Tiga hari kemudian. Hari di mana Rena akan berangkat ke Polandia. Pesawat Rena akan terbang pukul 10 malam.
Sebenarnya ada jam penerbangan siang. Namun Roni dan Rena sepakat memilih jam malam, agar Roni tetap bisa bekerja mengurus perusahaannya.
Sebagai seorang CEO ia bisa dengan mudah menyuruh karyawan menggantikan tugasnya. Tapi ia sengaja menyibukkan diri dari pagi, ia sebenarnya berat berpisah dengan adik kesayangannya itu. Tapi ia tidak bisa mengatakan itu pada siapapun.
Rena tidak membawa banyak barang, karena ia akan tinggal bersama ayahnya. Ia bahkan hanya membawa 1 buah koper besar.
Disisi lain Nadia harus mengabaikan rasa lelah dan mengantuk demi mengantar sahabatnya itu. Mengingat tempatnya di luar negeri, dan dia akan semakin lama berpisah dengan Rena.
Saat ini mereka berempat sudah bersiap di terminal 2 Jurusan ke Polandia.
Sebenarnya Adit sudah berjanji akan mengantarkan Nadia ke bandara. Nadia ingin memperkenalkan Adit pada Rena.
Namun Roni segaja mengirim sopir lebih dulu ke kost Nadia. Roni tidak ingin Adit ikut dalam acara perpisahan adiknya itu.
Adit merasa kecewa ketika mendapati kost Nadia telah kosong.
"Tadi Nadia nyuruh aku jemput dia, kok malah kostnya kosong, ke mana sih dia?" Adit menarik sedikit satu alisnya.
Ia merogoh saku celananya, lalu menelepon Nadia
"Sayang katanya suruh jemput kok kostmu kosong?"
"Iya, tadi aku dijemput Pak Didi, maaf ya, abis Rena yang maksa," jawab Nadia gugup. Nadia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa bersalah karena telah meninggalkan Adit.
Namun Adit berjanji akan segera menyusul ke bandara. "Oke, aku susul ya?"
"Iya, aku tunggu ya, di terminal 2," jawab Nadia.
Suasana di bandara menjadi haru. Mata Reni bahkan terlihat berkaca-kaca. Sebenarnya ia tidak rela putrinya itu pergi. Ini bukan karena ia tidak rela Rena bersama ayahnya.
Ada hal lain yang menggangu pikirannya. Ia merasa sepertinya akan ada sesuatu yang terjadi, entah apa, ia sendiri tak tahu.
"Mama kenapa?" Rena mengusap pundak mamanya lembut.
Air mata Reni akhirnya tumpah, ia tidak bisa menahannya lagi. "Jangan pergi!"
Pundak Rena merosot, "Tapi- kenapa?" kemarin mamanya sudah setuju, tapi kenapa kini ia harus berusaha mencegahnya?
Rena memeluk tubuh ibunya. "Aku akan sering pulang ma," bujuknya.
Bagi keluarga Rena membeli tiket bolak-balik dari Polandia ke Indonesia, atau sebaliknya memang bukan masalah besar. Mereka tidak kesulitan ekonomi. Ayah Rena juga memiliki banyak uang. Tapi mama Rena seolah merasa mereka akan berpisah dalam waktu lama.
Reni menundukkan kepalanya. "Bukan itu, mama punya firasat tidak baik Ren."
"Ma, aku akan tinggal bersama ayahku sendiri, jadi mama tidak perlu khawatir."
Tapi tekad Rena sudah bulat. Dan tak seorangpun bisa mencegahnya. Bertahun-tahun ia berpisah dengan ayahnya, dan sekarang ia ingin sekali tinggal dan kuliah di sana. Ia juga ingin merasakan kasih sayang seorang ayah.
Nadia yang melihat pemandangan itu ikut terharu oleh suasana. Bahkan kini tanpa sadar pipinya ikut basah oleh air matanya. Ia hanya bisa pasrah dengan keputusan sahabatnya itu.
"Katanya tadi pacarmu mau kesini, mana Nad?" Rena bertanya pada Nadia untuk mengalihkan pembicaraan.
Nadia terkekeh. "Entahlah, mungkin dia kejebak macet." Jawab Nadia.
"Lain kali video call aku bersama pacarmu itu ya?" ucap Rena dengan senyum yang dipaksakan.
Sementara Roni. Ia hanya bisa diam. Namun matanya nanar menatap tangis mamanya. Ia sangat menyayangi mamanya, tapi tidak dengan ayahnya.
Matanya yang tadi sayu berubah menajam. Hatinya sudah mengeras. Ia tidak lagi merindukan ayahnya. Selama ini dia merasa ibunya yang sudah bersusah payah merawat dan membesarkannya seorang diri.
Dua puluh menit kemudian, dengan hati yang berat Rena melangkah meninggalkan mereka bertiga, karena pesawat yang akan Rena tumpangi akan segera berangkat.
Rena bahkan tidak mampu berkata apa-apa, ia seperti menahan tangis, lalu melambaikan tangannya.
Sementara Reni yang tadinya setuju dengan keberangkatan Rena, menjadi tidak rela akan kepergian putrinya.
Tapi kini ia tidak bisa mencegahnya. Rena sudah terlanjur masuk di ruang tunggu setelah selesai check -in. Rena melambaikan tangan dengan terpaksa pada Reni.
Setelah bayangan itu pergi Reni menangis sesenggukan di pundak Roni. Ia tidak pernah berpisah dengan Rena dalam waktu yang lama.
Sementara dari kejauhan Adit melambaikan tangan pada Nadia. Ia mengetahui mereka masih di sana, Nadia yang memberitahukan lewat chat. Karena ia sungkan jika harus meminta diantar pulang oleh keluarga Roni.
"Yah...Kok baru datang? baru aja mau aku kenalin sama Rena," bisik Nadia menarik sedikit sudut bibirnya.
Adit terkekeh. "Iya macet tadi, maaf ya," sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Sempat-sempatnya ia menyusul," gumam Roni. ia melirik sinis ke arah Adit dan itu disadari oleh Nadia.
Nadia melihat sesuatu yang aneh ketika memandangi Roni. Ia merasa Roni tidak menyukai kehadiran Adit. Nadia berinisiatif segera pulang agar tidak membuat mood bosnya itu bertambah parah.
Sementara Reni pandangan matanya kosong, ia masih sedih atas kepergian Rena. Namun hanya 2 detik, setelah itu lamunannya buyar, karena Nadia dan Adit berpamitan pulang.
Sementara di tempat lain, Rena hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia bahkan membuka kaca mata hitamnya untuk memastikan. Ia melihat seseorang laki-laki yang tak asing baginya.
Bayangan itu seperti mantan kekasihnya yang belum berhasil Rena lupakan. Ia menajamkan pandangannya. Ia hampir melangkahkan kakinya mendekati sosok itu. namun dua detik kemudian dia berbalik badan, ia urungkan niatnya mengejar pria itu, karena pesawat yang akan ia tumpangi segera berangkat.
Rena menelan ludah, sambil berjalan ia menyangkal sendiri dengan apa yang ia lihat. "Tidak mungkin, itu pasti bukan dia."
Sebenarnya Rena bisa dengan mudah membatalkan tiket pesawatnya. Tapi ia sudah sangat rindu dengan ayahnya.
Selama ini mamanya menggambarkan ayahnya sebagai seseorang yang jahat. Padahal terakhir bertemu ayahnya adalah seorang yang sangat hangat.
"Tante kita pulang duluan ya," ucap Nadia ragu.
Reni berbalik badan. Ia melirik ke arah Adit dan Nadia, masih dengan mata yang mengambang basah.
Nadia spontan mengeluarkan tisu dari dalam tasnya, dan segera mengulurkannya pada Reni. "Ini Tante."
"Iya terima kasih, Tante juga mau pulang," Reni menyapu air mata dengan tisu pemberian dari Nadia. Tapi nyatanya Reni belum mau beranjak dari tempat itu.
"Sama-sama Tante," Nadia mengulum senyum. Setelah itu mereka berpisah. Adit dan Nadia bergegas pulang. Mereka takut jika pulang terlalu malam besoknya akan terlambat masuk kerja.
Kini Nadia dan Adit sudah duduk di dalam mobil. Mereka juga sudah keluar dari area parkir bandara.
Nadia mencoba memejamkan matanya. Rasanya dia sudah lelah dan mengantuk, bahkan dia sudah menguap untuk yang kedua kalinya.
Nadia membuka sedikit mata kanannya. Ia melirik ke arah jam tengan rose gold miliknya. sudah jam 11 malam tapi ia belum bisa tidur. Padahal biasanya ia akan mulai membaringkan tubuhnya di atas kasur pukul setengah sembilan malam.
Ternyata Nadia lapar, dan kini ia tidak bisa lagi menyembunyikan suara perutnya yang sudah mulai keroncongan.