Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 2 - Kesempatan yang Hilang

Chapter 2 - Kesempatan yang Hilang

Terhitung dua kali, Edward menggebrak benda berjenis sama, tetapi berbeda rupa. Ia melampiaskan kekesalannya pada meja kerjanya sendiri. Sementara di hadapan matanya, seorang pria berwajah gelisah tengah berdiri, melainkan Ibnu yang saat ini terpaku diam tanpa berani menatap atasannya itu.

Lebam dan luka di bibir Ibnu yang masih dihiasi suatu cairan berwarna merah tak lepas menjadi objek tatapan mata Edward. Setelah sebelumnya, dirundung kekesalan, kini hadir sebuah perasaan bernama heran di hatinya. Pasalnya, sejak bertemu Ibnu, ia sama sekali belum menyentuh wajah sekretarisnya itu. Namun, Ibnu justru sudah menderita luka lebam dan memar, bahkan berdarah.

Tak lama berselang, Edward menghela napas, kemudian bertanya, "Apa yang terjadi padamu? Seingatku, aku belum pernah menyentuh atau bahkan menghajarmu sebagai hukuman bagimu yang tak becus bekerja."

Ibnu menelan saliva. Kegetiran melingkupi hatinya. Ia dirundung kebimbangan untuk mengungkapkan insiden sebenarnya sampai ia menderita luka lebam. Sebenarnya, beberapa saat yang lalu, tepat ketika Edward datang, ia yang masih sibuk di dalam toilet terpaksa menyudahi aktivitas biologisnya. Sialnya, ketika ia berjalan dengan terburu-buru, kakinya justru tersandung alat pembersih lantai. Alhasil, tubuhnya terpelanting ke depan dan wajahnya membentur pilar besar.

"Ibnu, aku sedang bertanya padamu!" tegas Edward karena Ibnu tak segera memberikan jawaban dan justru masih asyik dalam diam.

"A-anu, Tuan. Tadi saya, hanya sekedar tersandung dan terpelanting menghantam pilar," ungkap Ibnu dengan ekspresi wajah malu-malu. Belum lagi kegelisahan yang semakin meradang membuatnya kesulitan untuk mengumpulkan keberanian, meski hanya sebesar satu butir merica.

Edward mendesis. "Pantas saja!" ucapnya. "Menjaga diri sendiri saja tidak becus, apalagi menjaga kepercayaan besar yang kuberikan padamu. Apa kamu tahu, sebesar apa kekecewaan yang tumbuh di hatiku pada diri sekaligus kinerjamu, Ibnu!"

Edward beranjak. Pria blasteran Perancis itu berjalan menghampiri Ibnu dengan tangan yang berangsur ia masukkan ke dalam kantong celana berwarna hitam. Meski terlihat sedikit lebih tenang, mata birunya tetap memancarkan pendar kemarahan. Edward yang sudah memiliki sifat dingin, semakin bertambah menyeramkan. Dirinya terlihat seperti seorang psycho yang tampak ramah, tetapi justru membahayakan.

Kemudian, setelah sampai di hadapan Ibnu, Edward menghentikan langkah. Gemelutuk giginya terdengar, dan ada kemungkinan ia akan melayangkan tinju ke wajah sekretarisnya itu.

Namun ... beruntung, setelah sekian detik berlalu, Edward memilih melemahkan ketegangan dirinya daripada melakukan kekerasan.

"Aku akan memaafkanmu untuk kali ini. Tapi, ... ada beberapa tugas yang perlu kamu tangani, Saudara Ibnu," ucap Edward.

Ibnu menghela napas lega, seolah ia baru saja terbebas dari jerat menyakitkan berkat cengkeraman api amarah milik Edward. Kemudian, tanpa menunggu lama dan mencegah adanya kekecewaan baru, Ibnu cepat-cepat memberikan anggukan.

"Saya siap melakukan tugas apa pun, Tuan!" ucap Ibnu penuh semangat.

Edward menghela napas. "Baiklah. Untuk langkah pertama, amankan dulu lahan itu. Dengan cara apa pun, kamu harus berhasil mendapatkannya. Jangan sampai kecolongan lagi!"

"I-itu ...." Kali ini rasa ragu yang hadir di dalam diri sekaligus hati Ibnu. Ada satu fakta yang lupa ia sampaikan pada Edward. "Lahan itu ...."

Ucapan menggantung dan sikap Ibnu yang terkesan ragu, membuat Edward berangsur curiga. Matanya memicing menatap sang sekretaris. "Kenapa kamu ragu sekali untuk mengatakannya? Apa yang terjadi? Jangan-jangan—"

"No-nona Febiana telah mendapatkannya lebih dulu, Tuan. Maaf, Tuan, saya mohon maaf."

Tak ada jawaban yang Edward berikan untuk memberikan respon atas pengakuan Ibnu, justru tinju keras yang ia daratkan di wajah sekretarisnya itu.

Alhasil, Ibnu tersungkur ke lantai. Luka yang sudah ia dera semakin besar dan tentu saja terasa perih luar biasa. Namun, tak ada kesempatan baginya untuk sekadar meringis kesakitan, sebab Edward bisa saja memecat dirinya jika tak kunjung memohon maaf lebih banyak lagi.

"Tuan Edward sa-saya minta maaf," ronta Ibnu sembari bersimpuh di hadapan Edward. Kendati diperlakukan tak layak, tetapi ia justru mengerti atas kekecewaan atasannya itu. Pasalnya, sebagai seorang sekretaris kelas atas, ia sama sekali tidak memiliki bakat dalam berbisnis. Dan pada akhirnya, Edward harus kehilangan dua kesempatan besar.

Edward menghela napas, kemudian memijat pelan pergelangan tangannya yang terasa nyeri. Tak semata karena emosi yang disebabkan oleh kebodohan Ibnu, melainkan juga kesempatan untuk mendapatkan lahan strategis pun hilang. Rasanya dalam satu hari semua nasib buruk menimpanya tanpa rasa sopan. Belum hilang kekesalan mengenai desakan turun tahta dari para saudaranya, kini dua kesempatan emas pun lenyap.

Edward memajukan salah satu kakinya, sementara kedua tangannya memegang pinggang. "Cari tahu siapa Febiana Aditya. Bukan hanya status dan kedudukan, tapi juga sifat dan terutama kelemahannya. Aku ingin kamu menebus kesalahanmu dengan cara itu. Kurasa itu cukup mudah bagimu," titahnya.

Ibnu mengangguk. "Baik, Tuan."

"Lakukan sekarang!"

"Baik, Tuan!"

Sesaat setelah membangunkan dirinya, Ibnu segera pergi dari hadapan Edward untuk melaksanakan tugas baru. Ia berharap kali ini dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan sebaik mungkin. Selain tidak ingin membuat Edward kecewa lagi, Ibnu juga harus mendapatkan kinerja baiknya kembali.

Sepeninggalan Ibnu, Edward kembali ke tempat kerjanya. Ia duduk dengan menyandarkan punggung di kursi mewahnya. Tak seperti lagaknya yang tampak tenang dan santai, sebenarnya kegelisahan mulai mendera hatinya secara perlahan. Edward tidak mau jika kemunculan Febiana memberikan dampak negatif bagi perusahaannya. Oleh sebab itu, ia memikirkan beberapa cara untuk mengambil kuasa atas Mr. Hector sekaligus kepemilikan lahan yang telah ia tentukan jauh-jauh hari.

Beberapa saat termenung, muncul sebuah ide yang membuat Edward segera mengambil tindakan. Ia memainkan kursor di dalam monitor laptopnya, yang kemudian masuk ke dalam jejaring internet. Pada kolom pencarian ia mengetik nama Febiana Aditya. Tanpa menunggu lama, muncul beberapa artikel yang memuat riwayat hidup wanita itu.

Dari tulisan yang tercantum di laman tersebut, Febiana Aditya memang benar-benar seorang CEO dari Big Golden Real Estate group, yang masih berada di urutan keenam terbesar di Indonesia. Wanita berusia 30 tahun itu masih merupakan pimpinan baru untuk perusahaannya sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi, Febiana sudah pasti masih sangat ranum jika dianggap sebagai musuh membahayakan. Hanya saja, keberaniaannya sukses membuat Edward merasa gusar.

"Kita lihat saja, Nona. Kamu hanya belum tahu seperti apa diriku. Kamu yang memberi umpan, maka aku tak akan segan untuk memberikan hadiah besar!" Edward memacu detak jantungnya dengan meningkatkan keyakinan di dalam dirinya. Ia yang tidak akan menyerah dengan segala keinginannya, tetap akan bertekad untuk mengambil kembali apa yang diambil oleh Febiana.

Semua perusahaan yang merambah di bidang yang sama, biasanya menghindari terlibat masalah dengan Sinclair Real Estate, sehingga Javier maupun Edward telah terbiasa akan kemenangan. Namun tidak dengan Febiana, CEO yang menurut kabar baru bertahta satu tahun yang lalu sudah berani menghambat keinginannya. Membuat Edward tak akan tinggal diam atau merelakan lahan dan kesempatan kerja sama dengan Mr. Hector diambil begitu saja oleh Febiana.

"Bahkan, jika aku harus menyingkirkanmu, aku tetap akan melakukannya, Nona. Harga diriku tak bisa diremehkan!"

Edward menciptakan sebuah janji atas namanya sendiri serta nama keluarga besar dan perusahaan, ia akan menyingkirkan setiap penghalang. Apalagi hanya seorang wanita mungil, yang mungkin akan lebih mudah dalam merealisasikan rencananya. Karena demi Tuhan, Edward merasa terhina atas keberaniaan Febiana yang seolah tengah memasang genderang peperangan.

Jika Ibnu berhasil menemukan setidaknya sedikit saja kelemahan Febiana, Edward akan memanfaatkan hal itu untuk menghancurkannya. Namun, sebelum bertindak lebih jauh, tentu saja ia akan memilih jalan lebih damai dengan mendesak Febiana mundur secara suka rela dari kesepakatan bisnis bersama Mr. Hector.

***