'Siapa yang iseng?' tanya seseorang.
Briel pun terdiam sejenak.
'Siapa ini? Dari tadi kamu tak bicara, aku pikir bisu,' ucap Briel.
'Hei!' orang itu memekik.
Briel menghela napas. Dia sudah tahu siapa orang yang sedang bicara dengannya di telepon. Dia tiba-tiba saja teringat suara itu.
'Ini aku Erland!' ucap orang itu.
Ya, dia memang Erland.
'Dari mana Erland tahu nomorku?' batin Briel.
'Halo?' Erland kembali bersuara.
'Memangnya kenapa kalau kamu? Kamu tetap saja menggangguku!' kesal Briel.
'Astaga! Apa beban hidupmu begitu besar?' kesal Erland.
'Tentu saja! Semenjak mengenalmu, lalu mendapatkan perlakuan kasar darimu, bahkan tanganku sampai mengalami luka bakar gara-gara ulahmu, itu adalah beban hidupku!' kesal Briel.
'Apa ini, Erland? Apa maksudnya semua ini? Kamu menganiaya Briel? Apa kamu melakukan kekerasan dalam rumah tangga?' pekik seseorang terdengar begitu keras dari dalam telepon.
Tubuh Briel menegang. Apa yang terjadi? Pikir Briel.
***
Di sisi lain, tepatnya di kantor Erland.
Erland mematikan telepon itu dengan cepat. Dia meremas kuat ponselnya. Tak di sangka Briel akan mengatakan semua itu begitu saja dan semua itu terdengar oleh orang yang kini ada sampingnya.
"Sejak kapan kamu menjadi pria yang begitu kasar? Beraninya kamu menganiaya seorang wanita!" geram seseorang.
"Mana mungkin aku kasar? Ini salah paham! Jangan dengarkan dia!" sangkal Erland.
Ya, orang itu adalah mamanya Erland. Mama Erland mendatangi Erland di kantornya karena mengantar makan siang untuk Erland. Mama Erland pun meminta Erland untuk menghubungi Briel. Mama Erland meminta Erland menanyakan apakah Briel sudah makan siang? Pagi tadi Briel tak sempat sarapan. Mama Erland jugalah yang memberikan kontak Briel pada Erland dan meminta Erland juga untuk meloudspeaker pembicaraan Erland di telepon.
"Lalu, kenapa dia bicara seperti itu?" tanya mama Erland.
"Mana aku tahu, yang jelas aku tak pernah berbuat kasar padanya. Mungkin, dia ingin mengadu domba kita agar kita bertengkar," ucap Erland.
"Jangan gila, mana mungkin dia tahu ada Mama di sini," ucap mama Erland.
'Iya, juga. Apa yang mama katakan memang benar. Tak mungkin dia tahu mama ada di sini. Tapi, bisa-bisanya dia bicara seperti itu! Sudah jelas-jelas tangannya terluka karena dia sendiri yang menjatuhkan tangannya ke dalam sup panas itu,' batin Erland.
"Jika kamu tak mau mengaku, orang rumah mungkin tahu apa yang terjadi. Mama akan pulang, dan menanyakannya pada mereka," ucap mama Erland.
"Astaga, Ma. Tak ada kekerasan dalam rumah tangga, aku hanya tak sengaja mencengkram tangannya saat di meja makan, dan tangannya terjatuh ke dalam sup panas!" pekik Erland.
Mama Erland yang baru saja akan membuka pintu lantas berbalik, dia kembali menghampiri Erland.
"Kenapa mencengkram tangannya?" tanya mama Erland.
"Ya, tak apa. Kami hanya bertengkar kecil saja, dan aku tak sengaja melakukannya," ucap Erland.
"Kalau begitu, selesaikan masalahmu dengannya, jangan sampai masalah terus berlarut. Itu takan baik," ucap mama Erland.
"Hem..." Erland duduk di kursinya, dia tak mengatakan apapun lagi.
"Malam ini, kalian akan makan malam di rumah 'kan?" tanya mama Erland.
Erland mengerutkan dahinya. Malas sekali harus makan malam dengan Briel, pikirnya.
"Aku sibuk," ucap Erland.
"Mamamu datang jauh-jauh dari Bandung, apa tak bisa menunda pekerjaanmu dulu? Sudah tahu Mamamu ini jarang datang ke sini, tak mau sekali memanfaatkan waktu bersama," ucap Erland.
"Bukan begitu, tapi aku memang sibuk, Ma," ucap Erland.
"Kalau begitu, percuma saja Mama datang. Sore ini juga Mama akan pulang ke Bandung. Entah apa kesalahan Mama di masa lalu, sehingga mempunyai anak yang tak menghormati Mamanya sendiri," ucap mama Erland seraya memasang ekspresi sedih.
'Astaga, terlalu di dramatisir. Aku hanya tak bisa makan malam di rumah saja Mama sampai seperti itu,' batin Erland.
"Aku akan coba selesaikan pekerjaanku lebih cepat, agar bisa makan malam di rumah," ucap Erland.
"Baiklah, Mama tunggu di rumah," ucap mama Erland dan keluar dari ruangan Erland.
Erland bangun dari duduknya.
Brak!
Erland menendang kursi kerjanya. Dia mengepalkan tangannya yang kini berada di atas meja kerjanya.
"Wanita gila itu, beraninya mengatakan semua itu di depan mamaku. Aku akan membuatnya menyesal karena terus saja mencari masalah denganku!" geram Erland.
Erland menyeringai, seketika ide meuncul di pikirannya.
'Kita lihat saja nanti, setelah aku melakukannya, apa kamu masih bisa mencari masalah denganku?' batin Erland kesal.
***
Sore hari di sisi lain.
Briel sampai di depan kediaman Gerald. Ya, dia benar-benar datang demi mengambil nilainya. Dia menekan bel di dekat pagar, tak lama seorang wanita paruh baya keluar dari dalam kediaman Gerald.
"Selamat sore," sapa Briel ketika wanita itu membuka pintu pagar.
"Selamat sore, mencari siapa?" tanya wanita itu.
"Saya muridnya Pak Gerald, apa dia sudah ada di rumah? Kebetulan, Saya sudah memiliki janji dengannya," ucap Briel.
"Oh, Nona bernama Gabriel, ya?" tanya wanita itu.
"Iya, kok tahu?" tanya Briel bingung.
"Tuan Gerald sudah menunggu Anda, Nona. Silakan masuk," ucap wanita itu.
"Oh, baiklah." Briel mengikuti wanita itu masuk ke kediaman Gerald.
"Nona diminta ke ruang kerjanya, ruangan Tuan Gerald ada di lantai atas, pintu kedua sebalah kanan, ya. Saya akan ambilkan minum dulu," ucap wanita itu dan meninggalkan Briel begitu saja.
Briel menjadi ragu, apa iya dia harus naik ke lantai atas begitu saja? Rasanya canggung sekali karena itu adalah kali pertama dirinya datang ke kediaman Guru melukisnya itu.
Briel melihat ke lantai atas, sepertinya tak ada pilihan.
'Sudahlah, pergi saja. Lagi pula, hanya untuk mengambil nilaiku. Di sini juga ada orang lain, dia takan macam-macam padaku,' batin Briel.
Entah mengapa Briel menjadi terpikiran hal yang tidak-tidak tentang Gerald.
Sesampainya di pintu yang di jelaskan oleh wanita tadi, Briel mengetuk pintu.
"Gabriela!" panggil Gerald dari luar ruangan itu. Sontak Briel menoleh dan melihat Gerald tengah menghampirinya.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Gerald.
Briel mengerutkan dahinya.
"Bukankah Bapak yang meminta Saya datang ke sini untuk mengambil nilai Saya?" tanya Briel bingung.
"Oh, masih mau nilaimu, ya?" ejek Gerald.
Briel menghela napas.
"Tentu saja, karena itu Saya datang ke sini," ucap Briel.
"Hem... Makanya, lain kali jangan terlambat," ucap Gerald.
"Saya juga tak mau terlambat, Pak. Apa boleh buat jika di jalan terjadi hal-hal yang tak diinginkan sehingga Saya terlambat datang," ucap Briel.
"Hem... Memangnya apa yang terjadi tadi pagi?" tanya Gerlad seraya sibuk mengambil tugas lukisan Briel.
"Tak apa, hanya kecelakaan kecil saja," ucap Briel.
Gerald menoleh ke arah Briel. Dia syok mendengar Briel mengalami kecelakaan.
"Apa kamu terluka?" tanya Gerlad.
"Tidak, hanya kecelakaan kecil, ha-ha-ha..." Briel terkejut karena Gerlad percaya begitu saja pada ucapannya.
Gerald mendekati Briel dan memberikan lukisan di tangannya pada Briel.
"Hem... Syukurlah jika tak terluka," ucap Gerald seraya tersenyum menatap Briel.
Briel terdiam, senyuman Gerald adalah kali pertama Briel lihat. Gerald tampak tak seperti Gerald yang dia kenal di tempat melukis.
"Kenapa bengong? Kamu tak mau melihat nilaimu?" tanya Gerald.
"Hem..."
Briel mengalihkan padangannya. Jantung Briel berdegup kencang, dia baru sadar satu hal bahwa Gerald begitu tampan meski saat ini tengah memakai pakaian santai. Di tambah, rambut Gerald yang tergerai bebas tak seperti ketika di tempat melukis yang tampak rapi menggnunakan gel rambut membuat Gerald semakin manis dan tak terlihat menakutkan di mata Briel.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu," ucap Briel dan bergegas menjauhi Gerald.
"Oh ya, Briel!" panggil Gerlad membuat Briel menghentikan langkahnya. Gerald memanggilnya Briel, rasanya tak biasa.
"Ya?" sahut Briel.
"Maaf jika selama ini Saya terlalu tegas. Sejujurnya, Saya hanya tak suka orang yang tak disiplin, tapi bukan berarti Saya membenci kamu. Saya menyukai kamu," ucap Gerald seraya tersenyum.
Briel terperangah. Wajahnya memerah mendengar apa yang Gerald katakan.
Tanpa mengatakan apapun lagi Briel pun bergegas pergi meninggalkan Gerald.
'Dadaku bergetar. Dia terlalu jujur, membuatku tak tahu harus berbuat apa?' batin Briel gelisah di tengah langkahnya.
Sementara itu, Gerald yang melihat ekspresi Briel pun menjadi bingung. Entah apa yang terjadi pada muridnya itu.
Briel memasuki mobilnya, dia menghela napas perlahan. Ucapan Gerald terus saja terngiang di telinganya.
'Hah, yang benar saja. Selama ini bahkan tak ada pria yang berani mengatakan suka padaku, tapi Pak Gerald justru langsung mengatakannya seperti tak ada beban,' gumam Briel syok.
Ponsel Briel berdering, kontak Erland terlihat memanggilnya.
'Kenapa?' tanya Briel dingin.
'Hem... Di mana kamu?' tanya Erland.
'Di manapun aku, bukan urusanmu,' ucap Briel dingin.
'Aku bertanya baik-baik, kenapa marah? Jangan-jangan kamu sedang melakukan hal yang tidak-tidak,' ucap Erland.
'Apa maksudmu?' tanya Briel tak mengerti.
'Ya, selingkuh dariku, maybe,' ucap Erland.
Briel menutup telepon itu.
'Apa yang dia katakan? Memangnya, aku selingkuh apa darinya?' gumam Briel.
Ting ting!
Sebuah pesan masuk ke ponsel Briel. Pesan itu dari Erland.
'Pulang sekarang, atau aku akan katakan bahwa kamu diam-diam mendatangi rumah pria pada orangtuamu!'
Briel terperangah, dia sontak melihat ke sekeliling.
'Dia mengikutiku, ya?' batin Briel syok dan bergegas menyalakan mesin mobilnya. Briel pun meninggalkan area kediaman Gerald.