Tama terbangun tatkala sinar mentari menerobos dari celah genteng hingga menyilaukan matanya. Seketika dia tergeragap dan terduduk di atas ranjang. Dia mengerjap-erjapkan matanya sejenak, mengumpulkan kesadarannya.
Sebenernya, semalaman dia tidak tidur. Perkataan Bu Lastri yang ingin menyingkirkannya terus tergiang di benaknya. Jadi dia memutuskan untuk terjaga sampai pagi. Namun, apa daya tubuhnya sudah terlalu lelah, sehingga tanpa dia sadari dia tertidur dengan sangat lelap.
Pelan-pelan dia membuka pintu, kepalanya melongok keluar memastikan keadaan diluar. Setelah merasa aman, dia pun beringsut menuju kamar mandi untuk cuci muka.
Air yang dingin seakan menyentak seluruh saraf di wajahnya sehingga menjadi segar. Tama tidak terbiasa dengan air pegunungan yang dingin itu sehingga dia menginggil, Meski air itu baru menyentuh wajahnya, belum seluruh tubuhnya. Sangat berbeda dengan air PAM yang dia sering dia gunakan, walau dingin tapi tidak sedingin air di pegunungan ini.
Kemudian, Tama keluar dari kamar mandi. Dia tertegun, karena tidak ada tanda-tanda akan keberadaan Ibu dan Anak itu. Dia pun celingukan ke dapur sampai ruang tamu. Tapi tidak ada seorang pun. Apalagi semua pintu tertutup, mungkin mereka sedang pergi. Tapi kemana perginya mereka? kenapa dia tidak di ajak?
Pria itu lantas membuka pintu depan. Seketika hawa dingin nan segar menyergap tubuhnya. Memberi sensasi nyaman. Pria itu menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Dia melangkah sampai halaman rumah dan mengedarkan pandangan sekitar. Tidak ada rumah lain yang ada hanya pepohonan yang diselimuti kabut yang mulai pudar oleh sinar mentari, Hanya rumah itu saja yang berdiri di pinggir hutan ini, jauh dari pemukiman warga.
Tama tidak pernah tahu alasan kenapa Bu Lastri memilih tinggal di sini. Apakah perlakuan warga atas dirinya yang kurang baik atau memang Bu Lastri sendiri yang bermasalah sehingga dia memutuskan untuk mengucilkan diri.
Semua itu hanya Bu Lastri dan Raflina saja yang tahu. Tama sama sekali tidak mau menanyakan perihal itu, Meski dalam hati dia begitu penasaran. Ada banyak hal yang misterius dari ibu dan anak itu.
Raflina sering bercerita kepadanya, walau dia merasa apa yang diceritakan kekasihnya itu tidak ada seujung kukupun dari misteris yang ada. Misteri yang sesungguhnya.
Meskipun, Tama sangat mencintai Raflina, tapi dia tidak mau terjebak oleh cinta buta. Cinta yang tidak berlogika. Dia tahu kalau Raflina adalah seorang pembunuh berdarah dingin, hal yang diturunkan dari ibunya. Dia ingin membuktikan bahwa cintanya akan merubah Raflina menjadi sosok yang baik dan tanpa dendam. Meski sulit, tapi dia akan berusaha.
Tiba-tiba terdengar suara nada dering ponselnya dari dalam kamar. dia langsung beringsut ke kamar dan mendapati ponsel jadul yang masih memiliki antena itu bergetar. Dia segera mengangkat telefon itu.
"Halo, selamat pagi." sapanya dengan nada suara yang ngebass berwibawa. Karena dia tahu yang menelfon adalah bawahannya.
"Halo, Pak Tama, mohon maaf sebelumnya, menganggu waktu cuti bapak. Tapi ini sifatnya urgent Pak, ada klien komplain.. tut..tut...."
Tama mengernyit dahi. Lalu dia memandang layar ponselnya. Pria itu menepuk jidatnya. Ternyata pulsanya habis. Padahal. Belum sempat dia menanyakan tentang komplain tersebut. kegelisahan menyelimuti benaknya. Kalau sampai dia tidak sigap menangani komplain itu, bisa-bisa dia kehilangan kepercayaan dari kliennya, yang berdampak luas dengan klien-klien lainnya. Dia tidak mau kinerjanya yang dikenal baik, harus hancur berantakan hanya dengan satu kesalahan saja.
Tama harus pergi dari sini, tapi disisi lain dia tidak mau meninggalkan Raflina. akhirnya dia memilih jalan tengah. Dia memutuskan untuk pergi ke kota sebentar untuk membeli pulsa, karena pada saat itu pulsa hanya di jual di kota. Yang terpenting sekarang, dia harus berbicara dengan kliennya dulu, lalu menindak lanjuti masalahnya setelah dia selesai cuti. Tama pun bergegas ke mobil dan bergerak menuju kota.
***
Tama sudah bisa bernafas lega sekarang. Urusan dengan kliennya sudah beres. Untung, dia sering menangani komplain dari klien, sehingga dia tahu cara jitu menyelesaikannya meski hanya lewat telefon saja.
Tapi kini, Tama dihadapkan oleh masalah baru. ketika dia memasuki sebuah desa yang dia pikir adalah desa Raflina, dia tersadar kalau itu bukan desa dari kekasihnya itu. Tapi, dia terus menjalankan mobilnya sehingga semakin jauh memasuki desa asing itu.
Di tengah perjalanan, Tama memelankan laju kendaraannya. Dia terkesima dengan sebuah bangunan tua di desa itu . Sebuah rumah tua peninggalan Belanda berlantai dua itu tampak kokoh berdiri di sana.
"Wow! Keren!" sebagai seorang insinyur, dia sangat mengagumi bangunan itu. Bisa di bilang bentuk dari rumah Belanda itu sangat langka.
Tiba-tiba sesosok wanita muncul dari jendela rumah itu, Dia tampak tersenyum datar sambil melambaikan tangan ke arahnya, seakan meminta Tama untuk mampir ke rumah itu. seolah seperti terhipnotis. Tama pun memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan dan bergegas berjalan menuju rumah itu.
Pintu depan rumah itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Seolah menyambut kedatangan Pria bertubuh jangkung itu. Sosok wanita itu pun berjalan cepat seperti orang menghilang menuju lantai dua. Tama pun menyusulnya ke lantai dua.
Setelah menapaki lantai dua, Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dia terhenyak saat mendapati dirinya berada di dalam rumah itu. Namun di sisi lain, dia takjub dengan arsitektur bangunan itu, sehingga dia memutuskan untuk menyelusuri ruang demi ruang. Tanpa dia sadari pintu rumah itu menutup sendiri.
Lantai dua itu terdiri dari kamar-kamar yang berjejer dan tiga ruang yang luas. Arsitekturnya benar-benar membawa Tama ke masa lampau, meski dia tidak tahu sejarah dari bangunan itu sendiri.
Ketika memasuki ruangan yang di penuhi oleh brangkar yang sudah usang, Tama memejamkan matanya sejenak sambil menghirup aroma pengap dari ruangan itu. tapi telinganya terusik oleh suara seseorang. Begitu membuka mata dia terhenyak, sampai berjingkat ke belakang. Tepat di depan matanya, brangkar-brangkar yang semula kosong itu di penuhi oleh sesuatu yang tertutup oleh kain putih. Terlihat dua orang tentara yang sedang menyeret mayat seorang wanita dan meletakkannya di brangkar yang kosong di sudut kamar.
Setelah selesai, dua tentara itu berjalan ke arahnya, tapi anehnya mereka tidak menyadari akan kehadiran Tama di situ. Tama yang diperlihatkan peristiwa masa lalu di rumah itu hanya bisa terpaku. Ada banyak hal yang belum terungkap di benaknya.
Tiba-tiba dia dikagetkan oleh suara ribut di luar , Tama pun segara memeriksanya. Terlihat beberapa tentara jepang sedang menggiring paksa wanita-wanita yang berpakaian zaman dahulu. Mereka tak segan untuk menendang dan memukul para wanita pribumi yang jalannya lelet. Padahal, kondisi mereka jelas seperti orang sakit. Seketika Tama meradang, tapi dia sadar dia tidak bisa melakukan apa-apa karena itu hanyalah rekaman masa lalu.
Tama tercenung sesaat ketika melihat salah seorang tentara jepang yang sedang berjalan ke arahnya. Dia memperhatikannya lamat-lamat. Semakin dekat semakin jelas wajah dari tentara itu. Tama terhenyak. Enggak Mungkin, kenapa wajah dari tentara itu mirip sekali dengannya?