3
"Aku bawain martabak bangka Bu." Arkan meletakkan kotak putih di atas sambal. Ia melihat ibunya sedang menidurkan Ica.
"Kamu belanja apa banyak begitu?"
Arkan menggaruk tengkuknya tidak enak. Ia menyerahkan dua bungkusan plastik kepada ibunya.
Karena penasaran, bu Wati langsung membukanya. Matanya membelalak melihat belanjaan putranya.
Pakaian dalam, daster, baju anak-anak dan selimut. Sedangkan plastik satu lagi berisi perlengkapan Ica. Mulai dari susu, botol susu, pampers Ica dan ibunya juga mainan.
"Kamu yang belanja?"
Arkan menggeleng. "Nyuruh Dina."
Sebenarnya tidak ada yang berlebihan, tapi ini seorang Arkan. Kapan putranya itu mau memikirkan orang lain.
"Punya Nay dan Ica lengkap." kata bu Wati menyimpan bungkusan plastik tersebut. "Apa ibu tidak butuh pakaian ganti?"
Arkan jadi salah tingkah. Ia baru saja melupakan ibunya, tapi jujur ia tidak sengaja. "Aku lupa Bu, aku beli sekarang."
Bu Wati mencibir tingkah putranya, tapi ia tetap senang. Setidaknya anaknya itu sudah menunjukkan rasa simpatinya. Walaupun hanya untuk Nay dan putrinya.
"Kamu bangun Nay?" bu Wati beranjak dari ambal untuk membantu Nayna bangun.
Nayna tersenyum, ia bergeser mendekat ke lemari kecil ingin mengambil minum. Setelah itu ia menenggak habis dua gelas air mineral.
"Sudah hampir malam ya Bu?."
Bu Wati mengangguk, tangannya sibuk memotong martabak bangka dengan sendok.
"Ini makan dulu." piring kecil berisi martabak bangka membuat Nayna tersenyum. Makanan kesukaannya, ketika pertama kali mengenal ayah Ica, putrinya.
"Makan ini dulu, Ibu sudah minta Arkan beli nasi."
Nayna mengambil piring tersebut dan mulai menikmati kue manis tersebut. Walau tak semanis kisah hidupnya. Namun ia bersyukur, Tuhan memberinya seorang putri yang cantik.
Matanya melihat putrinya yang sudah tidur. Ia berhutang banyak pada bu Wati. Entah apa yang akan dilakukannya tanpa bu Wati.
"Ini kalau mau ganti, Ibu bantuin ke kamar mandi." sebuah pembalut yang sudah terbuka, tinggal menggunakannya beserta celana dalam.
Nayna meringis malu, wajahnya sudah merah.
"Sudah jangan malu. Kamu sudah Ibu anggap anak sendiri."
Nayna tidak mampu berkata. Tangan kanannya mengambil dua benda tersebut setelah ia turun.
Pintu kamar rawat Nayna terbuka bersamaan dengan Ica menangis. Spontan bu Wati mendekat dan menepuk lembut punggung Ica.
"Saya bantu." Arkan melepas botol infus dari tiang besi.
"Nay bisa sendiri." ucap Nay ketika tangan pria tersebut memegang lengannya.
Arkan menjauh setelah menyerahkan botol infus pada Nayna.
"Samsul katanya mau ke sini, nggak bareng Arkan?"
Arkan menggeleng. "Ibu bilang Samsul Nay di rumah sakit?"
"Dia nanya terus, Ibu bilang saja."
Tidak ada respons dari Arkan. lelaki itu memilih diam sambil memperhatikan Ica yang sudah kembali tidur.
Setelah sepuluh menit Nayna keluar. Ia menggantung sendiri botol infus sebelum menaiki brankar.
"Arkan beli nasi kuning, kamu makan ya?." Nayna menatap lelaki yang sedang menyelimuti putrinya.
Untuk apa laki-laki itu berlaku baik padanya?."Iya Bu."
Nayna memang makan tapi tidak habis. Karena isinya terlalu banyak. Itu bukan porsinya.
Ketika mereka sedang makan, pintu terbuka dan menampilkan sosok pria yang selalu mengikuti Nayna ke mana pun ia pergi.
"Calon makmum, gimana keadaannya sekarang?"
Nayna tersenyum, beginilah kalau ada Samsul. Baru saja masuk sudah ada guyonan andalannya.
"Baik kok Mas."
"Baik dari mana? Ini selang minum apa selang untuk hidup?."
Tawa Nayna mengundang perhatian Arkan. Sedangkan bu Wati ikut tertawa melihat tingkah keponakannya.
"Kasihan. Cepat sembuh ya calon makmum. Mas bawain yang manis biar situ tambah manis."
"Martabak?."
"Betul Bude." Samsul menjentik kan tangannya.
"Telat, Nay baru saja makan martabak."
Tatapan tajam dilemparkan Samsul pada Arkan. Mau nyuri start?, Sadar!!!. Bu dokter mau di bawa ke mana?. Gerutu Samsul, tentu dalam hati.
"Nggak apa-apa, Nanti Nay makan kok . Sayang, sudah di beli juga kan?."
"Sayang kamu juga."
Lagi Nayna tergelak. Malam itu ia habiskan dengan guyonan Samsul yang ditimpali bu Wati sekali-kali.
Keesokan harinya Nayna keluar dari rumah sakit. Ia meminta Samsul menjemputnya karena Arkan dan buWati pulang sebentar. mereka juga membawa putrinya. Ketika di perjalanan ia mengabari bu Wati kalau dirinya sudah pulang.
"Mas tunggu bude saja Nay di luar." kata Samsul ketika mereka tiba di rumah Nayna.
Nayna mengangguk. Ini yang membuatnya nyaman berhubungan dengan Samsul. Pria tersebut sangat menghargai wanita. Ia selalu berharap agar Samsul segera menemukan wanita baik-baik dan berhenti mengharapkannya.
Suara Ica memanggilnya membuat Nayna tersenyum. Tiga jam berpisah dengan putrinya sudah rindu.
"Barang dibawa semua Nay?."
Nayna mengangguk, ia bingung melihat bu Wati membawa tas kecil.
"Karena kamu tidak mau tinggal sama Ibu, Ibu yang tinggal di sini." kata bu Wati mengerti tatapan bingung Nayna.
Nayna tersenyum. Andaikan saja bu Wati ...
***