Chereads / BE THE LIGHT / Chapter 14 - Masalalu Ryota

Chapter 14 - Masalalu Ryota

"Gue tau, kok. Dan gue pindah bukan karena itu," ujar Reina yang membuat Alena sedikit terkejut.

"Maksud lo?"

"Gue pindah karena kerjaan bokap, dan gue nggak sempat buat pamit ke kalian semua," jelas Reina membuat Alena terdiam mematung.

"Jadi ..."

Reina mengangguk. "Soal senior, awalnya gue emang kecewa sama lo, tapi—"

"Maaf, Re"

"Tapi Dion ngasih tahu yang sebenarnya, semuanya dia ngomong itu ke gue."

Alena kembali terdiam, dan berpikir, kenapa Dion melakukan hal ini? Saat itu bahkan Alena belum dekat dengan Dion.

"Sekali lagi, maaf, Na. Udah salah paham sama lo selama ini," sesal Reina.

"Iya—"

Ucapan Alena terhenti ketika merasakan ponselnya bergetar lebih lama, satu telepon dari dokter Ryota membuat matanya terbelalak. Gadis itu sepertinya lupa kalau ia ada pemeriksaan dengan dokter Ryota, dokter yang tidak suka pasiennya tidak tepat waktu.

Tangannya menepuk keningnya pelan. "Gue harus pergi. Sampai jumpa!" pamit Alena dengan tergesa-gesa. Belum Reina menjawab, gadis itu langsung pergi meninggalkannya sendiri di taman.

Reina hanya menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya yang tak pernah berubah, ia juga merasa bersalah karenanya Alena dibenci oleh Salsa, dan tidak mempunyai teman. Rasanya Reina ingin pindah ke sekolah itu lagi dan berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.

***

Alena sedikit berlari di koridor rumah sakit, meskipun sudah di peringati oleh suster agar tidak berlari di koridor karena akan mengganggu pasien lainnya. Bukan Alena namanya kalau tidak keras kepala, gadis itu merasa kalau dirinya akan di ceramahi oleh dokter Ryota. Benar-benar menyebalkan!

Sesampai di ruang dokter Ryota, Alena langsung membukanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ryota terlihat terkejut, dan menggelengkan kepala saat melihat kedatangan Alena. Sedangkan gadis itu hanya menyengir melihat Ryota yang menghela napas panjang.

"Ke mana aja kamu, hm?" tanya Ryota.

Alena hanya menggigit bibir bawahnya sambil duduk di hadapan Ryota, Alena melihat seisi ruangan itu. Terlihat rapi, juga bersih. Hiasan foto yang keluarganya yang membuat Alena mengembangan senyuman.

Ini adalah pertama kalinya ia masuk di ruang dokter Ryota langsung, karena biasanya ia hanya masuk di ruang pemeriksaan saja. Ryota yang melihat raut wajah Alena yang terlihat senang itu menaikkan alisnya.

"Kau kenapa? Kok kelihatan lagi bahagia?" tanya Ryota yang menatapnya.

"Aku? Nggak ada apa-apa, kenapa memangnya?"

"Biasanya wajahmu terlihat muram, dan itu kenapa rambut kamu di kepang lagi? Bukankah kemarin udah sepakat untuk merubah penampilan mu itu?"

"Ah, dokter bisa aja. Hm, aku masih kurang percaya diri untuk melepas kepangan ku ini," sahut Alena dengan tersenyum tipis.

Alena menangkap foto yang terpajang di meja Ryota anak yang berusia enam tahun. Foto itu terlihat menggemaskan, anak kecil yang menangis minta di gendong lalu di foto. Benar-benar menggemaskan.

Tak banyak yang tau kalau Ryota sudah menikah, karena dia terlalu sering menghabiskan waktu di rumah sakit. Bahkan, dia tinggal di asrama rumah sakit. Kadang juga ke apartemen miliknya.

Alena terus mengamati anak kecil itu, wajahnya tidaklah asing baginya. Alena seperti pernah melihat wajahnya itu.

"Itu namanya Dion, anak saya," kata Ryota memberi tahu pada Alena.

Alena membuka matanya lebar, mungkin kah ini Dion, Kakak Rei?

"Nggak penting, yang terpenting gue benci sama dia!" ucapan itu terlintas di pikiran Alena, juga raut wajah Dion yang tiba-tiba muram masih Alena ingat dengan jelas.

"Lucu, Dok. Imut wajahnya, dia ini umur lima tahun kan?" tanya Alena.

Wajah Ryota berubah menjadi sedih, ia membalikkan kursinya dan berdiri seraya melangkah ke jendela. Napasnya yang berat masih terdengar oleh Alena.

Apa benar anak kecil itu Dion yang ia kenal? Pikir Alena.

"Lucu, dok. Imut wajahnya, dia ini umur lima tahun kan?" tanya Alena.

Wajah Ryota berubah menjadi sedih, ia membalikkan kursinya dan berdiri seraya melangkah ke jendela. Napasnya yang berat masih terdengar oleh Alena.

"Mungkin, Dion sudah seusia kamu," ujar Ryota menoleh ke Alena.

"Dion …."

"Ada apa? Kamu kenal Dion?"

Alena hanya mengangguk kecil.

"Dia baik-baik saja, kan?" tanya Ryota yang berjalan mendekati Alena.

"Dion itu dingin orangnya, tapi sebenarnya dia baik. Dia sayang banget sama Rei," kagum Alena dengan tersenyum pada Ryota.

"Sejak dulu dia memang seperti itu," ucap Ryota.

"Apa hubungan dokter dengan Dion tidak baik?"

Ryota menghela napas kasar, bertahun-tahun Ryota selalu menatap keluarganya dari foto saja, dan selama itu tidak ada yang tahu tentang masalahnya.

"Saya udah cerai sama istri saya, Mama Dion."

Ryota sudah cerai dengan Ratna – Mama Dion – beberapa tahun lalu.

Alena pun terkejut, ternyata Papa yang di benci olehnya adalah dokter Ryota. Orang yang sangat berjasa di kehidupan Alena. Gadis itu mengerutkan keningnya, "Kenapa, Dok? Kenapa bisa cerai? Apa dokter tidak menyayangi istri dokter?" tanya Alena yang terlontar begitu saja.

Ryota menggeleng lemah, "Tidak begitu, Na. Saya sangat menyayangi mereka, hanya saja…. Saya tidak bisa apa-apa saat itu," sahut Ryota dengan penuh penyesalan.

"Ma-maksud, Dokter … Dokter se—"

"Tidak, Na. Saya tidak pernah selingkuh dengan siapapun, saya sangat menyayangi istri saja, juga Dion," sahut Ryota dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Alena menatap mata Ryota dengan lekat, dan Alena dapat melihat keseriusan dalam mata sang dokter.

"Beberapa tahun lalu saya ada pasien yang menderita sakit kanker. Dan tugas saya sebagai dokter tidak hanya mengobati, tetapi juga menghibur pasien."

"Terus apa yang menyebabkan perceraian kalian?" tanya Alena yang memajukan kursinya untuk sedikit lebih dekat dengannya. Dokter Ryota menghela napas panjang,

"Saat itu, pasien saya meminta saya untuk memakai baju pengantin pria, saya melakukan itu karena itu adalah permintaan terakhirnya."

Ucapan Ryota kembali terhenti, sangat sakit ketika harus mengingat kejadian pahit itu. Kejadian yang membuatnya harus berpisah dengan keluarga yang ia cintai itu.

"Dan kebetulan saya ada janji sama Dion untuk datang di pentas seninya untuk melihat penampilan drama teater. Tapi saya tidak datang, karena ketika saya ingin datang tiba-tiba saja pasien collapse."

Alena sedikit terkejut mengetahui kebenaran itu semua, apa Dion salah sangka dan tidak mengetahui semua ini? Rasanya gadis itu ingin menyatukan keluarga mereka, Rei pun juga membutuhkan kasih sayang seorang Ayah.

"Saya sangat panik, saya pun masih mengenakan baju pengantin itu, dan pada akhirnya pasien saya sudah di panggil oleh sang kuasa. Jujur, saya terkadang kecewa dengan diri sendiri. Kenapa saya tidak bisa menyelamatkan dia? Dan di hari itu rasa kecewa saya bertambah, saya cerai dengan istri saya."

"Ketika saya kembali di ruangan saya, saya melihat Ratna, juga Dion. Dion sangat marah pada saya, Ratna pun juga kecewa dengan saya ketika saya mengenakan baju pengantin pria."

Tanpa Alena sadari air matanya keluar dengan sendirinya, tak di sangka kalau kehidupan dokter Ryota seperti itu. Alena merasa kagum dengan Ryota, ia terbukti setia. Karena selama itu ia tidak pernah menikah lagi.

"Ratna memaki-maki saya, saya pun hanya terdiam. Saya nggak tau harus berkata apa lagi, dan saya pikir, untuk apa menjelaskan sekarang? Ia sedang emosi, dan tidak mungkin mendengarkan penjelasan saya. Dia langsung pergi setelah mengatakan ingin bercerai."

Tangan Alena bergerak mengelus punggung Ryota, memberikan sedikit kekuatan untuknya. Alena pun sudah menangis karena terharu. Ternyata kehidupan memang kejam, dan tidak adil.

"Aduh, maaf. Gara-gara saya kamu nangis, ya udah ayo saatnya pemeriksaan," ujar Ryota yang menghapus air mata Alena. Alena pun hanya tersenyum malu, "Maaf, Dok, saya terbawa suasana," jujur Alena dengan menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu.

Tok… tokk….

"Masuk!" ucap Ryota yang sedikit kencang.

Seorang lelaki tampan masuk dengan kemeja putih, juga jas putih. Membuatnya semakin tampan, Alena pun terlihat terpukau dengan ketampanan orang itu.

"Ah, Lin Noah? Saya kira kamu datang besok, dijadwal besok, kan?" tanya Ryota memastikan lagi.

Noah hanya tersenyum, dan mengangguk. "Iya, Dok. Saya sengaja datang lebih awal untuk melihat-lihat saja, dan sengaja datang menemui dokter terlebih dahulu, agar besok tidak nyasar," ujarnya dengan ekspresi yang menahan rasa malu.

Ryota sedikit melirik Alena yang sedari tadi melihat Noah tanpa berkedip, Ryota pun menahan senyumnya dengan menggelengkan kepala, "Dasar anak muda, lihat yang bening seperti itu sampai tidak berkedip sedikitpun."

Ryota pun sengaja berdeham kencang, dan membuat Alena tersentak kaget. Gadis itu langsung menoleh menatap Ryota yang sedang menahan tawanya.

"Dokteerrr! Bikin kaget tau!" kesal Alena yang mengelus dadanya.

"Kalo ngelihatin dokter Noah sampai tidak kedip gitu! Tuh, liat, dokter Noah sampai takut denganmu!" bohong Ryota yang di ikuti dengan tawa saat Alena langsung menoleh ke Noah.

"Menyebalkan! Aku mau pulang aja!" marah Alena yang langsung berdiri. Namun, segera di tahan oleh Ryota.

"Bercanda, sayang! Perkenalkan, dia dokter Noah. Dokter magang di rumah sakit ini, dan kebetulan saya menjadi pembimbingnya," jelas Ryota memperkenalkan Noah, dokter magang.

"Oh, dokter magang. Berarti dia juga—"

"Tidak, jangan berharap yang terlalu tinggi, Alena. Kamu masih dalam pengawasan saya, dan tidak di ambil alih oleh dokter siapapun!" potong Ryota dengan tersenyum lebar. Alena langsung memajukan bibirnya.

"Oh, iya. Tadi kenapa kalian nangis? Habis menonton sinetron azab itu?" tebak Noah asal

Ryota dan Alena hanya terdiam, dan saling pandang. Beberapa menit kemudian, mereka tertawa dengan bersamaan.

"Apa? Sinetron azab? Hahahaha, di sini tidak ada televisi, jadi bagaimana bisa lihat!" kata Alena yang masih tertawa terbahak-bahak.

Ryota meredakan tawanya, ia langsung mengajak Alena untuk melakukan pemeriksaan. Sebenarnya, Ryota tidak yakin kalau ternyata Alena terkena leukemia stadium tiga, karena biasanya orang yang terkena di stadium tiga terlihat sudah lemah. Tidak dengan Alena, yang terlihat seperti orang sehat.

Satu jam berlalu, Alena telah berhasil melewati pemeriksaan. Alena kembali ke ruang Ryota untuk mengambil tasnya yang dia tinggal di sana.

Kebetulan di sana masih ada Noah yang sedang menunggu Ryota, Alena pun menghampiri Noah dengan bersemangat.

"Dok!" panggil Alena dengan tersenyum.

Noah yang sedang memainkan game di ponsel langsung terhenti, dan menoleh pada Alena. Ia tersenyum manis pada Alena, membuat Alena meleleh dengan senyuman itu.

"Ya ampun, dokter kenapa ganteng, si?" tanya Alena dengan heran. Noah hanya tertawa mendengar pertanyaannya.

"Dari lahir sudah dinobatkan menjadi pria tertampan," sahut Noah dengan tersenyum bangga. Alena hanya tertawa melihat wajah sombong Noah.

"Boleh, kan, ya, Dok, kalau dokter menggantikan dokter Ryo—"

"Tidak bisa semudah itu, Alena."

Mereka menoleh ke arah pintu dengan bersamaan, terlihat Ryota yang berjalan ke kursinya dengan melepas jas putihnya itu.

"Aku cuma bercanda dokter Ryota yang tampan, tapi …." ucapannya sengaja Alena gantung, dan membuat alis Ryota terangkat.

"Tapi?"

"Udah tua!" jawab Alena yang diikuti dengan tertawa terbahak-bahak, Noah yang mendengar itu juga sedikit tertawa dengan ejekkan Alena.

"Udah jam setengah tujuh, Alena harus pulang!" pamit Alena yang langsung berjalan cepat keluar dari ruang Ryota.

Ryota tersenyum tipis melihat Alena yang bersemangat seperti itu.

"Dia sudah biasa ke sini ya dok?" tanya Noah.

"Ini pertama kali dia masuk di ruangan saya."

"Dia terlihat sangat ceria, dia sakit apa dok?"

"Leukemia."