Chereads / BE THE LIGHT / Chapter 10 - Kenapa Dunia Tidak Adil? 

Chapter 10 - Kenapa Dunia Tidak Adil? 

"Kakak namanya siapa? Kemarin belum di kasih tau," tanya Rei duduk di samping Alena.

Alena tersenyum. "Nama kakak Alena. Oh iya, kamu ke sini sama siapa?"

"Sendirian, Kak! Abis aku kesel, Kak Dion di bangunin nggak bangun-bangun! Padahal aku bosan di rumah!" marah Rei yang terlihat menggemaskan.

Alena tertawa kecil, ia sangat gemas dengan wajah Rei ketika cemberut. Pipinya yang tembam menambah Rei semakin lucu.

"Nanti kakak kamu nyariin loh!"

"Nggak mungkin! Kakak kan masih—"

"Masih apa, hm?" sahut seseorang dari belakang yang membuat mereka tersentak kaget.

Melihat Dion yang sudah berdiri di belakang, Alena menoleh dengan tersenyum tipis. "Oh, jadi nama dia Dion?" ujarnya dari dalam hati.

"Iya, gue Dion. Kenapa?" tanya Dion menatap Alena dengan mengerutkan keningnya.

Alena pun juga terkejut ketika Dion bisa mendengar isi hatinya.

"Kenapa dia bisa tau isi hatiku?" tanya Alena dari dalam hati.

"Tau lah! Gue kan orang pintar!" sahutnya lagi.

Alena menoleh pada Dion yang tersenyum tipis.

"Rei, ayo pul—"

Ucapan Dion terhenti ketika melihat banyak tisu dengan bercak darah yang ada di kursi itu. Wajahnya tiba-tiba khawatir dengan menatap Rei lirih.

"A-anu, maaf ya. Rei ini memang suka mimisan," ucap Dion yang meminta maaf pada Alena, sedangkan Alena terlihat bingung.

"Maaf, ini punya saya. Rei enggak mimisan kok," kata Alena dengan melihat Dion.

Dion menghela napas lega.

"Itu darah kakak?" tanya Rei dengan menunjuk kaos Alena.

"Kakak juga sering mimisan, kamu juga?" tanya Alena dengan sangat lembut.

Ren mengangguk. "Samaan, Kak!"

"Lo sakit?" tanya Dion melihat Alena.

"E-eh, eng-enggak kok," bohong Alena.

Dion mengangguk paham, "Ayo pulang, Rei! Mama udah khawatir banget sama kamu!" ucap Dion menatap Rei yang memelas.

"Aku bosan!"

"Ya udah, enggak jadi beli mainan nih?" tawar Dion dengan menggoda.

Rei langsung sumringah mendengar beli mainan baru, ia langsung pamit pada Alena, dan menarik tangan Dion untuk pulang. Alena tertawa kecil melihat tingkah mereka yang semakin tak terlihat.

Alena mengambil tisu itu dan membuangnya ke tempat sampah, dia kembali berjalan ke rumahnya.

"Dari mana kamu? Itu pekerjaan kamu di belakang banyak!" tanya Meika dengan menatap tajam Alena.

"Maaf, mah."

Meika berdecak kesal dan pergi meninggalkan Alena yang masih terdiam dengan kepala menunduk.

"Len!" panggil Kevan yang baru saja keluar kamar.

"Eh, iya, Kak. Ada apa?" tanya Alena dengan menutupi bercak darah yang ada di kausnya.

"Hari ini kamu senggang nggak?" tanyanya menatap Alena lekat.

Alena tampak berpikir, sebenarnya ia mau. Hanya saja, tubuhnya yang terasa lelah, juga ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah.

"Maaf, Kak. Alena mau sih sebenarnya, tapi Alena lagi banyak tugas," alibi Alena dengan tersenyum tak enak pada Kevan.

Kevan mengangguk paham, "Baiklah, next time!"

Kevan sedikit kecewa karena ajakannya yang di tolak, dia menatap Alena yang memang terlihat sedikit pucat. Tangan Kevan bergerak mengangkat kepala Alena, "Kamu sakit?" tanya Kevan yang terlihat mulai cemas.

"Ah, nggak kok. Pusing aja sedikit, Alena mau nyuci baju dulu ya kak!" pamit Alena yang segera bergegas ke arah dapur.

Kevan menyadari sesuatu, kaos Alena terlihat ada bercak darah. Ia teringat pada tingkah Alena yang berusaha menutupi bercak darah itu, Kevan segera menggeleng kepalanya cepat, dan mencoba berpikir positif. Bisa saja itu hanya noda dari pewarna, karena Alena memang hobi melukis.

•••

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Alena berdiri di belakang pintu dapur mengamati keluarga yang dia sayangi sedang makan malam, dan obrolan santai. Mereka terkadang mereka tertawa bersamaan.

Alena menatap sedu keluarganya itu, ia juga menatap seisi dapur, juga piringnya yang ia pegang masih bersih.

Ini adalah kehidupan Alena, kehidupan pahit yang Alena alami selama ini. Menunggu sisa makanan dari mereka, dan makan di dapur sendirian. Tidak ada teman, saudara, orang tua yang selalu ada untuknya.

Dua minggu yang lalu, pembantu rumah sudah di pecat oleh Meika tanpa ada alasan. Yang Alena ingat adalah, Meika sengaja memecat pembantu itu agar tidak mengeluarkan uang untuk membayar pembantu, karena ada Alena yang bisa menggantikan pembantu itu.

Pukul setengah delapan, satu persatu mereka berjalan meninggalkan ruang makan. Tidak ada siapapun lagi yang ada di sana, semuanya sudah masuk ke kamarnya masing-masing.

Alena berjalan pelan menghampiri meja makan itu, dan duduk di tempat duduk milik Kevan.

Asal kalian tahu saja, di meja makan hanya ada empat kursi. Kursi untuk Taniel, Meika, Alina, dan Kevan, itu saja. Sangat miris, bukan?

"Heh! Ngapain kamu duduk disitu? Kamu lupa? Kamu makan di dapur, sana!" ketus Meika.

Alena kembali berdiri dengan menundukkan kepala, dia mulai mengambil piring-piring kotor itu, dan sayangnya tidak ada lauk, atau bahkan nasi yang tersisa. Sangat malang nasib Alena malam itu, Alena belum makan sejak pagi, tapi semua lagi-lagi harus dia tahan.

"Maaf ya, makanannya habis," ucap Meika dengan tersenyum miring, dan pergi meninggalkan Alena sendirian di sana.

Alena tersenyum miris melihat semua ini, ia mulai merapikan meja makan, dan membawa piring, juga beberapa mangkuk yang kotor itu ke dapur.

Air matanya yang keluar tanpa di minta itu membuat Alena tersadar, sekarang dirinya menjadi gadis yang lemah. Lemah untuk segala hal.

Selesai mencuci piring, Alena meminum seteguk air putih untuk sedikit mengurangi rasa laparnya.

Dia kembali berjalan ke kamarnya, dan duduk di kursi belajarnya. Alena membuka buku tugas itu dan segera menyelesaikannya.

Ceklek!

"Na, kerjain tugas gue dong! Nih! Awas ya lu kalo nggak ngerjain tugas gue!" ketus Alina yang melempar buku tugas itu.

Alena mengangguk pelan, dan mengambil buku itu. Alina langsung keluar dari kamar Alena dengan membanting pintu kamar.

"Semoga kamu cepat berubah ya, Lin. Aku sayang banget sama kamu. Maafkan aku, Lin, kalau aku ada salah sama kamu," lirih Alena.

Alena rasa, ia tidak mampu untuk membuat kenangan bersama dengan keluarganya. Dia tak bisa meluluhkan hati mamanya, apanya, bahkan kembarannya sendiri.

Dan mungkin ...

Setelah Alena tidak ada lagi di dunia ini, keluarganya itu merasa senang karena tidak ada anak pembawa sial ini. Pikirnya.

Alena berjalan mendekati jendela, ia membuka jendela itu membiarkan angin malam yang masuk. Gadis itu memejamkan matanya, merasakan angin yang berhembus kencang.

Kenapa dunia tidak adil?

Kenapa kehidupan ini selalu terasa pahit?

Apa memang hidup itu seperti ini? Selalu merasakan kepahitan, dan tidak pernah merasakan kebahagiaan sedikitpun.

Alena pikir, kehidupan di dunia ini sangatlah indah, selalu bahagia dengan keluarga, sahabat. Tapi, semua itu salah. Kehidupannya sangatlah berat, penuh kepedihan, juga sangat pahit. Tidak ada keluarga, tidak ada teman yang selalu mendukungnya.

Hanya diri sendiri yang menjadi penyemangat.

Tanpa Alena sadari, Kevan melihat Alena dari balik pintu dengan miris. Ia sangat miris dengan kehidupan yang Alena jalani, Kevan sangat ingin selalu ada di samping Alena. Tapi keadaan bertolak belakang.