Rencana Rena Ke Polandia
Rena dan Nadia memutuskan pergi ke cafe dekat kost Nadia.
Di cafe pembicaraan diawali oleh Nadia, yang bercerita tentang perlakuan Roni kepadanya selama ini di kantor. Peristiwa di acara gathering beberapa waktu lalu menjadi puncak kekesalannya. Ia sudah lelah dan terlanjur sakit hati oleh sikap Roni.
Jadi kini ia berusaha melupakan Roni. Terlebih Nadia kini sudah punya pacar di kantor. Pria yang telah mencintainya semenjak di bangku kuliah.
Rena sebenarnya sedikit kecewa mendengar Nadia mempunyai pacar. Ia berpikir, pasti akan menyenangkan bila Nadia menjadi kakak iparnya. Ia sudah sehati dengan Nadia, ia tidak akan sulit beradaptasi jika Nadia menjadi iparnya. Tapi tetap saja semua keputusan di tangan Nadia.
"Iya emang sih, sikap kak Roni udah keterlaluan banget sama kamu."
"Padahal aku pikir, pasti akan menyenangkan kalau kamu bakal jadi kakak iparku," ucap Rena sambil menggenggam tangan Nadia.
Tiba-tiba ponsel Rena berdering. "Nadia bentar ya, aku angkat telepon dulu," ucap Rena. Yang dijawab anggukan kepala oleh Nadia.
Mendengar ucapan Rena tadi, akhirnya Nadia jadi membayangkan, seandainya mimpi itu menjadi kenyataan, dan akhirnya Nadia harus menikah dengan Roni, karena terlanjur mengandung anak Roni.
Nadia membayangkan menikah dan mempunyai anak dengan Roni. Mereka punya 2 orang anak. Anak pertama mereka laki-laki, dan berumur 5 tahun. Dia kaku dan menyebalkan seperti Roni. Ia tidak mau mendengarkan perintah ibunya yaitu Nadia.
Sementara anak keduanya, seorang bayi perempuan berumur 2 tahun yang lincah dan aktif seperti Nadia.
Nadia membayangkan momen dimana ia sedang sibuk mengasuh kedua anaknya.
Alih-alih membantu Roni yang sedang asyik dengan gadget malah menyuruh Nadia menyiapkan sarapan untuknya."Istri! sarapan, mana sarapan. "asyik memainkan gadget.
Padahal Nadia sedang sibuk-sibuknya menyuapi kedua anaknya. Anak pertama yang lagi menjadikan sofa dan seisi rumah sebagai arena ninja warrior nya. Sementara anak kedua lari-larian dengan riangnya.
Nadia sibuk mengejar mereka hingga rambutnya acak-acakan. Nadia menoleh pada Roni. "Dasar suami durhaka, aku sibuk urus anak bukannya bantuin malah main hp terus!" Ucap Nadia kesal. Lalu ia datang pada Roni meletakkan piring untuk anak-anaknya makan tadi, dengan gemas lalu Nadia menjambak rambut Roni dengan kasar.
Rena selesai menelepon, lalu ia datang menepuk pundak Nadia, dan membuyarkan lamunan Nadia.
"Nad, kamu kok diem? Nglamunin apa sih?" Rena terkekeh.
Nadia terkejut. Lalu menoleh, "tidak ada," Nadia mengulum senyum dan menjawab sebisanya.
"Kamu yakin mau melepas kak Roni?" tanya Rena memastikan.
"Dia selalu begitu Ren, nggak pernah berubah, dari dulu nggak punya perasaan suka apalagi cinta sama aku, untuk apa dipaksakan?"
"Aku dah capek Ren," ucap Nadia putus asa.
"Coba aku lihat, foto pria beruntung yang dapetin kamu?"
Nadia segera meraih ponselnya yang sudah berada di atas meja. Ia menggeser layar ponselnya dengan jari lentiknya. "Wait, coba aku cari fotonya di galeri ponselku ya." Namun sayang, sedetik kemudian ponsel Nadia mati, karena baterainya lowbat.
Nadia menggoyangkan ponselnya. "Mati di saat yang tidak tepat, hahaha."
"Besok aja ya, aku lihatin, masih banyak waktu ini," imbuh Nadia.
"Kita nggak akan punya banyak waktu bersama Nad, 3 hari lagi aku akan berangkat ke Polandia untuk melanjutkan S2."
"Kok mendadak sih Ren?"
"Sebenarnya ini tidak mendadak Nadia, ayahku tinggal disana," jawab Rena tersenyum samar.
Nadia sesaat diam, ia tahu betapa Rena sangat merindukan ayahnya itu sedari dulu.
"Kamu kangen ya sama ayahmu?"
Rena mengulum senyum. "Iya, maaf ya baru aku kasih tahu, kemarin aku banyak urusan, jadi belum sempat bilang."
"Besok kalau aku berangkat, kamu ikut antar ke bandara ya Nad?" Pinta Rena.
Yang diiyakan oleh Nadia, dengan disertai anggukan. "Pasti aku datang."
Dari kejauhan Roni datang. Rena sengaja menyuruh Roni menjemputnya, bukan Pak Didi.
"Kalau sudah selesai bisakah kita pulang sekarang?" tanya Roni.
"Iya Ren, aku juga udah mau pulang nih ke kost, abis itu beres-beres mau pulang ke rumah," Nadia tahu bagaimana sifat bosnya itu. Dia juga malas berlama-lama dengan bosnya itu. Kalau bukan karena Rena, ia enggan bertemu si angkuh itu di luar jam kerja.
Rena mengiyakan ajakan pulang dari kakaknya itu, meski ia masih ingin berlama-lama dengan sahabatnya Nadia. Usaha mempersatukan mereka berdua gagal. Jika awalnya Nadia antusias mengejar cinta Roni. Kini malah Nadia sudah menyerah dan mundur teratur.
"Kamu pulang sendiri ya? Kan deket," sindir Roni.
"Tentu saja pak," jawab Nadia.
2 hari waktu yang cukup untuk Nadia bersantai dari rutinitas kantor yang melelahkan. Bukan pekerjaan kantor yang membuat Nadia lelah, melainkan sikap bosnya yang arogan itulah yang membuatnya lelah.
Nadia, Roni dan Rena berjalan menyusuri lobi cafe, mereka hendak pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing.
Nadia berjalan mendahului Rena dan Roni. Tiba-tiba sebuah insiden terjadi. Nadia terpeleset di lantai yang licin, sesaat setelah seorang petugas cafe sedang mengepel lantainya.
Nadia saat itu memang sedang tidak fokus. Ia bahkan tidak menyadari ada papan bertuliskan,
Awas Lantai Licin!
Roni yang reflek dengan sigap menolongnya. Ia menengadah tubuh Nadia yang hampir jatuh.
Namun Nadia justru marah pada Roni. Ia masih saja teringat dengan mimpinya itu. Ia malah menuduh Roni yang tidak-tidak.
"Lepasin saya!" Bentak Nadia. Ia segera berdiri, sambil melakukan gerakan seperti membersihkan bajunya dengan kedua tangannya.
"Nadia, ada apa denganmu? Udah bagus saya tolongin," ucap Roni tak kalah kesal. Rena tak mengatakan apa-apa. Namun terlihat jelas ia juga heran dengan sikap Nadia.
"Ya… saya kan bisa berdiri sendiri."
"Kau saja yang tidak fokus, lihat baik-baik tulisan pada papan itu," tunjuk Roni.
Nadia melirik papan itu. Memang benar dia yang tidak fokus. Nadia merasa sangat malu akan kecerobohannya itu, karena saat itu banyak orang yang melihat mereka.
Roni meraih tangan rena., Lalu mengajaknya pergi."Dasar aneh, ayo Ren," ajak Roni pada adiknya.
Rena masih menoleh kebelakang, melihat ke arah Nadia, "aku duluan ya Nad."
Nadia hanya mengangguk.
Nadia memejamkan mata. Roni memang benar, mimpi itu membuatnya kacau. Mimpi itu terus saja menghantui dan membayanginya.
Ia sudah berusaha keras melupakannya. Tapi entah mengapa begitu sulit.