Febiana tampak asyik menggoyangkan kursi kerjanya ke samping kanan maupun kiri. Bibirnya kerap kali mengerucut, sementara matanya bergerak tak menentu. Wanita itu sudah berada di dalam kantornya, terutama ruang kerjanya sejak empat jam yang lalu, terhitung dari jam empat dini hari. Namun kendati begitu, mata bulatnya tetap jernih tanpa ada sedikit pun pertanda diserang rasa kantuk.
Ya, Febiana memang sengaja berangkat lebih awal demi menghindari kemacetan di jalanan ibukota yang tentunya bukan hal asing lagi. Bersama dengan Feline, ia merundingkan sesuatu, dan masih berkaitan dengan Edward Sinclair. Bahkan, ia tidak segan meminta Feline untuk mencari tahu tentang siapa wanita yang bernama Kimmy, lantaran sudah tidak sabar ingin mengetahui apakah sosok itu cukup berguna baginya.
"Apa sudah ada kabar?" tanya Febiana sembari menghentikan tingkahnya. "Aku ingin tahu siapa Kimmy, Feline. Aku sangat penasaran!"
Feline menghela napas, kemudian berangsur menganggukkan kepala. "Beberapa detik sebelum kamu bertanya, aku dapat pesan dari informan terpercaya," jawabnya.
Sontak saja, Febiana terlonjak. Ia mecondongkan kepalanya ke depan dengan mata yang terbuka lebar. "Apa isinya?"
"Mm ...." Sejenak, Feline menimang-nimang. "Tak terlalu penting. Hanya wanita biasa yang sudah menikah."
"Ah!" Febiana menghela napas dengan lemah dan terkesan pasrah. "Kupikir bisa bermanfaat untuk kita. Tapi, jika hanya wanita biasa, kenapa Mr. Sinclair sampai menyebut namanya?"
"Mr. Sinclair menyebut namanya?"
Febiana mengangguk, kemudian menggeliat dan mengerang. Sudah tidak ada lagi rasa penasaran atau setidaknya sedikit antusiasme atas wanita itu. Kimmy hanya wanita biasa yang sudah menikah, tak ada artinya sama sekali. Bahkan menurut pesan yang sempat Feline perlihatkan, wanita itu bukan orang dari kalangan atas.
Helaan napas berat kerap kali terdengar mengisi heningnya ruang kerja bernuansa perak itu. Ada rasa gusar yang perlahan-lahan memasuki relung hati Febiana. Pikirannya berputar-putar demi mencari cara yang lain untuk keberhasilan niatnya. Namun, tak ada satu pun cara tepat, selain ... perihal fobia yang diderita oleh pesaing bisnisnya itu.
"Febi!" pekik Feline tiba-tiba sembari melihat layar ponselnya dengan mata terbuka lebar. "Ada pesan baru soal Kimmy!"
"Oh ya?" Febiana kembali terlonjak, dan menempelkan tubuhnya pada papan meja. "Katakan segera!" titahnya tanpa sungkan.
"Kimmy Devina. Salah seorang putri dari pengusaha manufaktur yang mana cukup besar."
"Pengusaha manufaktur?"
Feline mengangguk. "Mm ... dia bukan wanita biasa."
"Tapi, sekarang menjadi wanita biasa? Hmm ...." Febiana menarik tubuhnya lagi dan kembali bersandar pada kursi. "Menarik! Tapi, hanya sedikit."
"Kimmy Devina, juga merupakan mantan pacar Mr. Sinclair sekitar tujuh tahun yang lalu. Tidak ada penjelasan mengenai sebab renggangnya hubungan mereka, yang informan ini ketahui, mereka menjalin hubungan lebih dari tiga tahun."
"Mantan pacar?"
"Ya!"
Wajah gusar Febiana berubah takjub. Senyum sinisnya menarik kedua sudut bibir. Spekulasi tersusun di benak Febiana yang tercipta dari analisa-analisa instan. Misalnya, berasal dari informasi mengenai hubungan Kimmy dan Edward Sinclair tujuh tahun yang lalu, ada kemungkinan wanita itu adalah penyebab kemunculan fobia pada diri Edward. Dan tentu saja, hal itu bisa disimpan untuk kemudian ia manfaatkan. Tinggal mencari saja sosok Kimmy, lalu menghempas Edward di kala situasi tak menguntungkan.
Febiana mengembuskan napas tajam, kemudian melebarkan senyumnya. Mata bulatnya masih terpaku ke depan menatap apa pun di sana. Ia abaikan rasa heran yang membuat Feline sering kali memanggil namanya. Ia tidak peduli pada siapa pun ketika sedang asyik dalam dunianya sendiri.
Namun, beruntung, tak lebih dari lima menit, Febiana kembali normal. Sesaat setelah menghela napas dalam, ia menatap Feline dan bersiap melontarkan penjelasan. Satu menit berlalu, tetapi mulutnya masih bungkam dan membuat Feline merasa terhina. Dengan terpaksa, sahabat yang juga sekretaris pribadinya itu menggebrak meja tanpa sungkan.
"Katakan yang ada di pikiranmu, jangan membuatku mati penasaran! Terlebih karena cemas!" tegas Feline tak peduli tentang jabatan yang kini melekat pada diri Febiana.
Febiana menyengir. "Tidak bisakah kamu sopan sedikit pada atasan cantikmu ini?"
"Tidak bisa, selama kamu masih terobsesi pada Edward Sinclair. Pria itu berbahaya, Febi! Kumohon hentikan apa yang ada di pikiranmu saat ini."
"Sudah kukatakan, tak ada yang bisa menghentikanku, Feline!" Kali ini suara Febiana meninggi, lantaran jengah dengan peringatan yang nyaris puluhan kali diucapkan oleh sahabatnya itu. "Aku memegang janji pada Ayah, dan jika aku gagal, maka aku akan digulingkan! Itu tak bisa kuterima."
Feline mendesah pasrah. "Ya sudah, maaf. Tapi, tolong katakan apa yang saat ini kamu pikirkan. Jangan membuatku cemas, karena mau bagaimanapun aku tetap bertanggung jawab menjagamu."
Febiana menatap jam dinding digital yang terpasang di atas pintu ruangan. "Hanya lima menit dan kamu akan segera tahu. Simpan dulu soal Kimmy, dia belum terlalu berguna."
Feline bergerak-gerak gelisah. Tentunya ia kembali memikirkan apa yang baru dikatakan oleh Febiana. Jika soal Kimmy disimpan terlebih dahulu, ia rasa ada cara lain yang akan dilakukan oleh Febiana. Perasaannya menjadi tidak nyaman. Ia sangat menyadari jika Febiana bukanlah orang yang baik.
Entah dikatakan sebagai ambisi atau apa pun itu, yang pasti Febiana bisa melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang ia mau. Apalagi ketika tuntutan keluarganya agar Febiana lantas menorehkan prestasi atas perusahaan Big Golden selama masih menjabat sebagai seorang CEO, tentu saja Febiana akan semakin liar. Pasalnya, janji yang sahabatnya itu berikan pada sang ayah, bukanlah janji main-main.
Ya, Febiana memang hidup seperti itu sejak masih kecil. Ia selalu dituntut sempurna dalam segala aspek, dan dilarang memiliki satu pun kelemahan. Ketika ia menjadi putri tunggal, tentu ada banyak tanggung jawab yang diberikan olehnya, tanpa terkecuali perusahaan. Lantaran banyak sekali ancaman dari para pemegang saham yang ingin mengambil alih jabatan tertinggi, Edwin—ayahnya—terus mendesaknya untuk berusaha lebih keras demi perusahaan sekaligus dirinya sendiri.
Lima menit berselang, pintu ruangan itu terdengar tengah diketuk oleh seseorang. Kemudian, Feline beranjak melakukan tugasnya sebagai seorang sekretaris yang ramah. Seorang pria asing dengan kamera yang terkalung di leher, membuat Feline lantas heran.
"Selamat pagi, Nona Febiana dan Sekretaris Feline," ucap pria itu dengan ramah.
Feline mengangguk. "Selamat siang."
Febiana melipat kedua tangannya ke depan, hendak mendominasi keadaan. "Kemarilah," titahnya.
Pria itu mengangguk kemudian melakukan perintah Febiana, disusul Feline di belakangnya.
"Sapta. Namamu?" tanya Febiana sesaat setelah pria itu duduk di hadapannya.
Sapta mengangguk. "Benar, Nona. Saya Sapta," jawabnya.
"Sebesar apa nyalimu, Sapta. Tampaknya kamu lebih muda dariku, apa kamu masih wartawan baru?"
"Setidaknya, saya sudah lima tahun menggeluti pekerjaan ini, Nona. Untuk nyali, saya bisa memastikan sebesar keinginan Nona."
Febiana mengangkat alisnya. "Oh ya? Oke ... lalu, apa kamu bisa dipercaya?"
"Selama harganya memuaskan tentu saya sangat bisa dipercaya."
"Waaah! Kamu terlalu berani, jauh dari bayanganku. Aku bisa memberikan sebanyak apa pun yang kamu mau, tapi tentunya aku juga memiliki beberapa syarat untukmu."
Febiana lantas beranjak. Ia menghampiri sebuah brankas dengan diiringi tatapan gelisah milik Feline. Tak berselang lama, amplop tebal dan dua map besar ia keluarkan dari tempat penyimpanan itu.
Sesaat setelah mendudukkan dirinya kembali, Febiana menyodorkan barang-barang itu di hadapan Sapta.
"Ada foto orang itu di dalam sini, yang tentunya kamu sudah mengenal," ucap Febiana sembari menunjukkan salah satu berkas. "Ini uang yang kamu inginkan dan ini surat perjanjian kita yang wajib kamu tanda tangani," lanjutnya dan beralih pada dua barang yang lain.
Feline menggigit bibir. "Febi?" gumamnya.
"Pertama, naikkan berita tentang fobia orang di dalam foto, besarkan dengan rumor jika pria itu tak menyukai lawan jenis. Lalu, ungkap semua keburukan yang ada pada dirinya. Apa kamu sanggup, Tuan Sapta?"
Sapta tersenyum. "Tentu saja!"
Setelah beberapa perbincangan panas dan penuh rahasia itu, proses kesepakatan dilanjutkan dengan penandatangan surat perjanjian. Febiana tidak mau kecolongan, apalagi pria serakah layaknya Sapta bisa saja mengkhianatinya. Setidaknya, ia harus memiliki setidaknya satu senjata untuk menjerat diri Sapta.
"Febi apa perlu sampai seperti ini?" tanya Feline, tetapi masih tidak diindahkan oleh Febiana.
***