"Karena kita akan bersekolah di tempat yang sama, ayo jadi teman!"
"Hah?!"
Untuk seseorang yang ingin jadi teman, Tony bisa bilang kalau Bella justru seperti sedang memalaknya.
"Begitukah caramu menawarkan pertemanan?"
"Maaf. Tapi masih sulit untukku berbicara dengan baik di depan orang. Kau itu orang pertama". Entah apakah Tony harus merasa bersyukur ataukah miris mendengar pengakuan itu dari mulut Bella sendiri.
Tapi itu cukup bagus untuknya, setidaknya dia tak lupa untuk mengatakan maaf, meski masih dengan wajah datarnya.
"Oke. Sekarang kita berteman", Tony mengulurkan tangannya dan langsung di balas oleh Bella dengan sedikit bersemangat.
Tony fikir, untuk orang dengan hampir tanpa ekspresi seperti itu, akan sangat sulit juga untuk bertindak dengan semangat.
"Woah! Kufikir genggaman tanganmu akan lemas-lemas saja, tapi kau lumayan kuat ternyata"
Melihat Tony yang tampak seperti meremehkannya membuat Bella mendengus tak suka, "Kau terlalu meremehkanku ternyata. Jika aku mau, aku bisa saja menghancurkan tanganmu itu".
Meski terkejut, Tony tak bisa bicara apapun.
"Kenapa kau diam saja, bicaralah". Ekspresi Bella kali ini justru terlihat santai, ia ikut memakan jajanan yang ada di depannya dan menyeruput minuman milik Peter yang tampak biasa saja diperlakukan seperti itu oleh Bella.
"Sepertinya, kau cukup mudah untuk berbicara dengan orang baru"
Bella menggeleng, "Kau bukan orang baru. Eric dan Peter sudah berteman denganmu, berarti kau orang baik"
Tony mulai paham, Bella menjadikan saudaranya sebagai tolak ukur untuknya dan ia begitu mempercayai mereka. Apalagi jika keluarganya bahkan tampak begitu dekat dengan keluarga Bella, itu pasti juga menjadi acuan untuknya.
Setelah percakapan terakhir mereka, Bella lebih memilih diam dan hanya memperhatikan Tony. Bu Rika, ibu Tony hanya masuk untuk menyapa Bella dan memberikan minuman untuknya dan menambahkan camilan yang baru dibuat tadi, tempe goreng.
Untuk mereka, tempe adalah makanan yang langka dan unik. Tapi untuk Tony, tempe goreng sudah menjadi makanan sehari-hari.
Bella perlahan mendekat ke arah Tony yang langsung mundur secara refleks.
"Nadya"
Hanya satu kata itu yang dibisikkan Bella kepada Tony, tapi itu cukup untuk membuatnya terkejut hingga memelototkan matanya ke arah Bella.
"Ba-bagaimana kau tau?!", reaksi heboh dari Tony membuat si kembar menatapnya heran, sedangkan Bella juga ikut terkejut karena aksi Tony yang menurutnya berlebihan.
"Kau pernah menyebutkan nama itu saat kau sedang melamun di rumah kami. Bagaimana bisa kau melamun di tengah keramaian seperti itu?"
Komentar Bella yang jujur membuat Tony merasa malu sendiri. Ia pun tak sadar jika ia terlalu memikirkan Nadya sampai membuatnya melamun seperti itu.
"Sepertinya kalian akan menjadi teman yang baik nantinya", Peter menganggukkan kepalanya setelah menatap serius pada Tony dan Bella.
"Benar. Kak Tony, tolong jaga kak Bella, ya", kali ini Erik yang tersenyum begitu tulus pada Tony. Permintaan yang disertai dengan harapan yang begitu besar dan Tony sadar itu.
Dalam beberapa detik Tony melihat Bella yang masih tampak datar memakan tempe goreng, menimbang perkataan Erik.
"Baiklah"
*****
Tony POV
Gadis yang rambutnya sedang dikepang dua di hadapanku ini sedang berusaha keras untuk tersenyum. Aku terpaku beberapa saat di depan pintu, bukan karena aku terpesona tapi karena perilakunya yang ternyata tak jauh berbeda dari adik-adiknya.
Tiba-tiba saja dia ada di depan pintu rumahku tanpa memencet bel terlebih dahulu, entah sudah berapa lama ia menunggu di balik pintu itu sejak tadi.
Apalagi wajah tanpa ekspresi itulah yang tadi menyambutku dengan tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Bella! Kau sudah disini?" Suara ibu rasanya begitu dekat dengan telingaku. Aku yakin ibu kemari karena pintu yang tak kunjung ditutup meski aku sudah berpamitan sejak tadi.
Dan saat itu pula kengerian terjadi, Bella tersenyum begitu manis, menurut ibuku yang saat ini sedang menjerit gemas di sampingku.
"AH! Bella!!"
Aku bisa melihat otot matanya berkedut, kurasa itu adalah usaha yang luar biasa dilakukan olehnya, berhubung tersenyum juga merupakan salah satu hal yang dilakukan untuk bisa berinteraksi dengan orang lain.
Baiklah, aku tak sekejam itu untuk membiarkannya tersenyum lama. Aku harus cepat pergi untuk menyelamatkan otot-otot kaku miliknya itu.
"Kami berangkat"
Aku pamit sekali lagi pada ibuku, sangat asing melihat Bella ikut berpamitan sambil mencium tangan ibuku. Sama sekali bukan hal yang wajar ditemukan di luar negeri, anak muda yang bersikap sesopan itu pada orang tua.
Apalagi hal mencium tangan itu adalah hal yang mungkin hanya bisa ditemukan di Indonesia, menurutku yang selama ini belum pernah melihat kelakuan dari negara lain.
Tapi setahuku, itu aneh.
"Kenapa menatapku seperti itu?", Bella memulai permbicaraan setelah kami cukup lama berjalan.
Aku masih menatapnya aneh tanpa berkata apapun.
"Ibumu yang mengajariku". Aku tertegun, apa dia benar-benar bisa menebak apa yang aku fikirkan saat ini?
"Tidak.. tidak.. aku tidak bisa membaca fikiranmu"
Aku berhenti berjalan.
"Kau serius?! Sejak tadi aku tak mengatakan apapun tapi kau menjawab dengan santainya semua itu padahal kau tak mendengar apapun?!"
Bella ikut berhenti berjalan di depanku kemudian berbalik untuk melihatku dengan kerutan di dahinya, "Wajahmu itu menggambarkan semuanya"
Aku berhenti berjalan menyerap kata-katanya. Apakah wajahku benar-benar semudah itu dibaca? Atau dia sebenarnya berbohong dan bisa mengetahui apa yang ku fikirkan?
Bella ikut berhenti kemudian berbalik hanya untuk mengatakan, "Aku tidak berbohong"
Buku catatan yang kubawa di tanganku terjatuh. Bukan aku bersikap berlebihan, tapi jujur saja rasanya sangat menakutkan jika ada orang yang tau apa yang aku fikirkan.
Dan karena rasanya sangat menakutkan, aku harus memastikannya lebih dulu.
Bella masih berdiri diam menatapku. Kendaraan yang berlalu di sebelah kiriku tak membuatnya mengalihkan pandangan sedikitpun. Apakah mungkin dia jatuh cin-
"Hentikan pemikiran anehmu, aku tidak sedang jatuh cinta padamu". Baiklah, ini sudah cukup! Gadis ini bisa membaca semua yang ada di fikiranku!
Bella menghembuskan nafasnya bosan lalu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan saat sebuah bis baru saja lewat.
Ia menatap ke arahku dengan tatapan bosannya dan mengangkat tangan kanannya memintaku untuk berhenti, "Mari kita hentikan pembicaraan aneh ini. Jika kita lanjutkan, mungkin aku akan muntah di depanmu"
Aku baru saja membuka mulutku untuk berbicara sampai ia mengangkat tangannya lagi, "Dan.. jika kau tidak percaya bahwa aku tidak sedang membaca fikiranmu, kau bisa coba di depan orang lain dan minta mereka untuk menebak apa yang kau fikirkan"
Aku mengelus kepalaku yang terasa sedikit pening gara-gara kejadian ini. Berhadapan dengan Bella sejak pagi ternyata benar-benar bisa membuatku pusing.
Tapi jika difikir-fikir, apa yang Bella katakan memang benar. Mungkin ia bisa menyobanya pada Eric dan Peter nanti saat mereka main ke rumahnya lagi.
Aku melihat ke arah depan dan menyadari bahwa Bella sudah tak ada di depanku, ia sudah berada cukup jauh sekitar 20 m dariku. Berjalan acuh seperti orang biasa yang sudah terbiasa hidup di keramaian seperti ini.
Apanya yang melindungi dia? Tampaknya ia malah sudah bisa beradaptasi lebih dulu, jadi aku tak perlu repot-repot membantunya, kan?
Beberapa orang berlalu di sebelah kananku sambil menaiki sepeda, beruntung sekali di tempat ini tak ada kecelakaan antara pejalan kaki dan pengendara karena ketertiban mereka.
"Sepertinya kau benar-benar tidak memerlukan bantuanku ya?"
***
Bersambung