Viting gaun nikah
Setelah memilih gaun yang menurut Deka sangat pas di pakai Fanya lelaki itu kemudian menyuruh pelayan butik itu untuk membantu Fanya memakai gaunya.
"Saya tunggu di depan," ujar Deka.
"Baik Pak," sahut pelayan tersebut.
"Silahkan ikut saya ke viting room Mbak," ajak pelayan tersebut.
Fanya pun hanya mengikut saja, ia berjalan di belakang pelayan butik itu.
"Mbak apakah tidak ada gaun yang lebih tertutup lagi?" tanya Fanya begitu gaun mewah bewarna navi itu sudah selesai di pakainya.
"Sesuai permintaan calon suami Mbak," sahut pelayan tersebut.
"Sial, rupanya pria jahat itu benar-benar mengerjai gue," umpat Fanya dalam hati.
"Oke baiklah Mbak," ujar Fanya.
Gadis itu akan terlihat biasa saja dan tidak akan memprotes Deka sepwrti saat pertama dulu Deka membawa ke rumahnya dengan dress yang sangat terbuka.
Fanya keluar dari viting room dengan gaun navi twrsebut.
"Seleramu boleh juga," ucap Fanya begitu sampai di ruang tempat Deka menunggu.
"Tentu, seleraku ini selera kalangan atas. Jadi sudah pasti bagus!" kelakar Deka.
Di dalam hatinya, Fanya beberapa kali mengumpat. Ia tidak habis fikir dengan apa yang ada di otak Deka.
Rasanya Fanya hanya ingin marah-marah di depan Deka saat ini juga.
"Oke, karena gaun itu sangat cocok di tubuh kamu jadi aku mau langsung memgambil gaun ini saja," ucap Deka.
Setelah mengambil gaun itu Deka langaung mencoba jazznya.
"Gimana, ketampananku membuatmu terpesona bukan!" ujar Fanya.
"Jangan terlalu berlebihan, bahkan sedikit pun aku sama sekali tidak terpesona!" sahut Fanya.
"Cihhh, sombong sekali kamu!" cetus Deka.
"Kalau sudah beres bisakah kita langsung pulang saja, aku lelah," ajak Fanya.
Fanya bebarapa hari ini memang terlihat lebub tegas pada Deka. Hal itu di lakukannya semata-mata hanya untuk mindungi dirinya.
Ia tidak inngin di cap sebagai gadis yang lemah yang kapan pun bisa di injak-injak harga dirinya.
"Setelah ini makan dulu habis itu langsung pulang," ujar Deka.
Deka pun kemudian langsung membayar jas dan gaun tersebut. Setelah itu Deka mengajak Fanya keluar dari butik itu.
"Kamu mau makan apa?" tanya Deka.
Sementara Fanya sibuk dengan ponselnya.
"Siniin hp kamu, memang lagi chat-chatan sama siapa sampai senyum-senyum sendiri gitu," ujar Deka.
"Balikin gak, ini privasi aku jadi kamu gak boleh imut campur!" tegas Fanya.
"Sebentar lagi aku akan menjadi suamimu, jelas aku harus tau apa saja yang kamu lakukan," ujar Deka.
"Kita hanya menikah di atas kertas kalau kamu lupa," sahut Fanya.
"Tetap saja, kita akan menjadi suami istri!" ucap Deka yang tidak mau mengalah.
Entah mengapa akhir-akhir ini Deka zenang sekali melihat wajah gadis di sampingnya ini terlihat semburat merah di pipinya. Tanda kalay gadis itu tengah malu.
Namun satu hal yang Deka tidak suka, beberapa hari ini juga Fanya sudah mulai berani kepadanya.
"Nasi goreng saja, sepertinya aku sedang ingin memakan itu!" ucap Fanya.
"Baiklah, sekarang kita langsung ke restoran yang menjual nasi goreng terenak," sahut Deka.
"Aku maunya makan di nasi goreng kaki lima," ucap Fanya.
"Yang benar saja kamu mau mengajakku makan di tempat seperti itu, jangan macam-macam kamu," sentak Deka.
"Memangnya kenapa kalau makan di tempat seperti itu? Gak ada salahnya bukan!" ujar Fanya.
"Martabatku mau di taruh dimana kalau aku makan di tempat seperti itu, kamu benar-benar menguji kesabaranku," celetuk Deka.
"Ya sudah begini saja, aku makan di temlat yang aku inginkan dan kamu makan di temlat yang kamu inginkan. Adil bukan?" saran Fanya.
"Jangan bilang kalau kamu mau kabur, ingat tinggal 6 hari lagi kita akan menikah!" tegas Deka.
"Siapa yang mau kabur, kan aku sudah bilang kalau aku mau nasi goreng kaki lima. Kamu sendiri yang tidak mau makan di situ bukan," ujar Fanya.
"Ya sudah, kita makan di tempat yang kamu inginkan itu!" sahut Deka.
Deka pun kemudian menyuruh Fanya untuk agar masuk ke dalam mobilnya.
"Pakek jaket ini agar kamu tidak.terlihat mengenakan seragam sekolah," pinta Deka.
"Tidak perlu," jawab Fanya.
"Kalau aku bilang pakek ya pakai, memangnya kamu ingin di cap sebagai cewek gak bener yang pergi sama cowok pada saat masih jam sekolah," tegas Deka.
Dan yang di katakan oleh Deka itu memang benar sekali, jelas-jelas Fanya memang masoh mengenakan seragam sekolah.
"Tumben kamu tidak menghinaku lagi," ucap Deka.
"Bukankah kamu sendiri yang tadi bilang kalau kamu itu bukan jalang, sekarang aku tidak mwngatakan itu lagi mengapa kamu bingung seperti itu?" tanya Deka.
"Aku kira kamu adalah pria yang benar-benar jahat dan gak punya hati, tapi ternyata kamu masih punya hati!" tukas Fanya.
"Berani sekali kamu mengatakan itu!" sentak Deka.
Deka bisa melembit hatinya kapan pun itu, namun jika emosinya di pancing tetap saja Deka akan menjadi Deka yang pemarah.
Fanya hanya diam, rasanya sudah lelah sekali. Di tambah lagi dengan beban fikirannya yang berat sekali.
"Sebenarnya kita mau makan dimana sih," ucap Deka mulai jengah. Ia memang sudah sangat lapar karena sedari pagi tadi ia baru meneguk beberapa teguk susu sebagai sarapannya.
"Sebentar lagi kita sampai," jawab Fanya.
Gadis itu kembali diam, bahkan kali ini terlihat sangat dingin.
"Kita sudah sampai," ujar Fanya.
Gadis itu pun langsung turun dari mobil Deka begitu mereka sampai. Ia juga sudah mengenakan jaket yang di berikan oleh Deka tadi saat dalam perjalanan.
Tanpa menunggu Deka yang sedang mengunci mobilnya Fanya meninggalkan Deka begitu saja dan langsung mencari tempat duduk.
Deka yang melihat itu semakin hari justru semakin gemas sekali. Ia menjadi yakin kalau Fanya itu memang bukan gadis seperti apa yang ia sering katakan.
"Kalau benar gadis itu masih perawan, berarti di bukan jalang yang melayani om-om di kafe itu," ujar Deka.
Lelaki itu pun kemudian langsung menyusul Fanya yang sudah lebih dulu duduk di bangku yang tersedia.
"Sudah pesan?" tanya Deka.
"Sudah, tapi aku baru memesan satu dan itu untukku," sahut Fanya.
"Kenapa aku tidak di pesankan sekalian," keluh Deka.
"Mana tau aku selera kamu, pesan sendiri sajalah!" ujar Fanya.
Sebenarnya sikap ketus dan dinginnya Fanya hanya karena gadis itu sedang protes atas ketidakadilan yang terjadi terhadapnya.
"Ya sudah, saya langsung pesan saja!" ujar Deka.
Ia sudah sangat lapar, baginya berdebat dengan Fanya hanya akan membuatnya semakin lapar dan hanya membuang-buang tenaga saja.
"Tumben Deka twrlihat lebih sabar, apa karena sedang berada di tempat umum makanya ia sok sabar gitu," ucap Fanya dalam hati.