Alena berdiri diambang pintu, matanya menatap Papa yang sedang membaca koran dengan secangkir kopi di meja. Alena menghela napasnya untuk mengurangi rasa takut, ia memejamkan matanya, dan membukanya dengan perlahan.
"Tenang, Na. Enggak akan terjadi apa-apa," gumam Alena pelan untuk menenangkan diri.
Kaki Alena mulai melangkah ke bawah menghampiri Taniel, Taniel yang merasakan kehadiran Alena langsung menghentikan aktivitasnya. Ia langsung beranjak dari duduknya, ketika ia ingin berjalan dengan cepat Alena langsung memegang tangan Taniel. Taniel langsung menepis tangan Alena.
"Mau apa kamu?!" tanya Taniel dengan tatapan tajam.
"Pa ...."
"Oh, uang kamu habis? Terus minta uang ke saya?!!" bentak Taniel dengan membentak.
Alena menundukkan kepalanya. Ia takut dengan tatapan tajam sang papa. Taniel langsung berjalan keluar rumah. Alena mengintip sang papa dari jendela, ia sedang mencuci mobilnya. Dengan cepat Alena mengambil lap dan langsung menghampirinya.
"Apa lagi mau mu?" Suara dingin milik Taniel terdengar jelas di telinga Alena. Dia tidak menoleh sedikitpun ke arah Alena. Alena hanya terdiam, ia langsung membantu Papa mencuci mobil.
"Bersihkan kaca depan itu!" perintah Taniel.
Alena tersenyum mendengar Taniel menyuruhnya. Alena mengangguk dan dengan semangat dia membersihkan kaca itu. Tanpa Alena sadari Kevan memperhatikannya dari atas. Mulutnya tersenyum tipis.
Lima belas menit kemudian mereka telah membersihkan mobil, mobil itu terlihat sangat bersih. Alena tersenyum melihat Taniel yang sedang memeras kain itu. Mata Alena melihat keluar jalanan, ia melihat tukang bubur yang berhenti tepat di seberang rumah Alena. Dengan cepat Alena berjalan menghampiri tukang bubur itu, dan memesan dua mangkuk bubur.
Tak lama, Alena masuk ke dalam dengan membawa dua mangkuk bubur. Ia meletakkan di meja teras. Papa meletakkan cangkir itu, matanya menatap Alena.
"Apa ini? Kamu mau meracuni saya dengan semangkuk bubur ini, kan?"
Jleb!
Alena terkejut dengan perkataan Taniel, mana mungkin ia meracuni orang yang ia sangat sayang. "Nggak ada racun pa. Percaya sama Alena, aku hanya ingin mentraktir, Papa," sahut Alena dengan tersenyum hangat.
Papa mengambil mangkuk itu dan mulai melahapnya. Alena tersenyum memperhatikan Papa menikmati semangkuk bubur itu. Alena hanya memegangi mangkuk bubur miliknya.
Namun, saat ini kondisi Alena sedang tidak baik-baik saja. Ketika ingin memakannya sesuap bubur, tiba-tiba saja kepala Alena terasa sedikit pening, juga dada yang terasa sangat nyeri dan sesak. Namun, Alena berusaha untuk menahan. Ia tidak ingin menyia-nyiakan momen yang seperti ini.
Taniel melirik Alena dengan meletakkan mangkuk. "Kau tidak memakan bubur mu itu?" tanyanya dengan mengalihkan pandangannya. Alena sedikit menundukkan kepalanya yang terasa berat.
"Porsimu juga tidak full? Kau hanya memesan setengah porsi?" tanyanya lagi. Ia memang tidak menatap Alena, tapi ntah kenapa gadis itu merasakan ada yang berbeda dengan Taniel yang sebelumnya.
Sial! Kenapa penyakit ini datang di saat seperti ini? Di saat Alena ingin mengobrol hangat dengan sang Papa.
"Pa, te-terima kasih sudah mau berbicara dengan ku. Terima kasih sudah mengizinkan ku membantu papa membersihkan mobil. Aku sangat senang, meskipun ini mungkin terasa mimpi, ini merupakan mimpi terindah ku. A-aku sayang Papa. Papa boleh membenci ku, tapi aku mohon, jika aku mempunyai kesalaha, maafkan aku, ya, Pa," lirih Alena.
Taniel terbungkam, ia mencerna semua omongan Alena. Sedikit aneh Taniel mendengar hal itu. Ada apa dengan anak itu? Pikir Taniel.
Taniel masih menatap lurus tanpa melihat Alena. Namun, Alena beruntung Taniel sedang tidak menatapnya.
Alena merasakan darah yang keluar dari hidungnya, bahkan sudah menetes di bubur ayam milik Alena. Dengan cepat Alena menutup hidung sampai mulutnya dengan telapak tangannya.
Taniel sudah selesai makan, ia meletakkan mangkuk itu di meja. Pandangannya tetap lurus ke depan, dalam hati kecilnya ia ingin sekali menatap Alena. Namun, egonya berkata lain. Ego yang membuat Taniel benci dengan Alena, anaknya.
Alena tersenyum melihat bubur yang sudah di habiskan oleh sang Papa, dia mengambil mangkuk itu.
"Sekali lagi makasih, Pa. Alena sayang, sayaaaangg banget sama Papa. Alena selalu berdoa sama Tuhan, supaya Papa tidak membenci Alena. Mungkin, Tuhan sudah lelah mendengar doa Alena yang banyak itu. Hehe,"
Alena beranjak dari duduknya, ia menghampiri penjual itu dengan memberikan lima puluh ribu.
"Pak, maaf ya. Buburnya jadi banyak darah seperti itu, mau saya buang, tapi bingung gimana caranya," kata Alena dengan tertawa canggung.
Karena tangan kanan Alena menutupi setengah wajahnya, jadi dia bingung bagaimana cara membuang bubur itu. Penjual itu pun sedikit terkejut melihat darah yang sudah mengalir dari hidung sampai mengenai kaos Alena.
"Nggak apa-apa, mba. Itu darahnya keluar banyak banget mba, ini saya punya tisu," ucap penjual itu dengan menyodorkan tisu.
Alena mengangguk, dan mengambil tisu itu.
"Makasih, Pak."
Alena langsung berlari kecil ke taman kecil itu, dia mengambil tisu dan menempelkan di hidungnya. Ia juga mengelap mulutnya yang banyak darah dengan tisu,
Kepala Alena mendongak ke atas, menatap langit pagi, juga awan yang ada di sana. Ia menikmati angin-angin yang berhembus sedikit kencang.
"Loh, kakak yang kemarin?"
Mendengar itu, Alena menurunkan kepalanya dan menoleh.
Alena tersenyum melihat Rei yang memegang bolanya. Namun, Alena melihat anak kecil itu tampak berbeda. Wajahnya yang sedikit pucat terlihat jelas di wajah Rei.
"Rei, kan?" tanya Alena memastikan, anak kecil itu mengangguk.
"Kakak namanya siapa? Kemarin belum di kasih tau," tanya Rei duduk disamping Alena.
"Nama kakak Alena. Oh iya, kamu ke sini sama siapa?"
***
Cowok itu berjalan gontai sambil menguap, juga menggaruk kepalanya. Matanya masih terbuka setengah, dan terasa masih sangat ngantuk.
"Dion, lihat adik kamu?" tanya wanita paruh baya itu dengan khawatir.
"Rei?" tanya Dion yang masih linglung karena setengah sadar.
"Iya, Rei! Siapa lagi? Adik kamu cuma, Rei!"
"Ma, aku baru aja bangun tidur. Palingan juga Rei main di taman be—"
"Nggak ada! Rei nggak ada di taman belakang! Semua orang rumah sudah mencarinya di sekitar rumah, dan memang tidak ada!" jelasnya dengan sangat khawatir.
Dion menghela napas. "Mama jangan khawatir, Dion cari di sekitar komplek!"
Dion Abelio, cowok bertubuh tinggi, dengan badan yang sudah membentuk otot. Rambut dark brown, juga kulit putih. Ia memang terlihat sedikit dingin, dan berbicara ketus. Namun, sebenarnya dia sangat perhatian, dan penyayang.
Dion berlari ke kamarnya. Dia membasuh muka dan menggosok giginya terlebih dahulu. Setelah itu, tangannya meraih jaket, juga kunci yang ia masukkan ke dalam kantong celana.
"Ma, Dion cari Rei dulu ya!" pamit Dion seraya berlari menuruni anak tangga dengan mengenakan jaketnya.
"Iya, hati-hati!"