Chereads / BE THE LIGHT / Chapter 6 - Pertemuan Awal

Chapter 6 - Pertemuan Awal

"Na, maafin aku. Gara-gara aku, kamu..."

"Enggak apa, Kak, emang salah ku." Alena menghapus air matanya dan berlari meninggalkan Ren.

Alena masuk ke dalam kelas, ia melihat Reina yang menatap tajam ke arahnya. Alena berjalan mendekati Reina dan Salsa. Reina langsung beranjak dan berjalan cepat meninggalkan kelas, Salsa menggelengkan kepalanya pelan. Alena menatap punggung mereka dengan perasaan bersalah.

***

Sudah seminggu lebih Reina tidak masuk sekolah, Alena menatap bangku Reina yang kosong. Ia ingin sekali menjelaskan kesalahpahaman ini.

"Reina keluar dari sekolah ini," ujarnya berdiri di depan Alena, ia tersenyum menyeringai dengan tatapan mata yang sangat tajam.

"SEMUA INI GARA-GARA KAMU!"

"KAMU ITU PENGHIANAT! KAMU ENGGAK SADAR ITU?!" sentak Salsa menggebrak meja Alena. Air mata Alena keluar dengan sendirinya, ia menundukkan wajahnya.

"Kalian salah paham, aku bisa jelasin semua ini."

"SALAH PAHAM?! FOTO ITU UDAH TERBUKTI! PERCUMA KAMU JELASIN! SEMUA SUDAH TERLAMBAT!!" Salsa menendang meja Alena dan langsung berjalan meninggalkan kelas. Suasana kelas menjadi hening, semua menatap ke arah Alena.

Sejak saat itu, tidak ada yang mau berteman dengan Alena, semua orang semakin membuat fitnah tentang Alena, Alena hanya terdiam dan menjadi penyendiri di dalam kelas.

Flashback off

***

Alena berjalan dengan membawa tumpukan buku, membuat dirinya terasa sulit untuk berjalan. Bahkan itu membuatnya memiringkan kepalanya saat menuruni tangga. Alena tidak ingin dirinya jatuh dan mencium lantai. Hal yang sangat memalukan pikirnya.

Alena kini berada di depan ruangan guru, ia mencoba mengetuk lalu menarik engsel pintu. Tapi hal yang tak terduga terjadi, orang yang berada dari dalam membuka pintu dorongan kencang. Membuat tubuhnya terdorong oleh pintu.

Brak!

Semua buku yang Alena bawa terjatuh, berserakan di lantai. Alena pun ikut tersungkur, merasakan dinginnya lantai yang baru saja diciumnya.

Orang yang membuatnya jatuh pun tidak membantunya. Bisa Alena lihat lelaki itu masih berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan yang berada di kantong celananya, wajahnya sangat tampan dengan potongan rambut yang rapi, dan di tambah dia menatap Alena dengan tatapannya yang dingin.

"Lo ngapain tidur di situ?" tanyanya dingin.

Alena mengangkat tubuhnya dan menepuk-nepuk rok yang kotor terkena debu, ia mengambil kembali buku yang berserakan di lantai. Alena melihat lelaki itu dari bawah sampai atas.

Lelaki itu menaikkan alisnya dan juga menatap Alena. "Apaan si? Ngelihatin gue gitu banget!" tanyanya dengan nada dingin. Alena hanya terdiam, dia masih berdiri di hadapan lelaki itu.

"Bisa minggir gak? Aku mau lewat," ucap Alena yang sudah pegal dengan membawa tumpukan buku itu.

"Gimana mau minggir, lu ngalangin jalan gue!" sahutnya dengan ekspresi datar, Alena melangkahkan kakinya ke kanan. Lelaki itu langsung berjalan keluar dari ruang guru, Alena hanya menghela nafas panjang dan berjalan masuk ke ruang guru.

••••

Alena merenggangkan ototnya yang sedikit kaku, dan berjalan santai di koridor sekolah dengan melihat beberapa siswa sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler.

Seseorang menarik pergelangan tangan Alena dari belakang, Alena tersentak kaget dan yang membalikkan badannya dengan menepiskan tangan gadis itu.

"Ikut gue!" ucapnya dengan menekankan nadanya, dan kembali menarik tangan Alena. Alena meronta-ronta agar ia melepaskan cekamannya.

"Diem!" gadis ini berusaha menarik Alena yang terus meronta.

"Lepasin aku! Aku itu salah apa sama kamu?!"

"Lepasin aku! Aku mohon, lepasin!" Alena terus memohon pada gadis itu, tapi dia mengabaikan dan terus berjalan dengan menarik Alena.

"GUE BILANG DIEM, YA DIEM!" sentaknya semakin menguatkan genggamannya.

Gadis itu kembali diam dan terus berjalan sampai belakang sekolah yang sudah sepi, tidak ada siapapun disini.

Ia mendorong tubuh Alena ke tembok dengan kuat, kepala Alena terbentur oleh tembok. Alena mulai merasakan pening, tangan gadis itu menarik rambut Alena dengan kuat, refleks membuat Alena merintih kesakitan.

"Heh! Lo tuh bisa nggak sih jaga jarak sama Kak Kevan! Gue itu iri sama lo! Kenapa Kevan lebih peduli sama lo, ketimbang sama gue!"

Gadis itu adalah Alina, kembaran Alena. Ia terlihat sangat marah, tangannya mengepal, napasnya memburu. Alena hanya bisa diam, ia mengatur napasnya yang sesak.

"Heh! Kenapa diem aja?!" Alina mendorong bahu Alena dengan kuat.

"Kenapa kamu iri sama aku? Kamu itu sempurna, Lin. Kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau," ujar Alena memberanikan diri menatap Alina.

"Maksud lo?!"

"Kamu udah dapet kasih sayang orang tua, Lin. Kamu bahkan mempunyai banyak teman, dan apa yang kamu inginkan selalu terpenuhi! Sedangkan aku? Hanya siksaan yang aku dapatkan." Alena mengubah nada bicaranya, bisa di bilang suara Alena terdengar sangat lirih.

"Eh! Itu bukan urusan gue! Gue enggak mau tau! Lo enggak boleh deket-deket lagi sama Kevan!"

"Kenapa?! Cuma dia yang aku punya! Kenapa kamu juga—"

Plak!

Alina menampar pipi Alena dengan kencang, Alena memegang pipi yang memerah. Air matanya mengalir begitu saja. Alina tersenyum sinis.

"Cuma nangis yang bisa lo lakuin? Iya?!"

"Mau diteruskan atau lapor guru nih?" tanya seseorang membuat mereka langsung menoleh ke arah belakang.

Mata Alina membelalak melihat lelaki yang menatap tajam ke arahnya, wajahnya yang dingin menambah hawa menyeramkan.

Alina berdecak, ia langsung berjalan cepat meninggalkan Alena yang tengah menangis. Alena juga melihat wajah lelaki itu, dengan cepat Alena mengusap air matanya dengan kasar.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya yang berjalan mendekat. Alena hanya mengangguk pelan, kepalanya menunduk.

"Ck! itu pipi lu lebam. Ikut gue!" titahnya seraya berjalan lebih dulu, dengan ragu Alena melangkahkan kakinya di belakang badan lelaki itu.

Sesampai di UKS, Alena hanya berdiri di tengah-tengah pintu. Dia melihat lelaki itu mencari kotak K3. Alena merasa bingung dengan tingkah lelaki yang ada di depannya itu.

"Kenapa dia bisa tau aku di lorong belakang? Lorong belakang itu tidak pernah di lewati orang murid, bahkan guru." Begitulah isi pikiran Alena dengan menatapnya dari jauh.

"Sampe kapan lu diem disitu? Sampe sekolah ini ditutup?" tanyanya dengan nada dingin, Alena tersentak kaget, dan langsung berjalan mendekati lelaki itu.

"Duduk di brankar." Lelaki itu menunjuk bed yang kosong, dan Alena hanya menuruti perintahnya.

Lelaki itu juga duduk di disamping Alena, ia mulai mengompres luka Alena. Gadis itu merintih kesakitan ketika lelaki itu menekan lukanya dengan kapas.

"Aduh, sakit."

Lelaki itu hanya tersenyum miring, "Cuma bentar sakitnya, tahan," ucapnya dengan tersenyum. Ketika mendengar suara lelaki itu, Alena menatap dekat wajah lelaki itu, tanpa ia sadari pipinya berubah menjadi merah merona.

Meskipun penampilannya sedikit berantakan, juga wajahnya yang dingin datar, ia terlihat beda ketika tersenyum, hawa menyeramkan berubah menjadi nyaman, dia juga peduli di sekitarnya.

"Udah."