Dan hal itu langsung disadari oleh Adit. Ia lalu terkikik, "udah nggak usah ditahan kalau lapar."
"Emangnya perutmu akan kenyang kalau kamu merem gitu?"
Akhirnya Nadia membuka mata, ia tersenyum malu, dan setelah itu merengek untuk dibelikan makan. "Iya aku lapar, makan yuk," Nadia menjawab tanpa basa-basi.
"Mau makan apa?" tanya Adit kemudian.
Nadia menunjuk sebuah warung nasi goreng di pinggir jalan. Mobil yang mereka tumpangi belum jauh dari bandara.
Adit tidak protes sama sekali dengan pilihan Nadia. Ia langsung menurut saja, dan segera menepikan mobilnya. Ia tahu betul Nadia tidak bisa menahan lapar.
Di tempat lain. Roni belum berhasil mengajak mamanya untuk pulang. Reni masih setia di tempat tadi mengantar Rena, hanya saja dia sekarang duduk di kursi tunggu khusus pengantar.
"Ma, Rena cuma pergi keluar negeri ma, dia bisa pulang kapanpun yang dia mau," ucap Roni menenangkan mamanya.
Walaupun Roni kaku dan menyebalkan, namun ia akan bersikap lembut dan manis kepada adik juga mamanya.
"Mama belum pernah berpisah dalam waktu yang lama dengan Rena, Ron." Ucap Reni kemudian.
"Waktu itu kan Rena juga pernah nyusul ayah ma, pas acara gathering kita?"
"Hanya seminggu Roni, kali ini berbeda, dia akan pergi dalam waktu lama."
"Lagipula ada sesuatu yang mengganjal di hati mama, sepertinya Rena akan-" Reni membungkam mulutnya sendiri, ia bahkan tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Roni menggenggam tangan mamanya. "Udahlah ma, jangan berpikir yang aneh-aneh, semua akan baik-baik saja." Kata Roni. "Ayo kita pulang ma. Please! setidaknya demi aku."
Kata-kata dari Roni akhirnya mampu meluluhkan hati Reni. Ia pandangi wajah anaknya. Ia harus pulang. Ia tidak ingin membuatnya cemas. Reni mengangguk. "Oke," ucap Reni pasrah.
Di tempat lain. Nasi goreng Adit dan Nadia kini sudah habis tak tersisa. Waktunya mereka kembali pulang.
sepuluh menit mobil berjalan. Nadia sudah hampir tertidur karena terlampau lelah. Mungkin juga terlalu kenyang oleh nasi goreng di pinggir jalan tadi.
Begitupun dengan Adit. Sebenarnya ia sama mengantuknya dengan Nadia. Namun ia tidak punya pilihan lain selain memfokuskan pandangannya ke depan.
Tiba-tiba Adit mengerem mendadak. Nadia terkejut, ia bahkan hampir terjungkal. Untung saja ia sudah memakai seat beltnya. Wajah Nadia berubah menegang. "Ada apa sih Dit?" tanya Nadia penasaran.
Adit membuang napas kasar. Pandangannya masih fokus ke depan. Ada yang aneh dengan Adit. Ia seperti melihat sesuatu. Nadia tak kalah tercengang ketika melirik ke arah depan.
Dua orang berbadan besar mencegat mereka. Dan kini pria yang membonceng di belakang turun dan mulai mendekati mobil sedan putih milik Adit itu.
Ia mengetuk kaca jendela mobil samping Adit, disusul oleh temannya yang mengendarai motor tadi. Sementara motor yang mereka tumpangi sengaja mereka taruh di depan mobil kami agar tidak bisa pergi ke mana-mana.
"Astaga, mau apa sih dia?" Pekiknya, antara bingung bercampur takut.
Adit mengatur tempo napasnya. "Tenang Adit, tenang," bisiknya pelan. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia sebenarnya takut, tapi tidak ingin nampak oleh Nadia.
Nadia menepuk pundak Adit. Ia bertambah panik, karena pria itu bertambah keras menggedor kaca. Sementara temannya mengancam akan memecahkan kaca jendela mereka jika tidak lekas turun. "Adit, gimana ini, aku takut," kini Nadia tidak bisa lagi menahan air matanya.
Adit membuat ekspresi setenang mungkin agar Nadia berhenti menangis. "Kamu tetap duduk tenang di sini, biar aku yang turun hadapi mereka, oke?!" Suruhnya.
Nadia menatap Adit ragu. Apa Adit bisa menghadapi kedua preman itu? Badan Adit tidak cukup besar, bahkan kalah besar dari mereka.
Apa yang akan diperbuat oleh kedua preman itu? Dan lagi, apa yang bisa Adit lakukan? Pikiran Nadia menjadi kalut. Ia takut, ia bingung.
"Udah kamu tenang aja, jangan buka pintu untuk mereka ,ya?" Suruh Adit sambil membuka seat belt dan tangan kanannya membuka pintu.
Nadia berusaha mencegahnya. Ia takut akan terjadi sesuatu pada Adit. "Jangan Dit, jangan! aku nggak mau kamu kenapa-kenapa," cegah Nadia. Tangannya mencoba meraih tangan Adit namun gagal, Adit terlanjur keluar dari mobil.
"Aku tidak yakin dia bisa bela diri," gumam Nadia, ia mencemaskan kemampuan Adit menghadapi penjahat itu.
Brraakk!!
Adit jatuh dipukul preman berkepala plontos. Badannya dilempar ke depan mesin mobil.
"Awas…!" Pekik Nadia panik, bagaimana tidak, ia melihat Adit jatuh tersungkur seperti itu. Padahal ini baru dari salah satu preman, tapi itu sudah membuat Adit kewalahan.
Benar yang Nadia khawatirkan. Adit tidak bisa melawan mereka. Nadia ingin menelepon polisi tapi ketika dia hendak menghubungi nomor tersebut ponselnya tiba2 mati.
Tak lama Nadia melihat sebuah kilatan cahaya mobil dari arah belakang mobilnya. Mobil itu diamati secara cermat oleh Nadia. Sepertinya ia sering melihatnya.
Benar saja. Ternyata mobil itu milik Roni. Awalnya ia menaruh harapan Roni bisa membatu Adit. Tapi sedetik kemudian ia memutar bola matanya, ia menaikkan satu alisnya, seperti Roni juga tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Cciiitt!
Mobil itu berhenti.
Reni yang melihat keributan di jalan, menyuruh sopirnya menepikan mobil. Ia tahu betul itu mobil salah satu karyawannya, yaitu Adit. Ia bertambah cemas karena di dalamnya ada Nadia.
"Berhenti pak!" Suruhnya, membuat Pak Didi mengerem mendadak.
"Ada apa sih ma?" Roni bertanya dengan wajah yang biasa saja, ekspresi wajahnya tidak cemas seperti mamanya.
"Itu lihat mobil Adit, dan lihat lagi berantem sama--"
"Coba kamu cek deh Ron, kayaknya mereka mau berbuat jahat sama Nadia dan Adit."
"Telepon polisi aja ma, aku sedang malas menghadapi mereka," jawabnya datar.
"Kelamaan Roni, kasian mereka," Reni menepuk pundak Roni.
Roni menaikkan satu alisnya. Dengan langkah malas Roni membuka pintu mobilnya. Tapi ia harus melakukannya demi ibunya. Ia tidak merasa takut menghadapi 2 orang berbadan besar itu. Bukan,- ia hanya malas karena sudah merasa lelah hari ini.
"Lepasin dia!" Seru Roni.
"Lawan aku kalau berani," lanjutnya.
Para preman itu langsung melirik ke arah Roni. "Wah, mangsa baru nih," kata seorang preman, mengusap dagunya dan menaikkan satu alis dengan senyum menyeringai.
Setelah itu Roni terlibat perkelahian dengan kedua preman itu.
Gubrak!!
Suara seseorang terjatuh, bahkan mengeluarkan darah segar dari hidungnya. Membuat Nadia lagi-lagi berteriak histeris.