Arsen mencoba untuk bersabar, setidaknya ia membiarkan Tony masuk dulu ke kamarnya dan berganti pakaian.
Tapi Arsen tetap tidak bisa tenang. Ia berjalan mondar-mandir di depan tv, memikirkan segala kemungkinan yang mungkin baru saja terjadi pada sahabatnya itu.
Apakah mereka berkencan?
Apakah mereka bertemu diam-diam?
Apakah Tony dengan berani main ke rumahnya Nadya?
Apakah mereka mampir ke kafe dulu?
Astaga! Arsen tidak bisa berhenti memikirkan semuanya. Masalahnya, sepertinya baru hari ini tadi ia memberi tau Tony tentang Nadya. Bagaimana mungkin ia bisa langsung mengencaninya?
Ia tak percaya Tony adalah tipe orang yang bertindak cepat.
Setelah 30 menit lelah menunggu dan Tony tak kunjung keluar, akhirnya ia memutuskan untuk masuk saja ke kamar Tony.
Dan apa yang ia lihat membuatnya kesal setengah mati. Tony tidur di kasurnya dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya.
"Bangun! Tony!!", Arsen menggoyang tubuh Tony hingga ia merasa risih.
"Kamu nggak ada perasaan ya?! Aku nunggu penjelasan dan cerita kamu dari tadi, kamu nya malah tidur begini!!"
"Kalau nggak bangun, aku bakal ambil air di kamar mandi dan siramin ke kamu!"
Mendengar gertakan Arsen, mau tak mau ia bangun. Membayangkan kasurnya basah dan rasa tak nyaman saat tidur di tempat lembab membuatnya kesal.
"Iya..iya..udah bangun ini", Tony sempat memicingkan matanya ke arah Arsen, tapi karena sudah terlalu sering ditatap sinis seperti itu oleh Tony membuatnya kebal sekarang.
"Keluar dulu, aku mau ganti baju!"
"Nggak! Aku nggak mau pergi! Aku udah hafal, begitu aku keluar dari kamar kamu, kamu bakal ngunci pintu kamar dan kembali tidur! Jadi, nggak!"
"Nih bajunya!", Arsen melempar sembarang baju yang ia temukan di lemari Tony. Karena sudah lama menjadi sahabatnya, Arsen sudah hafal baju apa yang biasanya digunakan Tony setiap pulang sekolah.
Dengan tanpa beranjak dari kasurnya Tony mengganti seragamnya dengan pakaian yang tadi diberikan Arsen.
"Sudah! Terus apa?"
Nada ketus Tony tak sedikitpun membuat Arsen mundur, ia justru kini ikut duduk di kasur di samping Tony. Matanya sudah berbinar saat pertanyaan tentang Tony dan Nadya meluncur dengan mulus dari mulutnya.
"Dengar baik-baik". Tony mengambil nafas panjang, memberi ancang-ancang.
Arsen tampak begit antusias hingga ia duduk serius di depannya dengan memegang setoples camilan yang entah kapan dibawa olehnya.
"Nadya kebetulan menemukan kunci motorku yang hilang. Jadi aku mengantarnya pulang sebagai ucapan terimakasih. Selesai". Tony menyelesaikan ceritanya dengan cepat lalu merebut camilan yang dipegang Arsen.
"Udah?! Cuma segitu?? Nggak mungkin?! Kalian pasti mampir ke kafe atau pergi makan dulu kan?"
"Nggak ada apa-apa, Cuma nganterin sampe depan perumahannya aja", ucap Tony cuek sambil memakan cemilannya.
"Nggak seru!"
"Apa yang kamu harapkan?", Tony hanya tersenyum melihat perubahan ekspresi Arsen yang awalnya antusias kini menjadi kesal.
"Oke. Kalau begitu, aku bakal ganti topiknya. Ceritain gimana pertama kalinya kamu ketemu sama Nadya. Apa yang bikin kamu tertarik sama dia?". Arsen akhirnya bisa menanyakan hal yang selama ini ingin ia tanyakan.
Tony mengerutkan keningnya, tampak sedang mengingat-ingat saat pertama kalinya dulu.
"Nggak lama kok, mungkin baru sekitar 2 bulan yang lalu?". Pernyataan Tony membuat Arsen juga ikut berfikir.
"Yaaa…sekitar 2 bulan memang"
"Waktu itu ada acara olahraga, jadi semua murid satu sekolah ikut acara. Dia ikut lari jarak pendek dan juara pertama, tapi anehnya dia tidak berekspresi senang, hanya kelelahan. Aku juga nggak lihat teman-temannya datang buat kasih selamat. Mereka justru sibuk melihat pertandingan yang lainnya"
Arsen berusaha mengingat-ingat semua kejadian saat itu, tapi ia bahkan tidak memperhatikan lomba jarak pendek saat itu. Ia hanya memperhatikan kelompok voli putri dan basket, sepertinya ia tak melihat yang lainnya.
"Kurasa sejak saat itu aku mulai memperhatikannya. Ia berbakat, tapi kenapa tak ada yang memberinya selamat atau bahkan menghampirinya? Tapi anehnya ia tetap santai seakan hal itu sudah biasa terjadi padanya"
"Pada akhirnya, dia hanya duduk di kursi penonton sambil melihat daun yang jatuh dari pohon di depannya, sesekali ia memejamkan mata sambil mengayunkan badannya ke kanan dan ke kiri. Terkadang ia terlihat seperti sedang bernyanyi lalu menggerakkan kakinya pelan"
Arsen melihatnya dengan takjub. Ia adalah saksi hidup atas kehidupan sehari-hari Tony dan bisa ia pastikan bahwa saat itu adalah pertama kalinya bagi Tony untuk memperhatikan orang begitu dekat.
Bahkan mungkin, Tony tak akan seperhatian itu kepadanya.
Ia sedikit iri pada Nadya.
"Bolehkah aku merasa cemburu disini?"
Bantal langsung mendarat di wajah Arsen begitu ia menyelesaikan pertanyaannya. Tony bisa gerak cepat jika itu untuk memukul Arsen yang bicara aneh.
"Aku hanya penasaran dengannya, tak ada hal lain"
"Hati-hati! Rasa penasaran bisa menuntun kamu ke dunia yang tak pernah kamu bayangkan!"
"Apa sih?!", karena tak ada bantal lagi di sampingnya, kali ini ia melempar toples plastic yang ia pegang.
***
Tony POV
Sekarang adalah hari minggu, saatnya untuk bersantai. Tapi hari mingguku yang menenangkan hampir di rusak oleh Arsen.
Semalam dia tiba-tiba mengusulkan untuk pergi mendaki bersama kakak-kakaknya. Bukannya aku merasa santai, aku justru akan merasa kelelahan dari berangkat sampai pulang.
Berbeda dengan Arsen dan kakak-kakaknya yang sangat menyukai olahraga, aku lebih suka berada di antara tumpukan buku dan bersantai di rumah.
Sekarang aku ingin pergi ke minimarket sebentar untuk membeli beberapa camilan agar aku bisa tenang dan kenyang sambil bersantai di rumah nanti. Tempatnya memang lumayan jauh dari rumah, jadi aku menggunakan motorku.
Jika ku ingat-ingat lagi, tempat ini adalah tempat Nadya meminta turun kemarin. Karena hari Minggu, jalanan ini jadi lebih ramai dari biasanya.
Ngomong-ngomong soal Nadya, kenapa aku seperti melihat dia disini? Bersembunyi di tempat yang sama seperti kemarin.
Setelah melihat keadaan di kanan kiri dan melihat ke arah matanya tertuju, aku yakin orang yang sedang ia amati berada di kafe yang ada di seberang jalan.
Dengan langkah pelan aku mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya.
"Nadya", meski aku memanggilnya dengan pelan, ia tampak terkejut. Apa seharusnya aku tidak memanggilnya dan hanya menepuknya?
"To- Tony, apa yang kamu lakukan disini?"
Kenapa kali ini ia menatapku dengan takut? apa yang salah denganku?
"Aku hanya ingin membeli beberapa makanan. Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan disini?"
Seperti teringat sesuatu badannya sedikit tersentak kemudian ia kembali memperhatikan ke dalam kafe tadi, tapi sepertinya orang yang sedang ia amati sudah pergi.
Kurasa ia akan marah karena aku mengganggu kegiatannya tadi.
"Apa kau sedang memata-matai…..kekasihmu?", Nadya mengernyitkan keningnya dan menggeleng dengan tegas.
"Lalu….ehm, siapa yang kamu amati dari tadi?"
Kali ini Nadya tampak sedikit panik, ia meremas jaketku.
"Ja- jangan bilang siapa-siapa"
"Aku tak akan bil-"
"Ayahku"
"Ha?", aku belum menyelesaikan ucapanku dan dia tiba-tiba menyebut ayahnya, kurasa ada yang salah dengan telingaku.
"Aku mengamati ayahku"
Baiklah, berarti aku tak salah dengar dengan ucapannya barusan. Tapi...ayahnya?
********
tbc