Isabel terus menangis tanpa henti, dia mengingat segala kenangannya bersama Arav. Isabel masih tidak rela kehilangan Arav.
Saat Isabel sedang menangis, tiba-tiba saja Bu Karin masuk kedalam kamar. Untung saja Isabel menyadari bahwa ibunya datang, dia segera menghapus air matanya, takut jika ibunya akan bertanya-tanya dan menjadi khawatir dengan kondisinya.
"Isabel, sedang apa di sini? Bukannya berada diluar, temenin suami kamu tuh. Kasihan dia sendirian," ucap Bu Karin.
"Bukannya diluar ada Bapak, ya? Mas Azam bersama bapak, kan?" tanya Isabel.
"Bapak tadi pamit mau kerumah tetangga sebelah, ada yang harus dia kerjakan," jelas Bu Karin.
"Oh ... ya udah Isabel keluar dulu. Mmm ... Ibu mau Isabel bantuin masak, ga? Biar Isabel bantu aja ya," tawar Isabel.
"Udah selesai kali. Telat banget nawarin bantuannya," sahut Bu Karin.
"Hehe ... aku ga tau, Bu. Ya udah aku bantuin kerjakan yang lain aja deh. Ibu mau dibantuin apa sama aku?" tanya Isabel.
"Ga ada semua udah beres. Udah ah, cepet temenin suami kamu aja," titah Bu Karin.
"Iya Ibu, iya," pasrah Isabel.
"Isabel tunggu!"
"Ada apa lagi, Bu?"
"Apa kamu bahagia?" tanya Bu Karin tiba-tiba yang membuat Isabel bingung.
"Ya, Isabel bahagia. Sangat bahagia," terang Isabel.
"Kamu ga bohong, kan?" selidik Bu Karin.
"Enggak lah, Bu. Masa Isabel bohong, sih," ungkap Isabel.
"Hmmm ... iya deh, Ibu percaya. Semoga kamu selalu bahagia ya, Nak," ucap Bu Karin. Bu Karin mengusap rambut Isabel dengan penuh kasih sayang, lalu dia mencium rambut hitam milik Isabel.
"Iya Bu, aamiin," sahut Isabel.
"Kamu di sini mau berapa hari?" tanya Bu Karin.
"Belum tahu, Bu. Nanti aku akan tanya Mas Azam dulu," terang Isabel.
"Oh, gitu, ya. Semoga agak lamaan ya, Ibu masih kangen sama kamu dan Azam. Masih ingin berlama-lama bareng kalian," tutur Bu Karin.
"Iya Ibuku sayang."
Isabel langsung memeluk ibunya dengan penuh manja. Bu Karin langsung membalas pelukan Isabel. Setelah beberapa saat mereka berpelukan, mereka berdua pun melepas pelukannya. Isabel tersenyum dan segera pergi keluar kamar meninggalkan Bu Karin.
Diluar, Azam sedang duduk sambil nonton televisi, ditemani secangkir kopi dan kue bolu kesukaannya, yang dibuat langsung oleh ibu mertuanya.
Isabel segera menghampiri Azam dan duduk bersebrangan dengan Azam. Isabel menyomot bolu milik Azam yang membuat Azam langsung menatapnya tidak suka, seakan tidak ikhlas berbagi makanan kesukaannya pada siapa pun. Isabel yang melihat tatapan Azam yang seperti itu, berbalik membalas tatapannya tak kalah tajam dari tatapan Azam.
"Apa? Ga suka?" kesal Isabel.
"Itu bolu, Mas. Kenapa kamu ambil? Kamu ga boleh memakannya!" larang Azam.
"Enak aja Mas Azam larang-larang aku. Ini juga bolu buatan ibu, jadi ini juga boluku," tegas Isabel.
"Tapi ibu membuatkannya untuk Mas, jadi bolu ini milik Mas Azam!" kekeh Azam.
"Bodo! Orang ini bolu milik semua, kok," terang Isabel.
"Ck ... udah ah, jangan ambil lagi!"
Azam segera mengambil kue bolu yang berada dimeja, dia menjauhkannya dari Isabel.
"Ih ... siniin, ga? Siniin cepat!" titah Isabel.
"Enggak akan! Jangan harap!"
"Huh ... nyebelin. Makan tuh kue, sampai kembung terus meledak deh perutnya," kesal Isabel.
"Biarin," cuek Azam.
Dari balik pintu kamar Isabel, Bu Karin muncul dan ikut bergabung bersama Azam dan Isabel. Bu Karin duduk didekat Isabel.
"Ada apa? Kenapa cemberut kayak gitu?" tanyanya.
"Tuh, Mas Azam, masa ga bolehin aku makan kuenya," adu Isabel.
"Oh ... masalah kue, tenang saja, Ibu membuatnya banyak. Didapur juga masih ada, ambil aja!" ucap Bu Karin.
"Wah ... seriusan, Bu? Isabel mau ambil," ucap Isabel. Isabel segera berlari kedapur untuk mengambil kuenya, dia takut Azam yang akan mengambilnya lebih dulu dan tidak mau berbagi padanya.
Setelah beberapa saat pergi kedapur, Isabel pun kembali dengan membawa sebuah piring yang berisi kue ditangannya. Dia memamerkan kue itu kepada Azam. Sambil menjulurkan lidahnya, Isabel seolah mengejek Azam. Tapi Azam cuek dengan semua itu, lagian dia juga masih memiliki banyak kue ditangannya.
Melihat Azam dan Isabel yang bersikap seperti itu, Bu Karin jadi mengingat masa kecil mereka berdua yang selalu berprilaku seperti tadi. Setiap kali dirinya membuat kue atau masakan apapun, pasti kedua anak kecil yang tak lain adalah Azam dan Isabel itu, selalu berebut ingin mengambil makanan paling banyak.
Beberapa saat kemudian, Pak Heru pun kembali kerumah setelah menyelesaikan urusannya. Dia melihat anak dan menantu beserta istrinya sedang berkumpul bersama diruang keluarga. Tanpa menunggu waktu lama, Pak Heru pun segera ikut bergabung bersama mereka.
"Eh, Bapak udah pulang," riang Isabel sudah seperti anak kecil yang menyambut seorang ayah yang baru pulang kerja.
"Iya dong, Bapak pasti pulang," ucap Pak Heru.
"Mumpung udah ngumpul semua, mendingan kita makan aja, yuk," ajak Bu Karin.
"Hayu, Bu. Isabel sudah sangat lapar. Ga tahan cium bau masakan Ibu, jadi tambah lapar," ungkap Isabel.
"Yuk," sahut Azam dan Pak Heru bersamaan.
Mereka semua pun pergi keruang makan untuk makan bersama. Mereka segera memilih tempat duduknya masing-masing dan segera duduk untuk menyantap hidangan yang tersaji dimeja makan.
Bu Karin segera menyiukkan nasi dan lauknya untuk suaminya. Isabel hanya diam saja menunggu giliran dirinya yang mengambil nasi.
"Isabel, kamu ambilkan suami kamh nasi. Hidangkan dipiringnya," titah Bu Karin.
"Hah? Apa, Bu? Mas Azam udah terbiasa mengambilnya sendiri, tidak perlu diambilkan," tolak Isabel.
"Heh, ga boleh gitu. Kamu itu istrinya, jadi harus kamu yang siapkan. Biasakan diri untuk merawat suami," ucap Bu Karin.
Isabel pun menuruti perintah ibunya, dia segera mengambilkan nasi untuk Azam.
"Mas Azam mau pake lauk apa?" tanya Isabel.
"Semuanya," jawab Azam.
"Yang benar saja, Mas. Piringnya ga akan cukup. Udah sebagian aja dulu, jangan mau langsung," tutur Isabel. Isabel mengambilkan lauk untuk Azam tanpa bertanya lagi apa yang Azam mau.
Mereka pun segera menyantap hidangannya. Tanpa banyak bicara mereka memakannya bersama-sama.
Saat asik makan, tiba-tiba saja mereka mendengar suara langkah kaki yang mengarah kearah mereka. Bu Karin dan Pak Heru sudah tahu siapa yang datang. Berbeda dari orang tuanya, Azam dan Isabel tidak tahu sama sekali siapa yang datang.
Terlihat seorang perempuan paruh baya yang muncul diambang pintu. Wanita tersebut tersenyum sopan kepada semua orang yang berada dimeja makan. Setelah itu, datanglah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 3 tahun. Setelah melihat orang-orang yang ada dimeja makan, anak itu sangat bahagia, dia tersenyum senang.
"Mamah ... Mamah ... hore Mamah ...."
Setelah memanggil-manggil kata manah, anak tersebut berteriak dengan begitu riang.