan memutuskan mengizinkan Adiknya pergi.
"Kamu langsung pulang, ya! Kakinya jangan mampir kemana-mana lagi. Mas tungguin di rumah!" ucap Barra pada adiknya. Kemudian menoleh ke Zaki dan memberi peringatan, "Jangan diajak kemana-mana. Cukup hari ini!"
barra menghidupkan mesin motornya dan pergi. Hatinya sedikit ngilu. Entah karena marah atau merasa tidak terima adiknya bersama orang lain.
'Rasa apa ini Ya Allah, enggak enak banget,' gumamnya dalam hati.
Di pinggir jalan yang bertaburan anak sekolah berbaju putih biru berjalan menuju arah masing-masing. Ada yang bersepeda, ada yang bergandengan, ada juga yang bercanda dengan teman mereka. Di situ juga ada Gita dan Zaki yang berjalan bersamaan.
"Ki, aku enggak bisa pacaran sama kamu. Aku mau fokus belajar, aku juga enggak siap sakit hati kecewa. Maaf, juga kalau beberapa hari kemarin aku menghindar dari kamu waktu ada telepon iseng yang diangkat ibuku," Gita membuka obrolan dan langsung ke topik.
Kalimat yang sudah dirancang Zaki buyar seketika mendengar kalimat yang Gita ucapkan.
"Pedas amat, Git, jawabannya. Udah kayak dikasih cabe rawit sekilo!" ucap Zaki mencairkan suasana.
"Coba jalanin dulu, Gita. Aku udah ngumpulin keberanian yang dari dulu kusimpan. Dari kelas satu, aku udah pengen dekat sama kamu, tapi kuurungkan," sambung Zaki.
"Aku udah enggak bisa diam aja waktu dengar temanku yang lain rencanain mau nembak kamu, aku enggak mau keduluan mereka. Aku merasa layak jagain kamu dari mata cowok jelalatan yang sengaja usil mau deketin kamu!" lanjutnya lagi.
"Buat apa jadi tameng aku? Kalau suka, ya suka aja! Jangan pakai alasan macam-macam, deh! Aku lagi enggak cari satpam buat jagain aku. Emang sih, agak risih waktu lewat terus disapa-sapa gitu, gak kenal juga," ucap Gita.
"Git, pikirin lagi soal aku, kita bisa coba dulu. Kalau kamu tetap enggak nyaman, ya udah, kita bubarin!" ajak Zaki sekali lagi.