"Aduh, lepasin!"
Dion langsung melepaskan tarikannya, mereka sudah sampai di rooftop Sekolah. Tempat favorit mereka berdua.
Dion berdecak kesal, "Lo lama banget si! Gue udah nungguin lo dari tadi!"
"Ya, maaf. Gue tadi ngumpulin buku dulu di ruang guru, terus abis itu mau ke kantin beli nasi, dan langsung ke sini. Lo sendiri tumben nungguin gue?" tanya Alena dengan heran.
"Gu-gue udah beli ini buat lo," ucap Dion dengan menenteng plastik yang berisikan dua kotak nasi. Alena tersenyum lebar, ia mengambil plastik itu, dan membukanya.
"Buat gue? Yuk makan bareng!" ajak Alena yang langsung duduk.
Kebetulan sekali perut Alena sudah sangat lapar dan memerlukan asupan. Dion langsung duduk di samping Alena, dan mengambil nasi itu. Alena langsung menyantap nasi itu, begitu juga dengan Dion yang menikmati nasi itu.
***
Zee baru saja membeli satu bungkus nasi goreng, dia berniat untuk makan di kantin. Namun, ia mengurungkan niatnya karena bangku kantin sudah terisi semua. Zee pun jadi membayangkan Alena makan bersama cowok tadi, apa mereka sedang bermesraan sekarang?
Zee masuk ke dalam kelas, dan tak sengaja melihat cewek yang tengah menatapanya dengan menyeringai. Zee sendiri mengabaikan, ia langsung duduk di bangkunya.
Cewek itu Alina, ia seperti mempunyai rencana yang sudah tersusun dengan rapi. Alina sendiri tidak akan tinggal diam ketika Alena mempunyai teman.
Zee yang merasa terus diamati tetap mengabaikan, tangannya membuka bungkusan nasi itu, dan langsung menyantapnya dengan lahap. Ia juga sudah membeli segelas es teh.
Alina berjalan menghampiri Zee yang tengah menyantap nasi goreng, tangannya menggebrak kan meja itu dengan kencang membuat Zee terlonjak kaget. Dia yang tersedak langsung meneguk es teh itu sampai tersisa setengah.
"Bisa enggak si santai aja?" tanya Zee dengan nada dingin.
"Nggak! Gue peringati ya sama lo, lebih baik lo jauhi Alena! Anak pembawa sial itu!" ketus Alina.
"Pembawa sial? Gue rasa itu lo sendiri!"
Alina membuka matanya lebar dengan melotot, "Maksud lo apa?!" tanya Alina dengan meninggikan badan bicaranya.
Brak!
Zee menggebrakkan mejanya, "Gue tadi sama Alena damai-damai aja tuh! Giliran sama lo, gue kesedak! Siapa di sini yang pembawa sial?!" tanya Zee dengan membentak.
"Eh, lo anak baru! Berani ya sama ngebentak Alina?! Lo nggak tau siapa Alina?!" tanya Nisa -- Sahabat Alina – yang berjalan ke depan. Tangannya berkacak pinggang dengan melotot.
"Gue enggak tau siapa Alina! Yang gue tau itu, dia adalah hama! Harus dimusnahkan!" ketus Zee sarkas.
"Heh! Jaga omongan lo! Gue udah baik-baik ya sama lo!" marah Alina mendorong tubuh Zee. Untung saja Zee langsung memegang meja yang di belakangnya, sehingga dia tidak terjatuh.
"Baik-baik?! Lo nyuruh gue ngejahui Alena, lo bilang baik-baik?! Buka mata lo! Buta?!"
Beberapa murid yang baru saja dari kantin terlihat bingung melihat Zee yang berani menantang Alina, padahal status Zee adalah murid baru di kelas ini. Kenapa dia membangunkan singa tidur?
"Heh, murid baru! Lo itu nggak tau siapa Alena! Dia itu—"
"Justru gue murid baru, gue berhak berteman sama siapa aja! Lo nggak berhak ngatur hidup gue!" ketus Zee sambil membereskan kotak nasi itu yang masih tersisa. Tiba-tiba saja napsu makannya berkurang.
Benar dugaan Zee, Alena dijauhi oleh temannya bukan karena mereka tidak mau berteman dengannya, ataupun rumor yang tidak jelas. Hanya saja, mereka sudah diancam oleh Alina.
Zee berjalan keluar membuang kotak nasi itu. Namun, tangannya di tahan oleh seseorang.
Orang itu adalah Salsa, sahabat Alena. Dulu.
"Ngapain? Lepasin!"
"Jahui Alena, atau lo bakal kecewa sama dia nanti!" ujarnya yang langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Zee sudah melihat name tag yang tertempel di seragamnya, dia akan bertanya pada Alena langsung.
Baru saja di pikirkan, Alena muncul dan berjalan ke kelasnya, pipinya terlihat yang sedikit lebam. Namun, Alena tampak biasa saja. Tidak merintih, ataupun menangis. Zee yang melihat itu langsung menghampiri Alena dengan cemas, dia melihatnya pipi Alena dengan lekat. Langkah Alena terhenti dengan menatap Zee.
Alena tersenyum samar, dia dapat melihat dengan jelas wajah Zee yang tampak khawatir. Kenapa dia khawatir? Padahal Zee baru saja kenal Alena beberapa jam yang lalu.
"Pipi lo kenapa?" tanya Zee mengangkat sedikit kepalanya.
"Nggak apa-apa, tadi jatuh," alibi Alena dengan tersenyum paksa. Zee mulai curiga dengan Alena, kenapa setiap kali dia tanya lukanya selalu saja di jawab kalau dia habis jatuh? Zee mengabaikan jawaban Alena, dan merangkulnya masuk ke dalam kelas.
Bukannya Zee tidak peduli, ia justru sangat peduli. Dia akan mencari tahu semua ini tanpa sepengetahuan Alena. Meskipun dia kenal dengan Alena beberapa jam yang lalu, gadis itu yakin kalau Alena anak yang baik.
•••
Bel pulang sudah berbunyi lima belas menit yang lalu, hanya saja Alena masih berdiri di depan gerbang untuk menunggu angkutan umum.
Zee mengklakson mobilnya, dan membuat Alena menoleh. Zee melambaikan tangannya sambil tersenyum, "Na, mau bareng nggak?" tanya Zee.
Alena hanya menggeleng, "Nggak, Zee."
"Oh, okay. Gue duluan ya, Na!" pamit Zee melajukan mobilnya kembali. Alena mengangguk, dan melihat mobil Zee sampai berbelok ke arah pertigaan.
"Heh! Nggak taunya di sini! Gue udah tungguin lo di parkiran lama!" omel seorang cowok yang keluar dengan motor besarnya.
Alena tersentak kaget, dan langsung menoleh ke belakang. Melihat wajah Dion yang muram membuat Alena menaikan alisnya, "Emang pulang bareng? Kapan lo ngomong gitu?" tanya Alena yang mengingat kejadian tadi pagi.
"Buka ponsel lo!"
Dengan cepat Alena membuka tasnya, dan mengambil ponselnya. Alena hanya tersenyum kikuk saat membaca satu pesan darinya yang menyuruh untuk ke parkiran saat pulang.
"Ma-maaf, kan lo juga tau kalau gue itu jarang buka ponsel!" protes Alena yang memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Ya udah, buruan naik!" titahnya sambil menyodorkan helm. Alena mengangguk, dan mengambil helm itu. Ia langsung naik ke motor Dion. Cowok itu pun langsung melajukan motornya menuju ke arah rumah sakit.
Alena sendiri terlihat bingung. Ralat, Alena berpura-pura bingung karena Dion melajukan motornya ke arah rumah sakit.
"Kita ke rumah sakit?" tanya Alena.
"Iya, Rei kangen sama lo."
Alena tersenyum, "Oh, gitu."
Dion hanya terdiam, dan fokus untuk mengendarai motornya. Tidak ada percakapan diantara mereka saat ini, Alena mengamati pemandangan kota yang sedikit ramai.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sudah sampai di rumah sakit. Mereka membeli buah terlebih dahulu, dan langsung menuju ruangan Rei. Alena sendiri juga kangen dengan anak itu.
"Eh, gue mau nanya deh," ucap Alena yang memecahkan keheningan. Dion menoleh sekilas, dan kembali menatap lurus ke depan.
"Tanya apaan?"
"Rei itu … sakit apa?"