"Aduh, sakit."
Lelaki itu hanya tersenyum miring, "Cuma bentar sakitnya, tahan," ucapnya dengan tersenyum. Ketika mendengar suara lelaki itu, Alena menatap dekat wajah lelaki itu, tanpa ia sadari pipinya berubah menjadi merah merona.
Meskipun penampilannya sedikit berantakan, juga wajahnya yang dingin datar, ia terlihat beda ketika tersenyum, hawa menyeramkan berubah menjadi nyaman, dia juga peduli di sekitarnya.
"Udah."
Netra mereka bertemu satu sama lain, hanya sesaat. Alena langsung menundukkan wajahnya, sangat malu jika lelaki di hadapannya melihat pipinya yang sedang memerah.
Lelaki itu beranjak dari duduknya dan hendak berjalan. Namun, ia menoleh sekilas melihat Alena yang masih menunduk. Ia langsung melangkahkan kakinya keluar dari UKS.
"Ma-makasih," ucap Alena pelan setelah lelaki itu menutup pintu UKS, tanpa Alena ketahui lelaki itu masih bisa mendengar suara pelan Alena.
Lelaki itu tersenyum. "Apa dia orangnya? Semoga dugaan gue benar," gumamnya pelan sekilas melihatnya dari jendela.
***
"Jadi, siapa lelaki yang menolong mu?" tanyanya sambil memeriksa dengan stetoskopnya.
"Aku nggak tau namanya siapa, dia cowok yang dingin," sahutnya dengan mengingat kejadian tadi.
"Hmm, apakah pasien ku yang satu ini akan mengalami jatuh cinta?" tanya Ryota dengan nada bercanda, Alena hanya tertawa kecil.
Saat ini Alena berada di rumah sakit, ia hanya melakukan pemeriksaan rutin, dan memeriksa kepalanya yang terbentur keras di tembok. Alena juga sangat akrab dengan Ryota, sehingga ia tidak sungkan ketika bercerita. Namun, yang Ryota tidak tahu adalah masalah orang tuanya yang sangat membenci Alena.
Alena memang sering menceritakan masalah atau keluhannya. Namun, ia tidak pernah menceritakan masalah keluarganya.
"Mana mungkin ada orang yang suka kaya aku gini. Culun, penyakitan," ucapnya dengan nada miris.
"Nggak boleh kaya gitu dong. Kamu itu cantik, coba rubah penampilan mu itu," saran dokter Ryota membantu Alena untuk duduk.
"Aku harus bagaimana?" tanya Alena menatap Ryota, dokter tampan itu hanya tersenyum. Ia mengelus ujung kepala Alena.
"Bikin hidupmu lebih berwarna, Alena."
"Dokter yakin, kamu akan mengalami hal yang lebih menyenangkan. Cari kebahagiaan mu, atasi semua masalah mu. Dokter akan terus support kamu!" lanjutnya dengan tersenyum hangat.
Alena yang mendengar itu hanya tersenyum senang, tanpa ia rasa air matanya mengalir. Ia langsung menghapusnya dengan cepat.
"Kenapa kamu nangis?"
"Alena merasa dokter itu seperti ayah Alena sendiri. Bahkan, aku sudah lupa rasanya disayang sama mereka." lirihnya dengan menundukkan kepalanya.
"No! Mungkin ayah kamu sedang sibuk, Alena. Jadi dia tidak bisa mendengarkan masalah yang kamu hadapi ini, angkat kepala kamu. Kamu itu udah dokter anggap sebagai anak saya sendiri," ucap dokter Ryota mengangkat kepala Alena.
"Berarti aku boleh memanggil dokter itu Ayah?" tanyanya dengan ragu-ragu sambil tersenyum tipis.
"Kenapa tidak?"
Alena membuka matanya lebar, dia tersenyum lebar. Gadis itu langsung memeluk Ryota dengan erat. Ryota tersenyum, ia mencium kening Alena dengan lembut, tangannya mengelus ujung kepala Alena.
***
Kevan beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih. Ia tiba-tiba teringat sesuatu, dan mengurungkan niatnya untuk minum. Kevan melangkahkan kakinya berjalan menaiki anak tangga.
Tangannya membuka pintu itu. Nihil, pintu itu terkunci. Menandakan ia belum pulang, ia menghela nafas, dan berjalan kembali ke bawah menuju dapur. Ia mengambil gelasnya dan meneguknya sampai setengah gelas.
"Kenapa Alena belum pulang?"
Bola matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Kevan menghela nafas gusar.
"Apa Alena pulang telat?"
"Lin, kamu liat Alena?" tanya Kevan pada Alina yang sedang menonton televisi. Gadis itu hanya diam, dan asik dengan acara yang dia tonton.
"Alina!" panggil Kevan dengan tegas seraya berjalan menghampiri Alina.
"Apaan si?" tanya Alina tanpa menoleh sedikitpun ke arah Kevan.
"Kamu itu—"
"Nggak! Aku nggak liat Alena!" potongnya cepat, ia terlihat kesal, raut wajahnya pun berubah menjadi muram.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Kevan dengan menurunkan nada. Alina hanya menatap Kevan sekilas dan langsung berjalan meninggalkan cowok itu. Kevan hanya menghela napas melihat tingkah Alina yang aneh.
***
Pukul dua belas malam, Kevan masih memejamkan matanya. Ia tertidur dengan lelap, terdengar suara dengkuran halus dan tangan yang memeluk guling. Tak lama ia terbangun dari tidurnya, ia membuka matanya perlahan dengan menerjapkan matanya.
Bragggg!
Plak!
Terdengar suara gaduh dari bawah, Kevan langsung segera beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dengan langkah cepat, ia melihat ke bawah dari atas. Matanya terbelalak lebar, dengan cepat ia berjalan turun ke bawah.
"STOPP! HENTIKANNN!"
Teriak Kevan dengan kencang, semua menatap kearah Kevan dengan tatapan tajam. Tidak dengan gadis ini yang hanya menundukkan kepalanya, mata Kevan melihat gadis itu dengan miris.
"KALIAN INI APA-APAAN? KENAPA KALIAN—"
"KENAPA KAMU TERUS MEMBELA ANAK TIDAK TAHU DIRI INI?" sentak wanita paruh baya dengan menunjuk gadis itu, matanya yang menatap dengan tatapan tajam. Kevan menghela napas, terlihat ia meredamkan emosinya.
"Ma, tapi enggak seperti ini! Semua ini bisa di bicarakan baik-baik, kenapa harus—"
"Stop, Kevan!"
Kevan melihat ke arah Meika, mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. "Kenapa kamu ...."
"Kenapa kamu berubah, Nak?" Meika berjalan mendekati Kevan. Ia terlihat bingung dengan sikap Mamanya ini.
"Kevan tidak pernah berubah, Ma. Hanya saja Kevan ingin keluarga kita kembali seperti dulu."
"Setelah anak pembawa sial ini mati!"
"Stop nyebut Alena 'anak pembawa sial' , Ma! Dia tidak seperti itu, Mama salah paham."
Meika terdiam. Namun, napasnya masih menggebu. Kevan tidak ingin mamanya lebih marah, dengan cepat ia merangkul sang mama. "Mama harus istirahat, ini sudah malam," ujar Kevan menuntun berjalan ke arah kamarnya.
Sementara itu, Alena masih berdiam dengan kepala menunduk. Alina melirik ke Alena. "Ngapain masih diem disini?! Minggir lo!" ketus Alina sembari mendorong tubuh Alena dengan kuat. Alena masih bisa menjaga keseimbangan-nya dengan mencengkeram tembok. Alina berjalan melewati Alena dengan tatapan dingin.
"Aku harus bagaimana?"
***
Alena menyisir rambutnya dengan turun perlahan, dia menatap rambutnya yang rontok di sisir dan di tangan. Ia menghela napas panjang dan menatap wajahnya dari pantulan kaca.
"Mama bilang kalau aku mati, semua akan kembali seperti semula?"
"Apa aku pergi dari sini? Supaya mama tidak terus memarahi ku dan dia bisa hidup dengan tenang. Agar tidak ada gangguan yang membuatnya marah. Semuanya akan kembali seperti semula, kan?" gumam Alena dengan melihat seisi kamar.
Alena berjalan mendekati rak yang berisi piala, boneka, dan juga bunga yang sudah layu. Tangannya mengambil piala yang sangat membanggakan. Alena masih ingat dengan kejadian sepuluh tahun lalu.