Setelah satu jam meeting akhirnya selesai. Nadia sudah mengantar para client untuk meninggalkan perusahaan. Dia juga sudah menyelesaikan meeting tersebut dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Siangnya Nadia ke kantin karena keadaannya yang memaksanya untuk pergi. Ia harus makan meski tidak terlalu lapar.
Nadia melangkah malas menuju kantin. Seorang diri.
Nadia duduk sambil melihat ke sekelilingnya, hampir pengunjung kantin telah menyelesaikan makan siangnya. Tapi tidak dengan dirinya. Menatap bangku kosong di depannya. Biasanya ia akan makan berdua dengan Adit.
Tadinya ada seorang temannya menemani makan, tapi ia sudah beranjak karena telah selesai makan.
Nadia ingin mengeluh atas kesepian yang harus ia alami sekarang.
Sendok dan garpu masih tergeletak di atas piring dengan rapi. Ia memandangi makanannya yang tidak membuatnya nafsu makan sama sekali.
Namun matanya tiba-tiba mengarah pada benda tipis yang terus berdering. Nama Adit muncul di layar. Ia tersenyum senang. Lalu buru-buru menggeser tombol hijau berlambang telepon itu ke atas.
"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Nadia antusias.
"Aku udah nggak apa-apa kok, malah kata dokter besok bisa pulang," jawabnya, membuat Nadia lega, kemudian mengerutkan keningnya, ia sedang berpikir, kalau Adit sudah boleh pulang, lalu bagaimana dengan Pak Roni?
Pertanyaan itu tiba-tiba menggelayuti Nadia, perasaan bersalah, semua terjadi karenanya.
"Halo Nadia, kok kamu diem?" tanya Adit di ujung telepon karena Nadia diam lama.
"A-syukurlah Dit, aku lega mendengarnya," jawab Nadia terbata karena gugup.
"Udah makan belum?" tanya Adit.
"Belum," jawabnya singkat. Mana mungkin Nadia bisa makan sedang ia memikirkan kondisi Roni.
"Makan dong nanti kamu sakit," pinta Adit.
"Iya, kamu sendiri udah makan belum?" Nadia bertanya balik.
"Udah nih barusan. Kamu nanti sore ke sini kan?"
"Iya tentu saja, aku pasti akan ke rumah sakit setelah jam kantor usai. Kamu istirahat gih biar cepet pulih."
Setelah telepon Adit berakhir, ponselnya sekarang bergetar, sebuah pesan chat dari Pak Roni masuk.
Roni: kamu nanti pulang kerja ke sini, ambilkan baju tidur saya, juga sprei saya yang berwarna hijau kotak-kotak, sudah disiapkan pembantu saya, tinggal kamu bawa saja. Dan lagi, kamu kerja jangan malas-malasan!
"Dia sedang sakit tapi bisa bernada mengintimidasi seperti ini," ucap Nadia. Bukannya kesal Nadia justru terkekeh.
"Kalau dipikir-pikir hidupku sepi tanpa omelannya," Tanpa sadar aku tersenyum.
Nadia: Baik pak saya mengerti. Jawabnnya pendek. Nadia segera membalas chatnya, ia tidak mau bosnya menunggu terlalu lama. Bahkan kini ia dapat melahap habis makanannya setelah mendapat pesan chat dari bosnya. Semangatnya seakan kembali.
Perasaan apa ini? Kenapa ia begitu senang hanya karena mendapat chat dari Roni? Apa ini cuma karena dia lega atas perkembangan kesehatan Roni?
"Ah sudahlah, mikir apa aku ini. Lebih baik aku kembali bekerja," ucapnya sambil berdiri dan meninggalkan kantin.
***
Sepulang dari kantor Nadia pergi ke rumah sakit tempat Roni dan Adit dirawat.
Karena perasaannya masih tak enak. Lantaran dia merasa jika dirinya lah yang menyebabkan Roni masuk ke rumah sakit.
Sesampainya di sana. Alih-alih ke ruangan Adit dulu dia langsung ke kamar Roni. Lengkap dengan pesanan Roni.
Ia melihat lelaki itu sedang kepayahan ketika hendak bangkit dari ranjangnya. Tidak ada seorangpun di sana, termasuk Reni.
"Apa ada yang bisa saya bantu Pak?" Nadia langsung masuk ke dalam. Gegas menolong Roni yang tampak kesusahan
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri," sambar Roni menepis tangan Nadia.
Namun saat dia hendak berdiri dan ingin ke toilet, dia justru terjatuh dan menabrak Nadia yang berdiri di depannya.
Jantung Roni berdetak tak beraturan, seperti dipompa cepat. Begitu pula dengan jantung Nadia. Hal itu langsung disadari oleh wanita itu. Nadia kemudian membantunya berdiri.
Nadia memundurkan sedikit tubuhnya. Menjauhi Roni agar ada jarak di antara mereka berdua.
"Maaf," ucap Roni pelan. Menundukkan kepalanya. Suasana menjadi canggung.
"Apa bapak bisa ke toilet sendiri?"
"Memangnya kamu mau ikut masuk?" Roni bertanya balik. Membuat wajah Nadia memerah karena malu, bagaimana bisa Roni bertanya seperti itu?
Yang Nadia maksud ia bisa meminta bantuan perawat laki-laki untuk membantu ke kamar mandi.
"Bu-bukan seperti itu Pak, maksud saya, akan saya panggilkan seorang perawat laki-laki untuk membantu anda."
"Tidak usah," eyelnya.
Beberapa menit kemudian perawat datang membawakan obat untuk Roni.
Tapi Roni tidak mau meminum obatnya. Ia meletakkan obatnya di atas nakas. Membuat Nadia teringat bahwa Roni sewaktu SMA dulu.
Waktu itu Roni pernah sakit tapi tidak mau minum obat. Karena obat yang diberikan berupa tablet dan kapsul dengan ukuran besar.
Nadia lalu memesan sebuah penumbuk obat pada ojek online.
"Untuk apa alat itu?" Roni bertanya dengan tatapan bingung.
"Ini untuk menumbuk halus obat-obat bapak. Ternyata bapak masih sama seperti waktu SMA dulu, takut obat berukuran besar," jawabnya, matanya melirik menggoda bosnya, yang tampangnya mulai berubah galak seperti ingin memakannya.
"Saya tidak takut Nadia! Saya tidak mau minum karena saya tidak sakit, itu saja. Kamu juga kenapa paksa-paksa saya?!"
"Bapak harus minum agar sembuh, ini demi mama anda!" jawab Nadia sambil senyum yang ia buat semanis mungkin.
Dan kalimat itu berhasil membuat ia luluh. Karena ada embel-embel 'mama' di dalamnya. Nadia tahu kelemahan bosnya.
Roni tanpa sadar tersenyum saat melihat Nadia sedang sibuk menumbuk obat. Sejenak ia terpesona oleh wajah Nadia yang terlihat cantik dan menggemaskan.
Ia lihat dengan saksama wajah Nadia, mulai dari mata yang lebar dengan bulu mata yang lentik. Hidung yang mancung, terlebih bibir tipis yang membuatnya terlihat semakin manis.
Rambutnya yang hitam serta panjang sepunggung, juga cocok dengan kulit putih dan badan yang tinggi langsing. Ia harus mengakui kalau Nadia memang sangat cantik.
Roni masih tidak menyangka Nadia masih saja ingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya kesulitan minum obat, dan terpaksa tidak jadi meminum obatnya.
"Sudah pak, ini," ucap Nadia sambil menyodorkan obat yang sudah ia haluskan.
Secepat kilat Roni memalingkan wajah. Ia tidak mau sekertarisnya menjadi kege-eran. Tapi terlambat Nadia sudah melihatnya dan itu membuat Roni menjadi malu.
"Mana sprei pesanan saya tadi?" tanya Roni hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja sebenarnya.
"Mohon maaf ini yang hijau kotak-kotak kata bibi nggak ada pak, adanya hijau polos, apa mau saya kotak-kotakin dulu pakai spidol?" jawab Nadia membanyol.
Roni menahan tawanya. "Kamu mulai besok turun deh ke bawah, jadi operator produksi. Saya mau ganti sekertaris saja," ucapnya dengan sorot mata tegas.
Alasan Roni meminta sprei dan baju tidur dari rumah. Karena ia ingin memakai segala sesuatu yang ia pilih sendiri. Dia merasa tidak nyaman dengan sprei dan baju tidur dari rumah sakit. Dan itu sudah disetujui oleh pihak rumah sakit.
"Ja-jangan pak," jawab Nadia dengan ekspresi wajah takut.