Detik demi detik waktu berlalu, sekarang sudah tengah hari, dan sebentar lagi Ali akan dijemput oleh neneknya. Isabel ingin waktu berhenti saja untuk saat ini, dia tidak bisa melepaskan Ali pergi jauh darinya.
Azam dan Isabel terus menemani Ali, mereka tidak pernah meninggalkan Ali barang seditik saja.
"Mamah, Papah, Ali ngantuk, ingin bobo," ucap Ali. Sontak Isabel dan Azam langsung membawa Ali kedalam gendongannya. Isabel menepuk-nepuk bokong Ali pelan. Dia mengusap-ngusap kepalanya agar Ali segera tertidur, benar saja, tidak butuh waktu lama untuk menidurkan Ali. Ali sudah terlelap dipangkuan Isabel. Meskipun Ali sudah tidur, Isabel tidak ingin membaringkan Ali ditempat tidur, dia ingin terus mendekap Ali seperti itu.
"Isabel, biarkan Ali tertidur ditempat tidur saja," ucap Azam.
"Tidak! Aku akan terus mendekap Ali seperti ini," kekeh Isabel.
"Tapi kasihan Alinya, Isabel. Dia pasti merasa pegal kalau tertidur dalam dekapan seperti itu. Tidurnya menjadi tidak leluasa," terang Azam. Setelah mendengar perkataan Azam, akhirnya Isabel pun membiarkan Ali tertidur diatas tempat tidur saja.
"Hiks ... hiks ... kenapa semua orang sangat kejam padaku? Bahkan aku tidak diizinkan untuk merawat putraku sendiri. Hiks ... betapa sakitnya hati aku," tangis Isabel. Sakit hati Azam melihat Isabel begitu terpuruk seperti itu.
'Isabel, tolong jangan menangis! Mas tidak suka melihat air matamu keluar. Hati Mas sakit melihatnya. Hentikan tangisan itu Isabel! Mas menyayangimu'. Batin Azam. Rasanya Azam ingin mengatakan hal tersebut secara langsung, tapi dia tidak berani melakukannya.
"Isabel," hanya kata itu yang dapat Azam ucapkan.
"Jangan ambil Ali dariku," ucap Isabel. Karena terus menangis, Isabel menjadi lelah dan akhirnya ikut tertidur bersama Ali.
Melihat Isabel yang sudah tertidur, Azam memberanikan diri untuk mengusap air mata Isabel yang terus keluar meski dalam tidurnya.
"Maafkan Mas yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu. Mas mohon maafkan, Mas!" ucap Azam.
Kedua orang tua Isabel pun memasuki kamar mereka.
"Azam," panggil Pak Heru pelan, karena tidak ingin menggangu tidur Isabel dan Ali. Azam melirik Pak Heru dan Bu Karin yang sudah berdiri diambang pintu.
"Iya, Pak," sahut Azam.
"Bagaimana keadaan Isabel?" tanya Bu Karin, masih dengan nada suara yang pelan.
"Isabel ... Isabel sangat sedih, aku tidak tega melihatnya, Pak, Bu. Apakah ada cara untuk membuat Ali tidak jadi pergi dari sini?" tanya Azam.
"Tidak ada, Nak. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tetap tidak bisa," ucap Pak Heru.
"Terus, apa aku harus melihat kesedihan Isabel terus-menerus? Aku tidak kuat," ucap Azam.
"Kamu yang sabar, Nak. Kami yakin, kamu dan Isabel pasti akan bisa melewati itu semua," ucap Pak Heru.
Sore hari pun tiba, Ali dan Isabel sudah terbangun dari tidurnya. Dengan kesedihan yang mendalam, Isabel tetap mencoba untuk tegar. Isabel membantu Ali bersiap-siap, karena sebentar lagi neneknya akan menjemputnya. Isabel terus menahan laju air matanya, dia tidak ingin diketahui oleh Ali bahwa dirinya tengah menangis.
"Mamah, kita akan ke mana? Kenapa Ali harus mandi?" tanya Ali.
"Kita tidak akak kemana-mana, Nak. Ali akan dijemput oleh nenek. Jadi Ali harus siap-siap," terang Isabel.
"Ali ga mau! Ali ga mau iku nenek! Ali mau sama Mamah dan Papah," tolak Ali. Isabel menjadi semakin sedih mendengar pengakuan dari Ali.
"Tapi, Nak, Mamah dan Papah tidak bisa ikut dengan Ali. Ali sekarang tinggal dulu bareng nenek dan kakek, ya. Nanti Mamah dan Papah pasti akan menjemput Ali dan mengajak Ali tinggal bersama kita lagi."
Isabel mencoba untuk memberikan Ali penjelasan. Meski dirinya juga ingin Ali ikut dengannya, tapi untuk saat ini Isabel tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa pasrah menerima semuanya.
"Sebelum Ali pergi, Ali harus makan dulu, ya. Mamah yang akan suapin Ali," ucap Isabel.
"Ali ga mau makan! Ali marah sama, Mamah. Ali ga mau ngomong sama, Mamah," ungkap Ali.
"Sayang, tolong jangan seperti ini, Nak. Mamah mohon, maafkan Mamah! Ali tenang saja, Mamah dan Papah pasti akan menjemput Ali," ucap Isabel mencoba meyakinkan Ali, meski dirinya sendiri tidak yakin.
"Mamah, janji?"
Isabel hanya menggangukkan kepalanya saja, dia tidak berani untuk mengucapkan kata janji, Isabel takut tidak bisa menepati janji tersebut.
"Sekarang Ali ikut Mamah, ya. Kita makan," tutur Isabel. Ali pun setuju untuk makan bersama Isabel.
Isabel menyuapi Ali, Isabel takut ini akan jadi kali terakhirnya dia merawat Ali. Tidak seperti biasanya, sekarang Ali makan dengan begitu lahapanya.
"Mamah, di mana, Papah?" tanya Ali.
"Mmm ... Papah ada kok, Nak. Bentar lagi Papah ke sini," tutur Isabel.
Waktu berlalu begitu saja, sekarang sudah saatnya Ali pergi. Ibu Arav sudah datang untuk menjemput Ali.
Sedari tadi Isabel terus memberikan kecupan diseluruh wajah Ali. Isabel tidak rela kalau harus dijauhkan dengan Ali.
"Ali, cucu Nenek, uh ... Nenek kangen sekali sama, Ali," ucapnya yang langsung mengambil alih Ali dari pangkuan Isabel.
"Ali juga kangen, Nenek," ucap Ali.
"Oh ya, kalau begitu kita pulang ya, Nak. Kita pulang kerumah kita."
Isabel hanya bisa menatap mereka berdua, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Azam dan orang tua Isabel pun ada di sana menemani Isabel.
"Tapi Mamah dan Papah harus ikut, Nek," pinta Ali.
"Mmm ... tidak bisa Sayang, mereka tidak bisa ikut kita," terang wanita tersebut.
Isabel langsung lemas dan bersender dibahu Pak Heru.
"Tapi Ali ingin Mamah dan Papah, hiks ..." rengek Ali.
"Sudah ya, Ali. Ali kan anak baik, Ali ga boleh cengeng."
Tanpa menunggu waktu lagi, ibu Arav langsung membwa pergi Ali secara paksa tanpa mendengarkan rengekan Ali. Dia hanya tersenyum kearah Isabel dan keluarganya sebagai tanda pamitan.
"Nenek, turunin Ali, Nek! Ali ingin sama Mamah dan Papah," ucap Ali yang terus memberi perlawanan saat dibawa pergi neneknya. Tapi tenaga Ali hanya lah tenaga anak kecil, dia tidak cukup kuat untuk melawan tenaga neneknya.
Dengan segera wanita itu masuk kedalam mobil dan menyuruh sopirnya segera melajukan mobil tersebut.
"Ali! Ali tungguin, Mamah!" teriak Isabel. Isabel pun berlari untuk mengejar mobil yang membawa Ali pergi.
"Ali ... Sayang, anak Mamah, tungguin Mamah, Nak! Ali jangan pergi!" panggil Isabel yang terus berteriak menyebut nama Ali, tapi Ali sudah dibawa pergi jauh oleh neneknya. Isabel sudah tidak bisa mengejar mobil tersebut. Ini adalah perpisahan kedua kalinya untuk Isabel dan Ali, tapi kali ini jauh lebih menyakitkan, karena Isabel menyaksikan langsung saat Ali dibawa pergi. Dia mendengar tangisan Ali yang menolak dibawa pergi jauh darinya.
Azam yang melihat Isabel seperti itu, segera menyusul Isabel dan menahannya agar tidak berlari lagi. Azam tahu usaha Isabel pasti akan sia-sia saja.