Tony POV
Tahun baru kali ini terasa sedikit berbeda, selain karena pindah ke rumah baru, orang tuaku pun ikut pergi meninggalkanku sendiri di rumah.
Luar biasanya, mereka baru memberitahuku malam sebelum mereka pergi, tepat 2 hari setelah pindah rumah.
Jika aku mengingat ucapan mereka rasanya aku akan marah lagi.
"Sayang, mau coklat panas? atau pudding?"
Aku ingat saat ibu berkata seperti itu di kamarku aku langsung merasa curiga. Pasalnya, ibu tau betul aku tidak begitu menyukai sesuatu yang manis.
"Ada apa, bu?"
"Kamu anak yang paling tampan! Kamu selalu mengerti ibu!", ucap ibu yang langsung mencium pipiku dan menarikku keluar, menuju ke kamar kedua orang tuaku.
Dengan wajah tersenyum memperlihatkan ayah yang sedang menata kopernya, tidak hanya miliknya tapi sepertinya juga milik ibu.
Aku langsung menyadari bahwa mereka ingin bepergian, tapi kenapa baru memberitahuku?
"Ayah, jika memang ingin bulan madu lagi, kenapa tidak bilang dulu padaku?". Aku pun bergurau dan sedikit tertawa menghampiri ayahku yang duduk di kasur.
Tapi aku menyadari bahwa keduanya saling menatap untuk waktu yang agak lama. Dan itu mulai mencurigakan.
"Tony, sepertinya ayah yang harus bicara menggantikan ibumu", terasa jeda sebentar dan ayah menarik nafas agak dalam.
"Ayah dan ibu akan pergi ke Inggris. Tapi kali ini bukan untuk liburan, melainkan ayah akan bekerja disana untuk sementara waktu, mengurus perusahaan disana"
"Lalu bagaimana denganku? Ayah meninggalkanku sendiri?"
Tangan ayah mengelus pundakku, "Kau akan bisa menyusul kesana setelah kelulusanmu, itu hanya setengah tahun lagi kan?"
"Lalu apa gunanya kita pindah rumah kemarin?"
"Ayah hanya ingin memberikan tempat dengan lingkungan yang baik untukmu selama kami tinggal pergi. Tetangga disini ramah, dan juga jaraknya lebih dekat dengan sekolahmu kan?"
Aku bisa membayangkan betapa sepinya rumah ini nanti tanpa kedua orang tuaku, tapi jika ini adalah hal yang memang harus mereka lakukan maka aku tak bisa menahan mereka disini.
Meski aku menolak pun, mereka tetap harus pergi. Dan aku bersyukur mereka masih memikirkanku meski terburu waktu.
"Tonyyy!!!"
"Anthonyyy!"
BAKKK
Aku bisa merasakan kerasnya bola yang sengaja di arahkan padaku. Terimakasih untuk sahabatku, Ron, yang sudah membuatku tersadar dari kenangan mengenaskan yang patut ditertawakan.
"Kalau kau memang tak berniat sekolah, setidaknya beritahu aku! Jangan berhenti di tengah jalan seperti orang yang baru saja terhipnotis seperti itu?! Itu mengerikan, kau tau?!"
"Seperti biasa kau memang selalu cerewet"
Tanpa basa basi lagi, kukalungkan lenganku di lehernya. Aku memutuskan untuk mendengar celotehannya sambil berjalan saja.
POV End
***
"Bro, pinjem pulpen, dong"
Tanpa melihat ke arah Arsen, Tony memberikan begitu saja pulpen cadangan miliknya.
"Pensil, bro"
Lagi, Tony memberikannya pada Arsen tanpa menoleh padanya.
"Argh! Penghapus, dong!"
Kali ini Tony menghela nafas berat. Suara Arsen sudah membuatnya kehilangan konsentrasi.
Jadi kali ini ia lebih memilih untuk menatap langsung Arsen yang sedang memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Mau pinjem kotak pensil-ku aja nggak? Ribet pinjem satu-satu", tawar Tony pada Arsen di sebelahnya.
Arsen tertawa puas. Mengerjai sahabatnya adalah salah satu kegiatan paling menyenangkan menurutnya.
"Jangan marah bro, nanti cepet tua lho", goda Arsen menyenggol pundak Tony.
Dan kali ini, begitu ia menghadapkan ke kertas di depannya, ia langsung melempar penghapus yang tadi diminta Arsen. Tepat ke dahinya.
TAKK
"Aduh! Oke, makasih", ucap Arsen sambil mengelus dahinya.
"Ton, ntar pulang sekolah, main game di rumah kamu ya"
"Nggak", Tony hanya menjawab singkat karena ia begitu fokus pada tugas yang sedang ia kerjakan.
Walau kali ini guru matematika itu hanya memberikan tugas, bukan berarti ia bisa bersantai seperti orang aneh di sebelahnya.
"Ayolah… aku belum selesai main game yang kemarin", rengek Arsen
"Gembel"
Arsen terdiam beberapa detik. Sahabatnya ini selalu bisa membuatnya membeku meski hanya sekejap hanya karena kata-kata yang ia keluarkan.
"Hahahahahah!! Gembel dong…! Aku gembel, bro! Aduh!!"
Saking kencangnya tertawa, ia melupakan posisi meja yang tepat berada di depannya.
Dahinya yang masih mengingat rasa lemparan penghapus tadi, kini harus menghantam ujung meja dengan keras.
Kini Tony mau tak mau menengok pada Arsen yang sedang sibuk memaki dan memukul balik meja yang berhasil membuat dahinya benjol.
"Meja kurang ajar!!"
"Bro, sakit nih!"
"Hah? Kamu siapa?"
Arsen menatap Tony dengan bingung, "Ton, ini yang gegar otak harusnya aku, kan? Kenapa jadi kamu yang lupa?"
"Aku nggak kenal orang aneh kayak kamu"
Arsen membuka mulutnya dramatis, "Tony?!!"
***
Seperti biasa, kantin selalu penuh saat jam istirahat tiba. Berdesakan demi mendapatkan menu favorit itu sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Gila! Kali ini kancing atasku yang lepas! Itu orang-orang lagi ngajak tawuran apa gimana sih?!"
Arsen langsung duduk tepat di seberang Tony yang sudah menunggu sejak tadi.
"Lama banget, laper tau", Tony langsung mengambil tahu goreng yang sudah dibeli Arsen tadi.
"Hargai sedikit dong, Ton. Aku habis berjuang mati-matian ini!"
Malas mendengar ocehan panjang Arsen, Tony mengambil satu tahu goreng lagi untuk dijejalkan di mulut Arsen.
"Makan dulu! Marah justru bikin laper"
***
Gadis itu ada disana, di pojok kanan dekat jendela. Sedang mengamati dedaunan yang jatuh, melupakan makan siang yang ada di hadapannya. Dan ia selalu sendiri.
Setelah menghembuskan nafas beratnya, ia akan kembali menghadap ke meja dan berusaha mengeluarkan senyumnya.
Senyum yang anehnya terasa menyakitkan.
Dan Tony disini selalu memperhatikan itu semua.
Gadis mungil dengan rambut yang dikucir satu di belakang. Helaian tipis rambutnya yang melambai tertiup angin dari jendela.
"Nggak bosen ya, tiap hari dilihat terus"
"Hm?", Tony hanya perlu menggeser sedikit kepalanya untuk bisa melihat tatapan menggoda dari Arsen.
Sebagai sahabat, tentu saja Arsen tau sudah sejak kapan Tony sering melihat gadis mungil itu. Dan tentu saja termasuk alasan kenapa Tony selalu duduk membelakangi pintu.
Meski Arsen tidak tau apa spesialnya gadis itu.
"Aku selalu penasaran, kenapa kamu selalu perhatiin dia?"
Tony mengangkat kedua bahunya, "Nggak tau"
"Bisa-bisanya nggak tau. Yang selalu lihat dia itu kamu, Ton. Menurut kamu, dia ngerasa nggak dilihatin terus kayak gitu?"
Malas menanggapi Arsen, Tony hanya mengangkat kedua bahunya, seakan mengatakan ia tak tau.
Dan itu memang benar, selama ini setiap ia melihatnya ia sama sekali tidak memikirkan hal tersebut. Karena pada saat itu, ia bahkan tidak sadar jika matanya selalu mengikuti gerak gerik gadis mungil tersebut.
"Tony, kamu tau namanya?"
"Hm? Tidak"
Sambil makan sesendok es krim, Arsen sedikit berbalik untuk melihat gadis itu, kemudian beralih kembali menatap Tony di depannya.
"Namanya Nadia, dia satu angkatan dengan kita, hanya berbeda kelas"
Tony yang sedang minum pun berhenti tiba-tiba.
"Kamu kenal dia?!"
~Bersambung~