Angin malam berembus kencang membuat rambut hitam pekat yang menyatu dengan kegelapan malam milik Victor bergerak-gerak tertiup angin. Bayang-bayang wajah Ursenna berputar dalam pikirannya. Istri yang Victor cintai telah tiada dan meninggalkan kesedihan yang mendalam pada dirinya.
Karena duduk di kursi yang ada pada Rainbow Garden, tempat di mana kenangan bersama Ursenna terdapat dalam jumlah banyak, Victor memutar memori saat di mana dia duduk berhadapan dengan Ursenna dan menghabiskan waktu bersama. Bibir Victor mengukir senyum lembut dengan kesedihan tersirat dalam senyum tersebut.
"Senna,... kenapa kamu meninggalkanku?"
Tentu saja tak ada jawaban yang Victor dapatkan karena apa yang dia lihat di matanya adalah Ursenna di masa lalu. Kepahitan seketika memenuhi hati Victor membuat pria itu sulit bernapas dengan benar. Sesak. Victor merasa tercekik saat menyaksikan Ursenna meninggal dunia.
Victor menundukkan kepala, jari-jari Victor menyusup ke dalam rambut hitam pekatnya, lalu meremas rambutnya dengan kuat. Rasa perih dirasakan pada kulit kepala, tapi kepedihan dalam hati Victor membuat rasa sakit yang dia rasakan pada tubuhnya tak terasa apa-apa baginya.
Mata Victor berkaca-kaca saat teringat detik-detik terakhir Ursenna masih bernapas. Ketika itu, Ursenna tersenyum lembut saat memberikan nama pada putri kecil mereka yang baru lahir. Victor menggenggam erat tangan Ursenna, dan mengecup punggung tangan Ursenna beberapa kali karena merasa terharu persalinan Ursenna berjalan dengan lancar.
"Terima kasih, Senna, karena kamu berjuang dengan keras demi putri kecil kita."
Ursenna tersenyum kecil, rona merah samar memenuhi wajahnya. "Aku akan melakukan apapun demi putri kecil kita."
Victor dan Ursenna tersenyum bahagia karena memiliki anggota keluarga baru. Victor mencium kening Ursenna dalam waktu lama untuk mengungkapkan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. Namun, Victor tak menyangka, beberapa saat kemudian, Ursenna akan berteriak kesakitan dan meringkuk sambil meremas dada kirinya dengan kuat.
"Senna! Apa yang terjadi denganmu?!"
"Argh! Sakit Victor! Sakit!"
Victor dipenuhi kepanikan saat menghadapi situasi tak terduga tersebut. Ursilla yang baru lahir bahkan menangis dengan kencang karena kaget mendengar suara yang begitu keras dan membangunkannya dari tidur lelap.
"Sakit!! Sakit!! Argh!!" Ursenna meringkuk di kasur, jari-jarinya mencakar tempat di mana dia merasa kesakitan. Air mata mengalir mengungkapkan betapa kesakitan dirinya.
Keadaan seketika kacau padahal sebelumnya kebahagiaan memenuhi kamar. Victor berteriak meminta agar dokter segera memeriksa keadaan Ursenna yang tiba-tiba memburuk. Teriakan kesakitan Ursenna menembus hati Victor, merobek ketenangan yang seharusnya dia lakukan di situasi genting tersebut.
Tangan Victor gemetar hebat saat menyentuh lengan Ursenna. Membawa tubuh Ursenna yang gemetaran sambil meraung-raung kesakitan ke dalam pelukannya. "S-Senna,... di mana yang sakit?"
Ursenna mendongakkan kepala dengan derai air mata. Urat-urat matanya menonjol sehingga matanya memerah. "S-sakit... Victor... T-tolong... aku..."
Hati Victor rasanya seperti dihujam oleh ribuan pedang ketika melihat wajah Ursenna yang dipenuhi keputusasaan dan memohon-mohon padanya untuk diselamatkan. Hanya dengan melihat langsung pada manik mata pink terang milik Ursenna, Victor seolah merasakan kesakitan yang dirasakan oleh istrinya tersebut. Victor menelan ludahnya kasar, jari-jarinya yang gemetar mengusap air mata di pipi Ursenna.
"A-aku akan menolong mu, Senna... Jadi, bertahanlah..." Victor berusaha menyingkirkan tangan Ursenna yang mencakar dada kirinya sendiri. Dapat Victor lihat, dada kiri Ursenna mengalami lecet akibat goresan kuku.
Sangat sulit membuat Ursenna tak mencakar dirinya sendiri. Karena tak bisa melampiaskan rasa sakit yang dirasakan, Ursenna akhirnya merapatkan tubuhnya pada pelukan Victor lalu menggigit bahu Victor sekuat tenaga.
Victor mengernyit menahan rasa sakit di bahunya. Dia membawa tangan Ursenna untuk diperiksa oleh dokter. "Cepat periksa apa yang menyebabkan Senna seperti ini?!"
Wajah sang dokter ketakutan dan gugup ketika menerima tangan Ursenna untuk dia periksa denyut nadinya. "B-baik, Yang Mulia."
"Victor..." Suara Ursenna terdengar lemah. Dia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk menggigit bahu Victor yang kini berdarah terlihat dari warna merah yang merembes di pakaian yang Victor kenakan.
"Iya, Senna. Aku di sini." Victor mengecup pelipis Ursenna. Napas Ursenna tersengal-sengal dengan keringat dingin memenuhi dahinya.
Tangan kiri Ursenna terangkat untuk membelai wajah Victor. Sebuah senyum sendu terpatri di wajahnya yang kini hanya pasrah menerima rasa sakit yang dirasakan.
"A-aku sudah tidak kuat lagi, Victor..."
Victor menggelengkan kepala sambil menaruh tangannya di punggung tangan Ursenna yang berada di pipinya. Jantung Victor berdegup kencang, perasaan takut seketika memenuhi hatinya. Firasat buruk berdatangan membuat Victor putus asa.
"Tidak, Senna! Aku pasti akan menyelamatkanmu! Jadi, bertahanlah sebentar lagi!"
Ursenna menggelengkan kepalanya tanpa daya disertai senyum kecut. "Tidak... Kamu tidak akan bisa menyelamatkanku, Victor."
Air mata yang menggenang di pelupuk mata Victor, kini mengalir saat dia mengedipkan mata. "Aku bisa menyelamatkanmu, Senna. Aku bisa."
Bahkan jika mulut Victor mengatakan bahwa dia sanggup menyelamatkan Senna, pada akhirnya hati Victor masih dipenuhi keraguan. Melihat kegigihan Victor, Ursenna memasang senyum terbaik yang bisa dia pasang.
"Victor, kamu raja yang bijaksana dan juga ayah yang baik. Jadi,... ugh... jaga putri kecil kita, lindungi dia dengan nyawamu, dan juga sayangi dia..." Ursenna berkata dengan susah payah. Mata Ursenna mengerjap dengan gerakan lambat membuat Victor takut bila kelopak mata Ursenna akan menutup selamanya.
Bibir Victor bergetar, air mata mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Seorang raja sepertinya menangis untuk wanita yang dicintai. Apa artinya menjadi raja bijaksana jika dia bahkan tak bisa berbuat apapun saat istrinya kesakitan?!
"Aku akan melakukannya, Senna. T-tapi, aku juga membutuhkanmu di sisiku. Jangan tinggalkan aku, Senna..." Suara Victor serak, dia menundukkan kepala membuat air matanya menetes di wajah Ursenna.
Ursenna menarik paksa tangannya yang dipegang oleh dokter dan menangkup wajah Victor yang menangis. "Aku mencintaimu, Victor."
Ursenna mencium bibir Victor, kelopak matanya perlahan tertutup. "Jangan menaruh dendam apapun pada putri kita, Victor. Justru kamu harus melindunginya."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, kepala Ursenna terjatuh ke samping dan mendarat di bahu Victor. Tangan yang sebelumnya menangkup wajah Victor, kini terjatuh dan terkulai lemah. Sudah tidak ada lagi suara napas yang tersengal-sengal. Tak ada lagi rintihan kesakitan.
Hanya keheningan. Napas semua orang yang ada di kamar di mana Ursilla dilahirkan tercekat. Beberapa bahkan menutup mulut mereka dengan mata yang terbelalak tak percaya.
Tubuh Victor kaku, matanya menatap kosong ke depan. Mata Victor terbuka lebar tanpa berkedip satu kalipun, namun air mata tetap mengalir. Ada yang hancur. Victor menyadari hal itu. Perasaannya telah hancur berkeping-keping menyadari tak adanya kehidupan di tubuh orang yang berada di pelukannya.
Victor menundukkan kepala, menenggelamkan wajahnya di bahu Ursenna. "Senna... Senna... Jangan tinggalkan aku..."
Victor meraung-raung di bahu Ursenna yang telah tiada. Memeluk tubuh tak bernyawa tersebut dengan kesedihan yang mendalam. "Bagaimana bisa kamu meninggalkanku, Senna?"
Sedangkan Ursilla kecil yang berada di gendongan Emma, sudah berhenti menangis seolah tahu bahwa ayahnya sedang bersedih dan dia tak boleh mengganggu seperti sebelumnya.
Pelukan Victor mengerat, matanya yang memerah dan dipenuhi kesedihan kini berubah menjadi tajam. Ada amarah dalam tatapan itu. Rahang Victor mengeras, bibirnya terkatup rapat. Tak ada yang menyadari perubahan pada raut wajah Victor karena dia menenggelamkan wajahnya di bahu Ursenna.
Victor terkekeh dingin. "Bagaimana bisa aku hidup tanpamu?"