Dion membungkamkan mulutnya dengan tersenyum mengangguk. Mereka saling terdiam dengan menikmati nasi itu dengan lahap, juga dengan Alena. Ia makan nasi itu dengan sangat lahap, bahkan Dion sampai menggelengkan kepalanya. Meski cara mengobrol mereka berbeda, mereka dapat merasakan adanya kedekatan diantara keduanya.
"Lo laper? Ape doyan?" tanya Dion.
"Laper, dari kemarin aku belum makan sama sekali," jujur Alena dengan menyengir.
"Seriusan? Eh, btw, lo bisa enggak si ngobrol pake lo-gue gitu? Rasanya agak aneh aja kalau gue pake lo-gue. Sedangkan lo pake aku-kamu."
Alena yang sedang mengunyah pun gerakannya terhenti sambil menyengir menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Maaf, udah kebiasaan. Tapi bisa aku—eh, gue coba."
Dion tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Sekali lo pake aku-kamu bakal gue denda lima ribu, gimana?"
"Mahal banget? Satu kata lima ribu? Ak—eh, gue enggak setuju!"
Dion langsung mengulurkan tangannya dengan tersenyum tipis. "Dua ribu lima ratus, lo tadi salah setengah," ujarnya yang membuat Alena terkekeh pelan.
"Gue enggak punya uang, anggap aja itu masih masa percobaan. Gimana?"
Dion tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Karena gue baik, gue anggap tadi masa percobaan."
"Nah gitu. Oh iya, yang merawat Rei itu cuma lo sama mama lo aja? Papa lo ke mana?" tanya Alena penasaran.
Seketika wajah Dion berubah menjadi muram, dia terlihat tidak suka ketika Alena menanyakan tentang papanya.
"Nggak penting, yang terpenting gue benci sama dia!" ucap Dion dengan penuh penekanan.
"Maaf," ujar Alena yang merasa tak enak menanyakan hal itu.
***
Alena kembali ke kelasnya saat bel istirahat telah usai, Dion pun banyak bercerita tentang Rei, adiknya.
Alena merasa mempunyai teman baru, dia percaya kalau Dion orang baik, juga perhatian. Alena senang mempunyai teman seperti Dion.
Pembelajaran dimulai seperti biasa setelah guru itu masuk ke dalam kelas.
Kelas yang gaduh berubah menjadi hening, dan tenang. Mereka menyimak penjelasan guru, beberapa murid yang aktif selalu menanyakan materi yang belum mereka pahami. Tidak berlaku untuk Alena, ia sedikit paham dengan materi itu.
Alena itu orang yang pintar, namun tidak ada yang mau mengakui kehadiran Alena di sekolah itu.
Jam berputar begitu cepat, bel pulang pun sudah berbunyi dengan nyaring. Semua murid bersorak senang, ekspresi mereka berubah menjadi kembali bersemangat.
"Baik, pelajaran kita akhiri sampai sini. Sampai jumpa di minggu depan, jangan lupa tugasnya ya!" pesan guru itu sambil merapikan bukunya.
Setelah guru itu keluar kelas, semua murid berhamburan keluar kelas. Ada yang langsung pulang, ada juga yang pergi ke ruang ekstrakurikuler mereka masing-masing. Tidak berlaku untuk Alena, dia masih duduk di bangkunya dengan merapikan bukunya, dan ia masukkan ke dalam tasnya.
Alena mulai beranjak dari duduknya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Alina yang masih berdiri di depan kelas.
Alena tersenyum, apa dia sengaja sedang menunggu dirinya? Pikir Alena.
Namun semua itu salah, Alina sedang mengobrol dengan teman-teman. Alina yang melihat Alena hanya tersenyum menyeringai, "Eh, ada si culun ini."
Semua teman Alina tertawa puas, "Hajar terus, Lin!" sorak salah satu temannya itu.
"Hm, udah sore. Ngapain juga ngeladenin orang culun ini, mending balik ke rumah. Yok, cabut!" ucap Alina yang berjalan terlebih dahulu dengan menabrak bahu Alena.
"Ups, maaf sengaja."
Mereka semua kembali tertawa. Alena hanya terdiam tanpa melawan sedikitpun.
Alena berjalan melewati koridor sekolah, tanpa di sengaja matanya menangkap seseorang yang berlari dengan cepat dengan wajahnya yang tampak sangat khawatir.
Orang itu adalah Dion, ia terlihat sangat khawatir. Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu dengan, Rei? Pikir Alena.
Alena tidak ingin mencampuri urusan keluarga mereka lagi, karena setiap keluarga mempunyai masalah masing-masing, jadi dia tak berhak untuk terlalu masuk ke dalam keluarga mereka.
Ponsel Alena bergetar, menandakan satu pesan. Alena langsung membuka pesan itu. Terdapat satu pesan dari dokter Ryota yang mengingatkan kalau ada pemeriksaan lagi.
Alena menghembuskan napas, lagi-lagi pemeriksaan. Apa dengan adanya pemeriksaan seperti ini penyakit ini akan sembuh? Yang Alena tahu adalah penyakit leukemia tidak bisa sembuh. Hanya itu.
Setelah membalas pesan itu Alena kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya sampai ke gerbang.
"Alena?"
Mendengar namanya dipanggil Alena menoleh, terlihat Kevan yang melangkah mendekati Alena dengan senyum hangatnya.
"Mau pulang bareng? Bareng kakak, juga Alina," ajaknya.
Rasanya ia ingin menerima ajakan kakaknya, Kevan. Namun, ia mengurungkan kembali. Percuma saja, Alina pasti akan menolaknya.
Alena menggeleng dengan tersenyum, "Nggak kak makasih, kakak pulang bareng Alina aja," tolak Alena halus.
Melihat angkutan umum yang akan datang, Alena segera pamit pada Kevan, dan memberhentikan angkut itu. Saat Kevan hendak berbicara, Alena langsung naik ke dalam angkut.
Alena masih bisa melihat Kevan yang masih berdiri disana dengan tatapan kecewa, "Maafin, Alena, kak."
Kevan pun baru menyadari kalau angkut itu bukan jurusan ke arah rumahnya. Memang, jurusan angkut dari sekolah ke rumah dan dari sekolah ke rumah sakit itu berbeda.
***
Bruk!
Alena tak sengaja menabrak seseorang saat berjalan tergesa-gesa, dia sudah terlambat sepuluh menit. Gadis itu yakin kalau Ryota akan menceramahi-nya karena tidak tepat waktu.
"Aduh, maaf," ucap Alena yang berjongkok membantu mengambil beberapa buku yang terjatuh.
"Iya, mbak. Saya juga yang salah, jalan nggak lihat depan," ujar orang itu.
Alena memberikan tumpukan buku itu, dia tidak melihat wajahnya dan langsung berjalan meninggalkannya setelah mengucapkan maaf.
"Alena?" gumam orang itu yang membuat langkah Alena terhenti.
Perlahan Alena membalikkan tubuhnya, matanya terbuka lebar ketika melihat orang yang sangat ia rindukan.
"Reina?!" seru Alena dengan tersenyum lebar, dan berlari mendekati Reina.
Yap, orang itu adalah Reina. Sahabat dekatnya, dulu.
Alena memeluk erat tubuh Reina, gadis itu juga membalas pelukan Alena dengan erat. Keduanya terlihat melepas kerinduannya, juga terlihat ingin mengutarakan sesuatu.
Reina mengajak Alena untuk duduk di taman rumah sakit.
"Na, gue enggak nyangka kalo kita bakal ketemu disini," ucapnya dengan tersenyum.
"Gue juga nggak nyangka, Re."
"Gue kangen banget sama lo, Na. Gue juga kangen banget sama Salsa."
Alena terdiam, gadis itu pun juga rindu dengan Salsa, sahabatnya. Meskipun mereka satu kelas, tidak ada keakraban diantara mereka.
"Na?"
"Eh, iya. Kenapa, Re?"
"Lo masih bersahabat, kan, sama Salsa?" tanya Reina dengan menatap Alena.
Alena menggeleng pelan, "Maafi gue, Re. Gara-gara gue, lo sampai pindah sekolah."
"Maksud lo?" bingung Reina menatap Alena dengan menaikkan alisnya.
"Pas gue sama senior ... lo salah paham, Re."
"Gue tau, kok. Dan gue pindah bukan karena itu," ujar Reina yang membuat Alena sedikit terkejut.
"Maksud lo?"
"Gue pindah karena kerjaan bokap, dan gue nggak sempat buat pamit ke kalian semua," jelas Reina membuat Alena terdiam mematung.
"Jadi ..."
Reina mengangguk. "Soal senior, awalnya gue emang kecewa sama lo, tapi—"
"Maaf, Re"
"Tapi Dion ngasih tahu yang sebenarnya, semuanya dia ngomong itu ke gue."