Chereads / BE THE LIGHT / Chapter 11 - Hidup lo nggak akan pernah bahagia!

Chapter 11 - Hidup lo nggak akan pernah bahagia!

Baru saja tidur dua jam mata Alena kembali terbuka, perutnya yang terasa sangat perih membuat tidur gadis itu tidak nyenyak.

Alena melihat jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi, gadis itu menghembuskan napasnya dan memilih untuk duduk. Dia sedikit menekan perutnya dan berjalan gontai ke kamar mandi untuk mandi.

Hanya tiga puluh menit, Alena sudah rapi dengan seragamnya, kepangan rambutnya, dan kacamata-nya.

Alena mengambil buku milik Alina, dan berjalan ke bawah menuju kamar Alina untuk memberikan buku tugasnya.

Gadis itu meletakkan bukunya di nakas meja, dan langsung keluar. Ia berjalan ke dapur untuk memasak untuk mereka semua. Meskipun tubuh gadis itu sendiri terasa sangat lemas.

Lima belas menit Alena sudah selesai dengan empat piring nasi goreng. Ia langsung membawanya ke meja makan, Alena tersenyum tipis melihat seisi ruangan yang rapi, juga bersih.

Alena berjalan kembali ke kamarnya, dia melewati kamar Kevan yang sedikit terbuka. Langkahnya terhenti dan sedikit mengintip dari celah pintu. Terlihat Kevan yang tertidur pulas dengan selimut yang sudah terjatuh dari kasur, Alena menggeleng pelan dengan tersenyum tipis.

Alena membuka pintu itu dengan perlahan, ia berjalan pelan-pelan agar Kevan tidak terganggu dengan suara langkahnya. Alena mengambil selimut itu, dan menyelimuti sampai perutnya. Alena tersenyum melihat wajah Kevan yang sangat tampan itu.

Setelah puas melihat wajah Kevan, Alena berjalan keluar, dan kembali ke kamarnya untuk merapikan tempat tidurnya.

Kevan membuka matanya perlahan, untuk memastikan kalau Alena sudah benar-benar keluar dari kamarnya. Sebenarnya, Kevan sudah bangun sejak pukul lima, selimutnya yang terjatuh karena tidak sengaja ia tendang. Namun, ketika mendengar suara langkah kaki, cowok itu kembali memejamkan matanya.

Kevan sangat senang ketika Alena masuk ke dalam kamarnya, karena selama di rumah mereka tidak pernah mengobrol. Jangankan mengobrol, bertegur sapa pun tidak pernah.

***

Pukul enam pagi, Alena sudah sangat rapi. Sepatu putih yang sudah ia pakai, rambut terkepang rapi, juga tas yang sudah ia kenakan.

Alena menghela napas panjang, ia berjalan keluar kamar dengan langkah berat. Sebelum turun ke bawah, ia melihat mereka dari atas. Ia menikmati masakan yang Alena buat.

Alena berjalan turun dengan langkah perlahan, kepalanya sedikit menunduk. Kevan yang melihat Alena langsung menyapanya.

"Pagi, Na! Ayo sarapan bareng!"

Langkah Alena terhenti, ia membalikkan badannya melihat Kevan yang tersenyum padanya. Namun, saat matanya melirik ke kedua orangtuanya. Semua terlihat sangat dingin, dan tatapan mata yang tajam.

"Pagi, Kak. Enggak, Kak. Alena enggak lapar," bohong Alena dengan tersenyum.

"Iya, lah! Alena enggak pantes makan masakan Kak Kevan!" timpal Alina dengan tersenyum miring melirik Alena.

"Lin! Jangan begitu, ini tuh yang masak—"

"Apaan sih, Kak! Mau bilang ini masakan cewek cupu itu?"

"Mana mungkin dia bisa masak seenak ini? Lagian dia kan orangnya pemalas, buktinya jam segini baru keluar kamar!" sarkas Meika dengan.

"Mah! Ini itu—"

"Udah lah, Kevan! Diam saja kamu!" sentak Taniel menatap tajam Kevan.

Kevan menghela napas, dia benar-benar lelah dengan keluarga yang buta dengan segalanya.

"Udah kak, Alena berangkat dulu ya!" pamit Alena dengan yang langsung berjalan keluar.

***

"Kak! Itu Kak Alena, kan?" tanya Rei dengan menunjuk seseorang dengan rambut kepang dua yang berjalan dengan sedikit lemas.

Dion langsung melihat dari jendela, ia mengerutkan keningnya. Bukankah itu cewek yang ia temui di ruang guru, juga UKS?

"Kak?" panggil Rei lagi.

Dion tersadar dari lamunannya, dia meminggirkan mobilnya, dan terhenti di sana.

Saat itu, tubuh Alena sudah sangat lemas, kepalanya yang terasa sedikit berat membuat langkahnya terhenti. Tangannya memijat pelipisnya untuk meminimalisir rasa pusingnya.

Tubuhnya yang berjalan terjatuh ke belakang. Namun, dengan cepat Dion menangkap tubuh Alena.

Alena tersentak kaget dan langsung berdiri dengan bantuan Dion.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Dion melihat wajah Alena. Sedikit pucat dari biasanya.

"Enggak apa-apa kok, maaf."

Dion mengangguk kecil, ia menoleh ketika Rei memanggil namanya dengan kencang.

"Kak Alena, ayo barenggg! Nggak apa-apa, kan, Kak Onn?" teriak Rei dengan suara lucunya.

Alena baru menyadari kalau rambutnya berbeda dengan kemarin, kenapa Rei bisa mengenalinya?

Dion tersenyum canggung, dengan menggaruk lehernya yang tak gatal itu.

"Maaf ya, Rei emang suka gitu," ucap Dion yang tak enak dengan Alena.

"Kita satu sekolah, tapi gue nganterin tuh bocah dulu. Baru kita ke sekolah, gimana?" tanya Dion lagi.

"Nggak perlu, gue ke sekolah sendiri aja."

"Ck! Ayolah! Kalo karena bukan, Rei, gue juga ogah mohon-mohon gini!" ajaknya yang sudah mulai kehabisan kesabaran.

Alena menghela napas panjang, "Oke."

Dion mengembangkan senyumnya, ia berjalan lebih dulu, di ikuti Alena di belakang. Rei bersorak senang melihat Alena yang masuk ke dalam mobilnya.

Mobil Dion melaju dengan kecepatan normal, dia melihat Rei yang lebih bersemangat dari biasanya ketika ada kehadiran Alena. Ia tersenyum senang ketika Rei tertawa lepas, kebahagiaan Dion sangatlah sederhana, melihat Rei tertawa seperti itu sudah sangat cukup.

"Belajar yang benar! Awas kalo kakak dengar kamu bikin masalah!" pesan Dion dengan tegas. Rei hanya menjawab dengan satu anggukan.

"Bye, Rei! Belajar yang benar ya! Biar pintar," ujar Alena dengan mengelus rambut Rei.

Rei tersenyum lebar, dengan satu anggukan yang semangat, "Iya, Kak! Aku pasti belajar yang benar! Biar pintar kayak Kak Len!" sahut Rei dengan semangat.

Dion yang mendengar itu langsung berekspresi datar, ia mencubit pelan pipi tembam adiknya itu. "Heiii, gue ini kakak lu bocaahh. Kenapa pas gue ngomong lu cuma diem aja?" geram Dion pada Rei yang menggemaskan itu.

Rei hanya menyengir sambil menjulurkan lidahnya, "Kakak cemburu? Cie!" ejek Rei dengan tersenyum lebar.

***

Setelah menghantarkan Rei, mobil Dion melaju ke sekolah. Semua siswi bersorak dengan memuji ketampanan Dion, juga beberapa ada yang menyodorkan bekal dari jendela mobil Dion.

Dion, memang cowok populer dengan wajah yang tampan, juga sedikit dingin. Dia tak pernah mau berbicara dengan siapapun dengan orang yang tidak dia kenal.

Alena tertawa kecil, "Berasa artis, kan, kamu?"

"Nggak," jawabnya dingin.

"Makasih, ya," ucap Alena.

"Lo—"

"Ngobrolnya ntar aja deh ya," ucap Alena seraya berjalan keluar.

Sorakan itu seketika terhenti, mereka semua menatap Alena dengan tatapan tak suka. Suara bisik-bisik pun mulai terdengar, Alena hanya diam dan menghiraukan perkataan mereka semua.

Alena berjalan masuk ke koridor sekolah menuju kelasnya. Ketika sampai di kelas, dia langsung duduk di bangkunya, gadis itu hanya diam di kelas, karena tidak ada yang mengajaknya ngobrol.

Tiga puluh menit kemudian, bel masuk berbunyi dengan nyaring. Semua murid langsung berlari masuk ke kelas mereka masing-masing.

Guru pun mulai memasuki kelas, Alena langsung mengeluarkan buku pelajarannya. Guru itu mulai menerangkan materi setelah doa bersama selesai.

Alena mencatat materi yang penting, juga catatan di papan tulis. Tidak dengan Alina, dia terus menatap Alena dengan tajam. Ia masih tidak terima karena Alena bersama dengan Dion.

"Awas aja lo, Na. Hidup lo nggak akan pernah bahagia!"