Ruangan penuh buku itu hanya di isi oleh beberapa orang. Ada yang memenuhi meja mereka dengan tumpukan buku, ada juga yang lebih menggunakan tempat itu untuk tidur atau beristirahat.
Tony dan Arsen juga sedang berada di perpustakaan kali ini. Sebenarnya, perpustakaan bukanlah tempat yang menyenangkan untuk Arsen, ia hanya berada di sini karena Tony. Ada beberapa tugas yang bisa dikerjakan di tempat itu, karena ada banyak sumbernya.
Dan satu alasan lagi karena Tony masih memaksa Arsen untuk menjawab pertanyaannya saat di kantin tadi.
"Kapan kamu ada niat buat jawab?", ucap Tony sambil berbisik. Maklum saja, di perpustakaan memang ada peraturan untuk tidak berisik.
Arsen tersenyum melihat reaksi seperti itu dari Tony. Tony termasuk tipe orang yang jarang menunjukkan ekspresi resah dan kesal seperti itu, jadi Arsen menikmatinya.
"Aku lupa pertanyaannya", iseng Arsen menjawab asal, masih ingin memperhatikan reaksi selanjutnya.
Tak perlu waktu lama sebuah buku tebal sudah mendarat di kepalanya. Tepukan yang pelan karena mereka diharuskan untuk tenang, tapi Arsen tau jika mereka sedang berada diluar buku itu pasti akan dipukul dengan kencang.
Tapi itu tetaplah menyenangkan untuknya, karena Tony mengatupkan bibirnya rapat, mencegahnya untuk meneriakinya.
"Bagaimana kamu bisa mengenalnya?"
"Menurutmu? Bagaimana bisa aku mengabaikan fakta bahwa sahabatku yang cuek ke orang lain tiba-tiba hanya fokus ke satu orang?"
Tony mengerutkan keningnya tak setuju.
"Aku tidak fokus padanya"
Arsen berdecak, "Apanya yang tidak fokus? Setiap kita ke kantin pandanganmu langsung beralih ke gadis itu, seakan-akan makananmu terletak disana"
"Ck! Lalu, gimana bisa kamu dapat informasi tentang dia?"
"Jangan menatapku seperti itu! Aku tak akan merebutnya darimu! Kau tau sendiri aku punya banyak kenalan di sekolah ini, aku hanya menanyai mereka"
Tony membelalakkan matanya tak percaya. Bagaimana bisa Arsen begitu ceroboh menanyakan tentang seorang gadis pada orang-orang? Bukankah mereka akan mencurigainya?
"Tenang saja, sumberku terpercaya", kali ini Arsen menunjukkan jempolnya pada Tony. Ia faham apa yang dikhawatirkan sahabatnya itu.
"Ehm.. kalau begitu, apa lagi yang kamu tau tentang dia?", Tony menanyakannya dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya.
Arsen menutup mulut dengan tangannya, berusaha meredam suara tawa yang ia keluarkan. Ia tak percaya Tony bisa menanyakan hal yang mustahil ia ucapkan.
Selama hidupnya bersama Tony, ia bahkan tak pernah memperlihatkan ketertarikan pada orang lain.
"Nadya adalah orang yang jarang di ajak berbicara oleh teman yang lain. Selain karena dia jarang berbicara, dia juga lebih menyukai buku daripada bermain atau mengobrol dengan teman lainnya"
Setelah mendengar ucapan Arsen, Tony langsung menunduk dan menghela nafas panjang. Entah kenapa dadanya terasa sesak, hingga ia memutuskan untuk melihat keluar dari jendela.
Gadis itu, dia ada disana. Duduk di bawah pohon, tepat di depan jendela. Tony melihatnya dan rasa kagetnya tak bisa ia sembunyikan, Arsen menyadarinya.
"Wah!"
Arsen hanya berseru lalu segera menutup mulutnya. Ia sendiri tak bisa mempercayai apa yang ia lihat sekarang. Mereka baru saja membicarakan gadis itu dan sekarang ia sudah muncul di depan mereka. Takdir memang luar biasa.
Ia kembali melihat ke arah Tony yang masih terpaku. Dengan cepat Arsen melepas kacamata Tony, membuatya terkejut dan kembali fokus pada Arsen.
"Balikin kacamataku!"
"Bakal aku balikin, asal janji jangan sampai itu matanya lepas waktu liatin Nadya"
"Apaan sih?!", elak Tony sambil merebut kembali kacamatanya.
Gadis itu, Nadya masih ada disana dan Tony bersyukur ia belum beranjak saat ia memalingkan wajah tadi.
Ada sesuatu yang ia pegang. Dompet?
Nadya mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan, menghitungnya kemudian memasukkannya lagi. Ia menekuk jarinya seakan seperti sedang menghitung sesuatu, lalu kepalanya menggeleng lesu.
"Kurasa dia kekurangan uang jajan",Tony dan Arsen melihat semua itu dan memahaminya.
Mungkin itulah sebabnya setiap kali ia makan di kantin, ia sering menatap kosong ke jendela. Entah karena perasaan bersalah setelah memakai uangnya, atau karena uangnya tak akan cukup untuk hal lainnya.
Tiba-tiba Nadya menghadap ke arah Tony dan arsen yang masih memandanginya dari balik jendela. Ia tampak terkejut dan sedetik kemudian, ia sudah berlari pergi.
Kini giliran Tony yang menghadap Arsen yang ada di depannya dengan wajah yang masih sama terkejutnya.
"Tadi dia lari karena lihat aku?"
Arsen hanya mengangguk.
"Dia takut?"
Kali ini Arsen menggeleng, lalu mengangguk.
"Kenapa jawabannya dua? Apa maksudnya?", tanya Tony sedikit kesal.
"Mungkin alasannya adalah karena sejak tadi ia sudah merasa di amati, jadi dia risih. Lalu setelah melihat kita, dia jadi takut. Takut jika kita melihat hal yang tidak ingin ia perlihatkan ke orang lain"
Tony menatapnya tak berkedip, ia tak menduga seorang Arsen yang ia kenal asal-asalan bisa berkata dengan baik juga akhirnya.
"Kenapa kamu seperti itu? Tak pernah melihatku setampan ini?"
Ucapan narsis itu kini justru membuat Tony melempar sebuah buku ke arahnya tanpa merasa bersalah.
***
Tony POV
Tanganku masih dipenuhi kertas ujian milik semua teman sekelasku. Bagus sekali, setiap kali ada ujian ataupun tugas akulah yang selalu membawa semua kertas mereka.
Asal tau saja, aku bukan ketua kelasnya!
Dan lagi, seharusnya aku sudah bisa pulang dari tadi. Tapi beberapa orang masih mengulur waktu dengan memintaku menunggu beberapa soal yang belum mereka selesaikan. Arsen salah satunya.
Apesnya lagi, begitu Arsen selesai ia langsung mengambil tasnya dan berbisik padaku agar membiarkan ia pulang duluan. Aku tak punya pilhan selain membiarkan ia pulang dan bermain seenaknya di rumahku.
Ruangan guru hanya tinggal 20 m lagi, rasanya masih terlalu jauh untukku yang sudah merasa lelah lahir batin dari tadi.
Karena mereka semua langsung pulang begitu mengumpulkan lembar jawaban mereka, aku tak mungkin meninggalkan task u sendirian di kelas. Mungkin itu salah satu alasannya kenapa aku merasa begitu lelah, tas yang saat ini kubawa.
Tunggu!
Bukankah itu Nadya?!
Nadya baru saja keluar dari ruang guru? Ada apa?
"Nad-", aku langsung menutup mulutku. Kita tidak saling mengenal sebelumnya, bagaimana bisa aku terfikir untuk memanggilnya tadi??
Aku bergegas ke ruang guru, lelah yang tadi kurasakan hilang entah kemana. Aku hanya ingin cepat bisa keluar dan bertemu dengan Nadya lagi.
"Permisi. Ehm.. bu, ini lembar ujian dari kelas XII A tadi", guru berkacamata itu ada di mejanya, terlihat sibuk dengan sesuatu dan bahkan tidak menyadari aku di sampingnya.
"Taruh saja disini"
Oh! Beliau sadar aku disini! Hanya saja, karena terlalu sibuk sampai tak ingin repot-repot melihatku. Baiklah, aku bisa menerima itu.
Sial! Aku lupa harus buru-buru!
Dengan cepat kuletakkan tumpukan kertas itu di tempat yang ditunjuk guruku tadi dan berbalik keluar dengan cepat.
Kubilang apa?
Aku sudah berlari dan dia tidak terlihat dimana-dimana!
"Aargh!!", karena kesal aku mengacak rambutku hingga berantakan.
"Kau mencariku?", sebuah suara mengejutkanku.
******