"Aidan ...." Livia langsung berdiri dari duduknya dan memeluk laki-laki di hadapannya begitu erat. Dia juga meredam tangisannya di dada bidang milik Aidan.
"Husst, aku paling tak suka melihat gadisku menangis. Berhentilah, okey?" Aidan mengelus lembut surai Livia, menenangkan gadis itu dengan tepukan ringan pada punggungnya. "Ayo ikut aku, aku akan membawamu ke suatu tempat."
Pelukan itu terlepas. Aidan mengukir senyum lembut dan menghapus jejak air mata Livia dengan sapuan tangannya. "Kamu pasti akan suka."
Lalu Aidan menggenggam erat jemari Livia dan membawanya keluar gedung fakultas ekonomi.
Langkah demi langkah mereka membuat suasana koridor kampus begitu sepi. Mahasiswi yang melihat Aidan berjalan bersama seorang gadis membuat mereka ingin menjerit namun, segera ditahan dan memilih untuk diam bagikan patung yang mengintai gerak-gerik dosen kesayangan fakultas ekonomi tersebut.
Apalagi saat Aidan tiba-tiba menyelipkan tangan ke pinggang Livia, jiwa para gadis-gadis kampus langsung sakit. Mereka layaknya pasangan kekasih yang serasi. Dan tentu saja para gadis kampus itu sangat iri dengan gadis itu.
"Tunggu di sini sebentar."
Livia berdiri di luar parkiran kampus menuruti ucapan Aidan yang menyuruhnya menunggu sebentar. Dan benar saja, kini Livia telah melihat sosok Aidan yang datang membawa sepedanya.
"Ayo naik," Aidan menepuk jok belakang sepeda miliknya, mengisyaratkan agar Livia naik.
Tanpa pikir panjang gadis itu naik dan melingkarkan tangannya ke perut Aiden.
"Aku udah pegangan nih, ayo jalan."
Aidan terkekeh kecil dan kembali mengelus puncuk kepala Livia. "Baiklah, Tuan Putriku."
Roda sepeda itu memutar seiring ayunan kedua kaki Aidan yang membawa mereka keluar gerbang universitas tempatnya bekerja.
Perjalanan yang dilewati Livia dan Aiden begitu damai dan tenang. Livia sejak tadi hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang lembut menyapa wajahnya. Tak ada pembicaraan membuat keduanya sibuk pada pikiran masing-masing. Kini hati Livia menjadi lebih tenang dari sebelumnya.
"Bukalah matamu, lihat kita ada di mana."
Suara khas Aidan mengalun lembut di telinga Livia hingga akhirnya gadis itu membuka kedua matanya. Pandangannya langsung di hadapkan pada suasana pantai yang sejuk dan segar.
Itu adalah pantai yang terletak tak cukup jauh dari kampus. Dan ini kedua kalinya Livia ke sana bersama Aidan. Livia mendogak menatap laki-laki itu. Tak lama hembusan napas kasar keluar dari bibirnya. Wajah cantik itu masih saja murung dan tak tersenyum meski Aidan telah membawanya ke tempat menyenangkan itu.
Aidan turun dari sepeda lalu mengulurkan tangan pada Livia. Gadis itu menerima uluran tangan itu dan Aiden membawanya ke bibir pantai. Mereka duduk di pasir menikmati hempasan ombak pantai yang datang menyentuh ujung kaki mereka.
Menit demi menit terlewatkan begitu saja tanpa kata dari dua orang itu.
"Sekarang, apa kamu mau cerita?" Livia menatap Aidan sejenak lalu menunduk lagi, "Aku akan tetap di sini jika kamu tetap tak mau cerita."
Perubahan wajah Livia sangat cepat, kini gadis itu menangis kencang hingga helaan napas keluar dari mulut Aidan. Dia kembali merengkuh tubuh gadis mungil itu.
"Apa yang membuatmu sangat sedih, Vi? Tolong katakan padaku."
"Aku tidak mau, Aidan! Aku tidak mau!" Jerit Livia dengan suara tercekat karena tangisannya.
Kening Aidan mengeryit dalam bekum tau apa yang membuat Livia seperti sekarang.
"Aku tidak mau menikah dengannya! Aku tidak mencintainya! Aku tidak mau, Aidan ...."
Mendengar itu Aidan langsung memegang kedua pundak Livia dan menatap gadis itu lamat-lamat. Sedikit demi sedikit tanpa di jelaskan, Aidan paham apa yang sudah terjadi pada Livia hingga gadis itu sangat frustasi.
"Apa kamu dijodohkan?" Tanya Aidan menebak.
Livia mengangguk dalam tangisannya, "Orangtuaku jahat Aidan! Mereka tega menjodohkan ku dengan orang itu! Aku bahkan tidak mengenalnya," jerit Livia histeris.
Dengan cepat Aidan menarik Livia ke dalam pelukannya lagi, "Husst ... tenanglah, kita pikirkan jalan keluarnya sama-sama ya?" Aidan terus menenangkan Livia dengan kata-kata penenang hingga suara tangisan itu menghilang.
Livia menarik diri dari pelukan Aidan dan menggenggam erat tangan kekasihnya lalu berkata, "Aidan, ayuk kita menikah!"
"Apa kamu serius dengan ucapanmu, Vi?" Mata Aidan sedikit melebar mendengar ucapan itu.
"Aku serius, Aidan. Ini satu-satunya cara supaya aku tidak menikah dengan laki-laki itu. Nikahi aku."
"Dan itu artinya kamu akan kehilangan masa mudamu termasuk mengorbankan pendidikan yang akan kamu jalani satu bulan lagi. Apa kamu tidak memikirkan itu, Vi?"
"Aku tidak peduli! Aku siap melepas semuanya, Aidan."
Tekad gadis itu mengalahkan mimpinya yang ingin sekali berkuliah di tempat Aidan mengajar. Dia ingin menjadi mahasiswa Fakultas ekonomi dan dosennya adalah kekasihnya sendiri. Tapi, kini gadis itu siap kehilangan semuanya hanya untuk bersama Aidan. Tak perduli dengan kuliahnya lagi.
Aidan memegang wajah Livia, "Aku tidak ingin itu terjadi padamu, Vi. Itu sama saja aku menghancurkan masa depanmu."
"Kamu tidak mencintai aku lagi kan?Kalau begitu lepaskan aku dan biarkan saja aku menikah dengan laki-laki itu!" Teriak Livia memukul dada Aidan. "Jahat!"
Terjadi jeda beberapa detik sebelum salah satunya kembali bersuara.
"Baiklah jika itu yang kamu inginkan, Vi. Aku akan membuktikannya padamu." Ucap Aidan dengan penuh kesungguhan. Livia kembali menangis kencang, dan langsung menghamburkan diri ke pelukan kekasih yang amat dia cintai.
***
"Siapa kamu? Apa tujuanmu datang kemari?"
Aidan duduk berhadapan dengan kedua orangtua Livia dan kini yang baru saja berkata adalah Bima, ayah dari Livia.
"Sebelum saya mengatakan tujuan saya kemari, saya ingin meminta maaf atas kelancangan saya, Om, Tante. Tapi, niat saya saat ini benar-benar tulus," Aidan menjeda ucapannya dengan manarik napas pendek.
"Saya ingin melamar putri kalian, Livia."
Brak!
Suara pukulan keras pada meja ruang tamu membuat suara nyaring di ruangan itu. Bima yang melakukannya. Liana terkejut namun, lebih dominan kaget dengan penuturan Laki-laki muda di hadapannya.
Sosok Livia yang sejak tadi bersembunyi di balik dinding menampakkan dirinya namun, orang tuanya tak melihatnya karena posisi Livia yang berada di belakang mereka.
Livia hanya bisa bertatapan dengan kekasihnya langsung.
"Berani sekali kamu! Katakan apa yang kamu miliki? Apa kamu bisa membahagiakan putri syaa dengan apa Hah?" Tanya Bima menunjuk wajah Aidan penuh amarah.
"Saya memang tak memiliki banyak harta, Om. Tapi, kehidupan tak harus mengenal mewah. Jika Om tahu, kesederhanaan itu adalah kunci dari kebahagiaan," dengan berani Aidan berkata demikian. Laki-laki itu sangat tenang bahkan tidak merasa takut dengan tatapan intimidasi dari ayah Livia.
"Kamu berani menceramahi saya! Tau apa kamu tentang kebahagiaan, hah? Kamu sangat tak pantas mendapatkan anak saya. Saya tak ingin hidup anak saya menderita bila nikah sama kamu. Pergi dari sini, anak saya akan menikah sebulan lagi dengan laki-laki pilihan saya!" Bima mendorong bahu Aidan agar pergi dari rumahnya.
Tak kuasa melihat kekasihnya di hina oelh ayahnya sendiri, Livia menampakkan diri d hadapan ayahnya dan melepaskan tangan Bima dari kerah baju Aidan.
"Papa sudah keterlaluan! Livia sudah bilang tidak akan menikah dengan dia, kenapa Papa tidak paham?!" Jerit Livia.
"Mau atau tidaknya, kamu akan tetap menikah dengan Galen, Livia! Liana, bawa masuk anak ini ke kamar dan kunci dia!" Kata Bima murka.
Sosok Liana, menarik anaknya menuju kamar di lantai atas. Liana tak banyak bicara namun, mematuhi ucapan suaminya.
"Aidan!" Teriak Livia dengan keras ketika pintu kamarnya ditutup dan di kunci oleh ibunya.
Aidan mengepal kuat tangannya melihat betapa kerasanya orang tua itu pada anak gadisnya. Mereka bahkan tidak memikirkan sedikitpun perasaan dan mental Livia yang akan terganggu.
"Tunggu apa lagi? Pergi dari rumah saya dan jangan pernah ke sini lagi!" Bima membuang buah-buahan yang diberikan oleh Aidan tadi ke lantai.
-Bersambung...